Sumber Gambar : crosspapua.blogspot.com |
Sosiolog Amerika modern, George Ritzer menulis buku bagus perihal McDonalisasi dengan judul The McDonaldization of Society (1993). Dalam buku itu, Ritzer memaparkan empat prinsip dasar McDonalisasi yang akan dijadikan kaca pandang untuk melihat fenomena McDonalisasi di dunia sastra kita masa kini.
Pertama, kuantitas dan kalkulasi. Hal ihwal proses kepengarangan para sastrawan masa kini tengah memasuki babak baru. Lebih banyak pengarang sastra masa kini tidak sabar menjalani proses. Mereka ingin segera menjadi sastrawan besar dalam kurun waktu yang singkat dan cepat, meskipun secara proses, karya mereka terasa sangat mentah.
Mereka memperhitungkan kalkulasi waktu dalam proses “produksi” karya dan proses kreatif. Begitu menulis satu-dua karya, diposting di blog pribadi, kemudian di link ke facebook, tweetter, dan lainnya. Sehingga karya sastra pengarang masa kini tak ubahnya makanan cepat saji. Tidak jarang pula antologi-antologi sastra diterbitkan secara indie untuk mendorong proses “instan(isasi)” itu.
Ironi yang muncul adalah karya-karya mereka tidak memiliki kaki yang kokoh. Karya-karya mereka seperti anak-anak kecil yang terpaksa dilepas ke arena kehidupan yang akhirnya menjadi manusia “bodoh”. Pengarang-pengarang masa kini lebih mementingkan seberapa banyak mereka menulis, diposting dan membuat antologi. Setelah itu, mereka kipas-kipas dan euphoria bersama para fun mereka layaknya para selebritis.
Kedua, McDonalisasi menawarkan efisiensi. Di sini, pengarang terjebak pada logika efisiensi waktu. Mereka berpikir, buat apa berproses lama, jika hasilnya sama? Pertanyaan lanjutan yang bisa diajukan kepada mereka, apakah sama karya WS. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Seno Gumira Adjidarma, Joni Ariadinata yang berdarah-darah melalui proses panjang (tidak efisien dalam konteks waktu), dengan pengarang kita masa kini yang instan? Tentu saja tidak sama. Meskipun Ws. Rendra sudah pergi dari dunia ini, sejatinya ia masih hidup melalui karya-karyanya. Sementara karya para pengarang masa kini yang instan itu telah mati sebelum pengarangnya mati.
Logika efisiensi ini telah melenyapkan tradisi berkomunitas bagi pengarang masa kini. Individualisme merupakan penanda paling mengemuka di tengah merebaknya social media yang lebih banyak digeluti oleh pengarang muda kita. Akhirnya, komunitas-komunitas kita tengah mati suri. Padahal di tahun-tahun 1970-an hingga 1990-an, komunitas-komunitas sastra menjadi embrio lahirnya tokoh-tokoh penting di negeri ini yang memiliki basis karya yang kuat. Sebut saja misal komunitas Persada Studi Klub (PSK) di Yogyakarta, yang pernah diasuh oleh maha guru penyair Umbu Landu Paranggi. Komunitas itu melahirkan Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santosa, Ahmadun Yose Herfanda, Arwan Tuti Artha, Mustafa W Hasyim, Ebiet G. Ade, Linus Suryadi AG, dll.
Bisa kita lihat juga Teater Eska di tahun 1990-an, telah melahirkan Hamdy Salad, Kuswaidi Syafi’ie, Ulfatin Ch, Ismet NM Haris, Zainal Arifin Thaha, Abidah El-Khaliqy, dll. Pengarang muda masa kini justeru lebih banyak menyendiri di kamar. Mereka lebih suka berinteraksi dengan gadjetnya dari pada berkomunitas dan merespons kehidupan sosial sekitarnya.
Ketiga, logika standarisasi. Pola ini tak lain merupakan produksi globalisasi yang bersujud kepada market (pasar). Saya berkeyakinan, pengarang masa kini tidak akan melahirkan sebuah pembaruan-pembaruan yang berarti. Karena logika mereka selalu diarahkan oleh standar-standar penulisan sastra yang sudah ada dan standar-standar market yang memang menjadi tujuan mereka.
Mereka pasti tercengang jika tahu bahwa pada tahun 1974, Danarto telah menggegerkan Taman Ismail Marzuki dengan puisi kotak sembilan yang keluar dari standar-standar penulisan sastra. Menurut Afrizal Malna (2000:78), puisi itu berusaha menjelaskan adanya mobilisasi semiotik yang kian bersinggungan dengan berbagai wacana serta menggoyahkan keyakinan-keyakinan teguh pada media yang sudah dianggap baku di tingkat penyelenggaraan materialnya.
Pengarang muda instan itu juga akan tercengang membaca cerpen Seno Gumira Adjidarma yang berjudul Aku Pembunuh Munir (Kompas, 29 Desember 2013). Cerpen itu menyuguhkan kredo baru yaitu mengganti tanda bintang sebagai penanda peralihan adegan/kisah, dengan puisi pendek. Inovasi itu sulit didapatkan oleh pengarang instan masa kini yang hanya berpikir standar penulisan baku dan produktifitas absen kualitas.
Keempat, McDonalisasi menyuguhkan keterprediksian. Para pengarang masa kini mewujudkan diri mereka tak ubahnya mesin produksi yang tangkas. Siapapun yang tidak tangkas menanggapi kepentingan pasar, mereka dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh pasar. Semua kemungkinan terburuk menurut logika pasar sudah diprediksi dengan baik, sehingga pengarang masa kini seperti sebuah benda tidak kokoh yang mudah diombang-ambingkan angin topan yang bernama “market”.
Hidup hanya satu kali, pengarang seharusnya menjadi penjaga gawang idealisme, kebijaksanaan, dan pemberi kritik bagi ketimpangan sosial. Kayaknya dari pada berkarya tapi nihil idealisme, sama dengan tidak melakukan apapun. Dalam istilah pepatah Arab, wujuduhu ka ‘adamihi, artinya adanya seperti tidak ada.
Menghargai Proses
Rasanya penting membangun kesabaran dalam sebuah proses “menjadi”. Saya teringat nasihat sastrawan Ahmad Tohari, pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk tahun 2009 di Ubud Bali. Ketika itu, saya bersama penyair A. Muttaqin (Surabaya), Mona Sylviana (Bandung), dan Pranita Dewi (Bali) mampir di hotel tempatnya menginap. Dia berkata, jangan pernah merasa besar, jangan pernah merasa selesai dalam proses. Sebab ketika anda merasa besar dan merasa proses anda telah selesai, di situlah kubur “kematian” anda.
Artinya pengarang seharusnya sabar menjalani setiap proses berkarya dan proses “menjadi”. Tepis segala sikap individualisme dalam menjalani proses, masuklah dalam ruang komunitas yang akan menguji ketahanan mental dan kualitas karya kita. Terjang jauh-jauh jalan pikiran ingin cepat besar. Buang jauh-jauh orientasi menulis sastra untuk tujuan profit atau ekonomi (sastranomic), sebab orientasi itu akan membuat sastra kita lacur.
Rasionalisasi efisiensi waktu tidak lagi penting dalam proses kepengarangan kita. Biarlah waktu mematangkan kita dengan sendirinya. Biarlah karya-karya kita kokoh berbicara kepada publiknya dalam konteks, situasi, dan zaman apapun. Biarlah jasad ini kalah, ruh kita melayang, tapi karya kita tetap hidup dan berkibar, iya kan?***
wah, 4 dasar yang apik.
ReplyDeletesebelumnya, saya baru tahu tentang mcdonaldisasi ini...