Oleh : Sofyan RH. Zaid
“...puisi yang baik bukan hanya yang bisa dimengerti atau mampu berkomunikasi,
tapi juga yang bisa menggetarkan bulu kuduk...”
Acep Zamzam Noor
Puisi dalam bahasa Belanda adalah poezie dan sajak ialah gedicht, tetapi dalam bahasa Indonesia, istilah puisi dan sajak nyaris tidak berbeda, hanya soal selera untuk menyebutnya, seperti satu orang yang memiliki dua nama panggilan. Istilah puisi lebih dekat dengan istilah prosa, seperti istilah poetry dalam bahasa Inggris yang dianggap sebagai salah satu nama jenis sastra. Puisi lebih bersifat umum jenisnya, sedangkan sajak bersifat khusus secara pengertian. Sementara harmoni sajak-puisi barangkali seperti pengertian Gerson, yakni lahir dari vibrasi intuisi kreatif yang dikandung dunia tak sadar, bergetar melalui tangga-tangga tak sadar, bawah sadar, bergerak ke negeri kesadaran rasional yang telah bergabung dengan imajinasi, perasaan, naluri dan kemerduan bunyi kata-kata sehingga lezat (ketika dibaca).
Tidak ada pengertian yang final perihal sajak dan puisi, begitu juga perbedaannya. Hanya saja, sajak bisa jadi puisi, tetapi tidak sebaliknya. Puisi bisa hadir dalam prosa, esai, atau percakapan biasa, sehingga orang –kadang- sering bilang; bahasamu puitis (bersifat puisi). Sajak memiliki makna lain, tidak sekadar tersirat, tetapi sudah menyangkut materi isi puisi, rima dan ritme, bahkan sampai pada efek yang ditimbulkan, seperti bunyi. Atau jika mengacu pada Berthold -sebagaimana judul esainya-, sajak adalah puisi yang bukan prosa, di mana juga bisa dinikmati berdasarkan bunyi, seperti halnya musik.
Ada banyak penyair, ada banyak puisi di Indonesia. Ada puisi yang hilang sekali terbit, ada puisi yang terus hidup sejak ditulis. Puisi yang terus hidup sejak ditulis -meski penyairnya sudah mati-, barangkali puisi yang memiliki sajak. Sebab puisi yang hanya sebatas puisi nasibnya akan sama dengan nasi. Walau bisa membuat perut kenyang, namun bisa basi. Sementara puisi yang (memiliki) sajak adalah emas, meski tidak bisa dimakan –secara langsung-, emas tetaplah emas. Pernyataan ini tentu bukan kebenaran umum, namun hanya pernyataan yang –bersifat- subjektif semata, namun paling tidak berlaku bagi saya sendiri.
Sebagai pencinta penyair (dan puisi), saya kerap dibuat terdiam dan tenggelam ketika membaca puisi, kadang juga membaca seperti berlari saja, tidak ingat apa-apa. Dari pembacaan-pembacaan tersebut, ada sejumlah puisi –atau bait puisi- yang terus membekas dalam ingatan, meski kadang saya tidak mengerti maknanya. Saya curiga, pasti ini bukan sekadar puisi, melainkan sajak. Atau barangkali ini yang dimaksud Sutardji; makna tak penting, pokoknya asal enak dibaca, maka sebuah puisi sudah berhasil. Dan sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia, kata Chairil.
Berikut potongan-potongan puisi tersebut -sekadar contoh, sebab masih banyak puisi lain- yang membuat saya terdiam lama, sehingga ibarat pejalan kaki, saya kerap tersandung dan merintih kenikmatan. Ibarat pelaut, saya sering tenggelam dan mereguk air laut. Ibarat luka, saya selalu perih, saat terkena garam atau ciuman.
Apa yang berharga pada tanah liat ini
Selain separuh ilusi
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
(Goenawan Mohammad, Kwartin Tentang Sebuah Poci)
Cinta bukan padang-padang yang menunggu
melainkan kincir yang berporos di pusar kalbu
berderak karena angin
bergerak karena ingin
(Sitok Srengenge, Peniup Angin)
bila kami saling dekap,
kami berdekapan dengan tangan kemarau
bila kami saling cium,
kami berciuman dengan bau tembakau
(Jamal D Rahman, Anak-anak Tembakau)
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
(Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin)
Ketika terbujur cakrawala itu kembali
dan kita serasa sampai, kita lupa
Gerimis terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh
Di kamar kita berpelukan bagai dua rumah yang mau rubuh
(Abdul Hadi WM, Larut Malam, Hamburg Musim Panas)
Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
(Subagyo Sastrowardoyo, Manusia Pertama di Angkasa Luar)
Jangan tunduk!
Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
(Chairil Anwar, Penerimaan)
kemarin dan esok adalah hari ini
bencana dan keberuntungan sama saja,
langit di luar langit di badan
bersatu dalam jiwa.
(W.S. Rendra, Hai, Ma!)
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
penuhi dadaku dengan cahayamu,
biar bersinar mataku sendu,
Biar berbinar gelakku rayu!
(Amir Hamzah, Doa)
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
(Sutardji Calzoum Bachri, Satu)
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.
(D. Zawawi Imron, Ibu)
Potongan-potongan puisi ini seperti menebalkan kecurigaan saya, kalau ada sajak dalam puisi. Ada gairah hidup dan mati yang tidak bisa dijelaskan dengan kata. Saya pun mulai percaya pada apa yang dimaksud Subagio: bahwa sajak berguna untuk mengingatkan kita pada kisah dan keabadian. Melupakan kepada pisau dan tali. Melupakan kepada bunuh diri. Atau bisik Goenawan: sajak adalah catatan kita bagi dingin yang tak tercatat pada termometer. Ketika kota basah, angin mengusir kita di sepanjang sungai, tapi kita tetap saja di sana. Mengamati, mencatat. Seakan gerimis raib dan kita saksikan cahaya berenang mempermainkan warna. Ia adalah ketika kita merasakan bahagia meski tak tahu kenapa.
Jakarta, 2013/2015
“...puisi yang baik bukan hanya yang bisa dimengerti atau mampu berkomunikasi,
tapi juga yang bisa menggetarkan bulu kuduk...”
Acep Zamzam Noor
Puisi dalam bahasa Belanda adalah poezie dan sajak ialah gedicht, tetapi dalam bahasa Indonesia, istilah puisi dan sajak nyaris tidak berbeda, hanya soal selera untuk menyebutnya, seperti satu orang yang memiliki dua nama panggilan. Istilah puisi lebih dekat dengan istilah prosa, seperti istilah poetry dalam bahasa Inggris yang dianggap sebagai salah satu nama jenis sastra. Puisi lebih bersifat umum jenisnya, sedangkan sajak bersifat khusus secara pengertian. Sementara harmoni sajak-puisi barangkali seperti pengertian Gerson, yakni lahir dari vibrasi intuisi kreatif yang dikandung dunia tak sadar, bergetar melalui tangga-tangga tak sadar, bawah sadar, bergerak ke negeri kesadaran rasional yang telah bergabung dengan imajinasi, perasaan, naluri dan kemerduan bunyi kata-kata sehingga lezat (ketika dibaca).
Sumber Gambar: klipingsastra.com |
Ada banyak penyair, ada banyak puisi di Indonesia. Ada puisi yang hilang sekali terbit, ada puisi yang terus hidup sejak ditulis. Puisi yang terus hidup sejak ditulis -meski penyairnya sudah mati-, barangkali puisi yang memiliki sajak. Sebab puisi yang hanya sebatas puisi nasibnya akan sama dengan nasi. Walau bisa membuat perut kenyang, namun bisa basi. Sementara puisi yang (memiliki) sajak adalah emas, meski tidak bisa dimakan –secara langsung-, emas tetaplah emas. Pernyataan ini tentu bukan kebenaran umum, namun hanya pernyataan yang –bersifat- subjektif semata, namun paling tidak berlaku bagi saya sendiri.
Sebagai pencinta penyair (dan puisi), saya kerap dibuat terdiam dan tenggelam ketika membaca puisi, kadang juga membaca seperti berlari saja, tidak ingat apa-apa. Dari pembacaan-pembacaan tersebut, ada sejumlah puisi –atau bait puisi- yang terus membekas dalam ingatan, meski kadang saya tidak mengerti maknanya. Saya curiga, pasti ini bukan sekadar puisi, melainkan sajak. Atau barangkali ini yang dimaksud Sutardji; makna tak penting, pokoknya asal enak dibaca, maka sebuah puisi sudah berhasil. Dan sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia, kata Chairil.
Berikut potongan-potongan puisi tersebut -sekadar contoh, sebab masih banyak puisi lain- yang membuat saya terdiam lama, sehingga ibarat pejalan kaki, saya kerap tersandung dan merintih kenikmatan. Ibarat pelaut, saya sering tenggelam dan mereguk air laut. Ibarat luka, saya selalu perih, saat terkena garam atau ciuman.
Apa yang berharga pada tanah liat ini
Selain separuh ilusi
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
(Goenawan Mohammad, Kwartin Tentang Sebuah Poci)
Cinta bukan padang-padang yang menunggu
melainkan kincir yang berporos di pusar kalbu
berderak karena angin
bergerak karena ingin
(Sitok Srengenge, Peniup Angin)
bila kami saling dekap,
kami berdekapan dengan tangan kemarau
bila kami saling cium,
kami berciuman dengan bau tembakau
(Jamal D Rahman, Anak-anak Tembakau)
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
(Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin)
Ketika terbujur cakrawala itu kembali
dan kita serasa sampai, kita lupa
Gerimis terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh
Di kamar kita berpelukan bagai dua rumah yang mau rubuh
(Abdul Hadi WM, Larut Malam, Hamburg Musim Panas)
Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
(Subagyo Sastrowardoyo, Manusia Pertama di Angkasa Luar)
Jangan tunduk!
Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
(Chairil Anwar, Penerimaan)
kemarin dan esok adalah hari ini
bencana dan keberuntungan sama saja,
langit di luar langit di badan
bersatu dalam jiwa.
(W.S. Rendra, Hai, Ma!)
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
penuhi dadaku dengan cahayamu,
biar bersinar mataku sendu,
Biar berbinar gelakku rayu!
(Amir Hamzah, Doa)
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
(Sutardji Calzoum Bachri, Satu)
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.
(D. Zawawi Imron, Ibu)
Potongan-potongan puisi ini seperti menebalkan kecurigaan saya, kalau ada sajak dalam puisi. Ada gairah hidup dan mati yang tidak bisa dijelaskan dengan kata. Saya pun mulai percaya pada apa yang dimaksud Subagio: bahwa sajak berguna untuk mengingatkan kita pada kisah dan keabadian. Melupakan kepada pisau dan tali. Melupakan kepada bunuh diri. Atau bisik Goenawan: sajak adalah catatan kita bagi dingin yang tak tercatat pada termometer. Ketika kota basah, angin mengusir kita di sepanjang sungai, tapi kita tetap saja di sana. Mengamati, mencatat. Seakan gerimis raib dan kita saksikan cahaya berenang mempermainkan warna. Ia adalah ketika kita merasakan bahagia meski tak tahu kenapa.
Jakarta, 2013/2015
0 comments :
Post a Comment