Cerpenis terkemuka Indonesia, M. Fudholi Zaini
menulis cerita pendek berjudul Arafah (Penerbit Pustaka Bandung, 1985).
Cerpen ini mengilustrasikan ekspektasi ruhani umat manusia di tanah suci. Fudhali
menceritakan tentang tokoh saya bersama anak, istri, dan kedua orang mertuanya
datang ke tanah suci. Pada pelaksanaan rukun haji yang paling inti ini, tokoh
saya mengalami peristiwa besar yang membuat sang tokoh flashback
terhadap segala perilakunya di tanah air.
Dalam perjalanan menuju wukuf di padang
Arafah, tokoh saya berada dalam antrean panjang kendaraan yang ditumpanginya.
Tokoh saya berada dalam kendaraan yang berbeda dengan istrinya. Tiba-tiba sebuah
ledakan membuat serentetan mobil di belakangnya terbakar. Mobil-mobil itu tak
dapat bergerak, hingga api melahap begitu rakus terhadap mobil-mobil yang lain.
Sementara mobil yang ditumpangi sang tokoh berada di dekat gang kecil, lalu
berbelok ke kiri mencari jalan aman. Lalu tokoh saya terpisah dari keluarga
yang lain.
Dan ternyata, gang kecil yang dilewatinya
merupakan gang buntu yang berakhir di sebuah jurang. Karena sang sopir terasa
panik, sempat muncul sebuah suara dari dalam mobil “awas jurang di depan!”, tak
ayal celaka menjemput, mobil itu terjun bebas ke dalam jurang. Peristiwa itulah
yang kemudian membuat tokoh kelimpungan, pasrah, merasa dirinya tak ada daya,
kecuali Kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.
Tokoh saya mendengar rintihan seseorang di
dalam mobil itu, kepalanya berlumur darah. Tokoh saya berusaha menolongnya,
tapi ia sudah pasrah atas nasibnya, sebagaimana yang tergambar dalam dialog:
-- Pergilah saudara cari pertolongan. Lebih
baik tinggalkan saya di sini.
-- Kita coba sama-sama keluar dari sini.
-- Saya sudah tidak bisa bergerak.
-- Bagaimana saya akan meninggalkan anda
sendirian?
-- Pergilah. Kalaupun saya harus mati, saya
rela mati di tanah ini.
-- Tapi…
-- Pergilah. Ada lagi yang harus saudara
lakukan, mencari istri dan anak saudara yang masih kecil?
Fudholi di sini ingin menyampaikan, bila Tuhan
berkehendak untuk celaka, tak seorangpun dapat menghindarinya, meskipun ia
menghindar dari kobaran api yang menjilat, celaka yang lain datang. Dalam
kondisi seperti inilah, dalam bahasa Ali Ibn Usman al-Hujwiri (10 M), manusia
mengalami musyahadah melalui proses peristiwa-peristiwa yang paling genting
di dunia. Manusia kemudian berbenah diri, introspeksi terhadap perilaku
keseharian mereka.
Sang tokoh kemudian merasakan bahwa peristiwa
yang terjadi itu merupakan bagian dari balasan atas perilaku sebelumnya, ia
merasa bahwa ia termasuk orang yang berani kepada orang tua, suka nunggak
shalat, bohong, dll. Tak ada siapa-siapa yang pantas dibanggakan di tanah suci,
kecuali amal baik dalam hidup.
Persamaan Eksistensi
Ritualitas wukuf (berdiam) di padang Arafah merupakan
peristiwa eksistensial dalam ibadah haji. Umat manusia berkumpul di sebuah
padang yang luas, padang perjumpaan antara Adam dan Hawa setelah dilempar ke
dunia karena melanggar larangan Tuhan di surga, tak lain dan tak bukan memakan
buah larangan (khuldi). Di padang yang luas ini serasa berada di alam
Mahsyar, manusia tak dibedakan lagi berdasarkan kelas sosial; camat, bupati,
gubernur, juragan, karyawan, semuanya lebur menjadi ‘abdullaah (hamba
Allah).
Semua umat manusia duduk di padang yang sama,
pakaian yang sama (ihram), lebur dalam permenungan dan perjumpaan spiritual
antara ego (kecil) menuju Ego (besar) dalam bahasanya Muhammad Iqbal (1995:76).
Arafah sendiri bermakna tahu atau mengerti. Arafah mendorong umat manusia untuk
mengerti bahwa siapa hamba (’abd) dan Tuhan (Rabb). Jika kita
bijaksana memaknai nilai-nilai Arafah setidaknya seluruh umat manusia akan
memetik nilai-nilai Arafah dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, meskipun manusia menduduki kelas tertinggi dalam struktur sosial, misal
Presiden, Gubernur, Bupati dan seterusnya, tetapi prinsip Arafah kita pakai
dalam kehidupan kepemimpinan kita. Tentu pola kepemimpinan itu akan menjadi
media sosialisasi untuk kesejahteraan bersama.
Kedua, Arafah mengantarkan umat manusia untuk mengerti kapasitas pribadi, orang
lain, dan Tuhan. Bila kita menjalankan prinsip Arafah, kita tahu mendudukkan
diri dalam posisinya yang pas. Meskipun kita punya kuasa, tidak melampaui
kekuasaan Tuhan dan tidak ingin berkuasa seperti Tuhan. Meskipun kita menjadi
orang kaya, tidak melecehkan yang miskin. Bila kita diberi kemampuan berbagi
dengan mereka, kita memberi dengan senyum, kasih sayang, dan tidak menyakiti
perasaan mereka.
Ketiga, prinsip Arafah akan mengantarkan umat manusia di level rendah hati,
syukur, sabar, salam, dan jujur. Orang lain tentu selamat dari tangan dan mulut
kita. Sama sekali tak berniat untuk menyakiti dan membohongi orang lain.
Prinsip Arafah akan menciptakan personalitas umat manusia menjadi manusia yang
lembut tetapiu disegani.
Untuk itulah, penting kiranya kita bersama-sama
untuk berlomba-lomba menanamkan prinsip Arafah dalam kehidupan sehari-hari,
agar Arafah tidak hanya menjadi ritualitas rukun kelima yang habis maknanya
setelah jamaah haji pulang ke kampung masing-masing. Arafah kemudian mendarah
daging dalam setiap detak napas, aliran darah, dan gerak-gerik kita setiap
hari. Tentu semua ini hanya gampang dikatakan tapi sulit dilakukan, bukan?***
Sumber Gambar 1 : https://www.google.co.id/search?q=padang+arafah/lukisan
0 comments :
Post a Comment