Home » » Arafah Dalam Cerpen Fudholi Zaini

Arafah Dalam Cerpen Fudholi Zaini

Diposkan oleh damar pada Saturday, April 11, 2015 | 7:47 AM




 
Cerpenis terkemuka Indonesia, M. Fudholi Zaini menulis cerita pendek berjudul Arafah (Penerbit Pustaka Bandung, 1985). Cerpen ini mengilustrasikan ekspektasi ruhani umat manusia di tanah suci. Fudhali menceritakan tentang tokoh saya bersama anak, istri, dan kedua orang mertuanya datang ke tanah suci. Pada pelaksanaan rukun haji yang paling inti ini, tokoh saya mengalami peristiwa besar yang membuat sang tokoh flashback terhadap segala perilakunya di tanah air.
Dalam perjalanan menuju wukuf di padang Arafah, tokoh saya berada dalam antrean panjang kendaraan yang ditumpanginya. Tokoh saya berada dalam kendaraan yang berbeda dengan istrinya. Tiba-tiba sebuah ledakan membuat serentetan mobil di belakangnya terbakar. Mobil-mobil itu tak dapat bergerak, hingga api melahap begitu rakus terhadap mobil-mobil yang lain. Sementara mobil yang ditumpangi sang tokoh berada di dekat gang kecil, lalu berbelok ke kiri mencari jalan aman. Lalu tokoh saya terpisah dari keluarga yang lain.

Dan ternyata, gang kecil yang dilewatinya merupakan gang buntu yang berakhir di sebuah jurang. Karena sang sopir terasa panik, sempat muncul sebuah suara dari dalam mobil “awas jurang di depan!”, tak ayal celaka menjemput, mobil itu terjun bebas ke dalam jurang. Peristiwa itulah yang kemudian membuat tokoh kelimpungan, pasrah, merasa dirinya tak ada daya, kecuali Kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.
Tokoh saya mendengar rintihan seseorang di dalam mobil itu, kepalanya berlumur darah. Tokoh saya berusaha menolongnya, tapi ia sudah pasrah atas nasibnya, sebagaimana yang tergambar dalam dialog:
-- Pergilah saudara cari pertolongan. Lebih baik tinggalkan saya di sini.
-- Kita coba sama-sama keluar dari sini.
-- Saya sudah tidak bisa bergerak.
-- Bagaimana saya akan meninggalkan anda sendirian?
-- Pergilah. Kalaupun saya harus mati, saya rela mati di tanah ini.
-- Tapi…
-- Pergilah. Ada lagi yang harus saudara lakukan, mencari istri dan anak saudara yang masih kecil?
Fudholi di sini ingin menyampaikan, bila Tuhan berkehendak untuk celaka, tak seorangpun dapat menghindarinya, meskipun ia menghindar dari kobaran api yang menjilat, celaka yang lain datang. Dalam kondisi seperti inilah, dalam bahasa Ali Ibn Usman al-Hujwiri (10 M), manusia mengalami musyahadah melalui proses peristiwa-peristiwa yang paling genting di dunia. Manusia kemudian berbenah diri, introspeksi terhadap perilaku keseharian mereka.
Sang tokoh kemudian merasakan bahwa peristiwa yang terjadi itu merupakan bagian dari balasan atas perilaku sebelumnya, ia merasa bahwa ia termasuk orang yang berani kepada orang tua, suka nunggak shalat, bohong, dll. Tak ada siapa-siapa yang pantas dibanggakan di tanah suci, kecuali amal baik dalam hidup.

Persamaan Eksistensi
Ritualitas wukuf (berdiam) di padang Arafah merupakan peristiwa eksistensial dalam ibadah haji. Umat manusia berkumpul di sebuah padang yang luas, padang perjumpaan antara Adam dan Hawa setelah dilempar ke dunia karena melanggar larangan Tuhan di surga, tak lain dan tak bukan memakan buah larangan (khuldi). Di padang yang luas ini serasa berada di alam Mahsyar, manusia tak dibedakan lagi berdasarkan kelas sosial; camat, bupati, gubernur, juragan, karyawan, semuanya lebur menjadi ‘abdullaah (hamba Allah).
Semua umat manusia duduk di padang yang sama, pakaian yang sama (ihram), lebur dalam permenungan dan perjumpaan spiritual antara ego (kecil) menuju Ego (besar) dalam bahasanya Muhammad Iqbal (1995:76). Arafah sendiri bermakna tahu atau mengerti. Arafah mendorong umat manusia untuk mengerti bahwa siapa hamba (’abd) dan Tuhan (Rabb). Jika kita bijaksana memaknai nilai-nilai Arafah setidaknya seluruh umat manusia akan memetik nilai-nilai Arafah dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, meskipun manusia menduduki kelas tertinggi dalam struktur sosial, misal Presiden, Gubernur, Bupati dan seterusnya, tetapi prinsip Arafah kita pakai dalam kehidupan kepemimpinan kita. Tentu pola kepemimpinan itu akan menjadi media sosialisasi untuk kesejahteraan bersama.
Kedua, Arafah mengantarkan umat manusia untuk mengerti kapasitas pribadi, orang lain, dan Tuhan. Bila kita menjalankan prinsip Arafah, kita tahu mendudukkan diri dalam posisinya yang pas. Meskipun kita punya kuasa, tidak melampaui kekuasaan Tuhan dan tidak ingin berkuasa seperti Tuhan. Meskipun kita menjadi orang kaya, tidak melecehkan yang miskin. Bila kita diberi kemampuan berbagi dengan mereka, kita memberi dengan senyum, kasih sayang, dan tidak menyakiti perasaan mereka.
Ketiga, prinsip Arafah akan mengantarkan umat manusia di level rendah hati, syukur, sabar, salam, dan jujur. Orang lain tentu selamat dari tangan dan mulut kita. Sama sekali tak berniat untuk menyakiti dan membohongi orang lain. Prinsip Arafah akan menciptakan personalitas umat manusia menjadi manusia yang lembut tetapiu disegani. 
Untuk itulah, penting kiranya kita bersama-sama untuk berlomba-lomba menanamkan prinsip Arafah dalam kehidupan sehari-hari, agar Arafah tidak hanya menjadi ritualitas rukun kelima yang habis maknanya setelah jamaah haji pulang ke kampung masing-masing. Arafah kemudian mendarah daging dalam setiap detak napas, aliran darah, dan gerak-gerik kita setiap hari. Tentu semua ini hanya gampang dikatakan tapi sulit dilakukan, bukan?***



Sumber Gambar 1 : https://www.google.co.id/search?q=padang+arafah/lukisan

Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment