Ma,
bukan maut yang menggetarkan hatiku
Tetapi
hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya
dan
kehilangan fitrahnya
(Hai
Ma, Ws. Rendra).
Malam
Jum’at tanggal 6 Agustus 2009 benar-benar menjadi malam terakhir bagi penyair
‘burung merak’ (WS Rendra). Bintang-bintang menjadi saksi bahwa sang raja
penyair dan aktor telah terbang menuju sebuah panggung lain, menuju sebuah
pentas baru, membacakan sajak di hadapan Tuhan setelah menghembuskan napas
terakhir di Rumah Sakit Mitra Keluarga, pada jam 22.05.
Tetapi tenanglah,
Ws Rendra tidak mati. Ia hanya ingin sendiri. Ia akan terus hidup sampai bumi
antariksa ini hancur lebur, bahkan ia terus menerus lantang membacakan sajak
dalam kenangan orang-orang. Si burung merak kini telah terbang dan bertualang,
menuju sebuah alam baru yang tanpa batas. Keluar dari alam yang penuh dengan
permainan, penuh konspirasi, penuh perhitungan angka-angka.
Sang
penyair memiliki caranya sendiri untuk pergi. Ketika nyawa melayang meninggalkan
tubuhnya, dengan penuh keberanian menebak segala kemungkinan yang akan terjadi
ketika rohnya akan terbang menuju singgasana yang tinggi.
Sajak
yang ditulis puluhan tahun yang lalu itu seolah menafsir dirinya tentang
kepergiannya kali ini : Pada malam-malam, aku menjalani lorong panjang/
Tanpa tujuan ke mana-mana/ Hawa dingin masuk ke badanku yang hampa/ Padahal
angin tidak ada/ Bintang-bintang menjadi kunang-kunang/ yang lebih menekankan
kehadiran kegelapan/ tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu
apa.
Sungguh
kini ia sedang menjalani sebuah setapak yang panjang: perjalanan yang tak akan
berhenti sampai tiba waktu untuk dipanggil. Menghadap untuk mempertanggung
jawabkan segala varian yang dilakukan dalam kehidupan. Tentang segala macam daya
yang membuatnya mampu bertahan hidup.
Segala
kata-kata yang disusun, diingat-ingat kembali, ditelisik, yang mana yang
menyimpang dan yang mana yang membuatnya selamat dari ‘ranjau-ranjau’. Dan
bintang-bintang di langit, kini telah menjadi kunang-kunang bersama rohnya yang
terbang. Ia telah meninggalkan pikiran, perasaan, puisi dan semua dedikasinya
bagi bangsa ini.
Dan
layaknya manusia yang lain, ia adalah manusia yang beragama, lahir di keluarga
Katolik, yang pada tahun 1970, lewat permenungannya yang panjang dan hebat, ia
memutuskan untuk pindah agama yakni masuk Islam.
Di
saat-saat pindah agama adalah saat pergulatan spiritualnya yang intens,
misalnya di tengah pembicaraan, menyembunyikan wajahnya diantara dua lutut.
Dalam periode itulah ia menghasikan Kasidah Barzanji, sebuah kolase
nyanyi-syair-gerak-warna yang belum pernah ada sebelumnya. Bahkan seorang
penonton dari Perancis di Taman Ismail Marzuki mengatakan, aura religiositasnya
memancar-mancar ke luar.
Pemberontakan
Penyair
burung merak ini adalah seniman yang paling banyak berurusan dengan pemerintah
Orde Baru, karena keberaniannya memberontak terhadap pemerintah membuat dirinya
semakin semangat. Sajak Burung Merak yang dibacakan di tembok lantau dua
Universitas Indonesia pada tahun 1977 di hadapan para pemuda, telah memberikan
inspirasi bagi para aktivis untuk mengadakan pemberontakan terhadap sistem yang
kurang sehat.
Ia
memasuki arena situasi politik yang hangat ketika itu, utamanya ketika ia dan
Arief Budiman berpartisipasi dalam demonstrasi anti pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah yang direncanakan dengan biaya Rp 10,5 Miliar, jumlah luar
biasa untuk tahun 1970an, dengan lahan yang dipaksa beli dari rakyat dengan
harga Rp 50-Rp 100 per m2 adalah tindakan perlawanan eksplisit Rendra yang
pertama.
Setelah
perlawanan itu kemudian ia menulis sebuah sajak yang sangat menggemparkan yang
berjudul Mastodom dan Burung Kondor. Ia bercerita tentang gajah-gajah
raksasa yang menginjak-injak rakyat dan burung-burung kebebasan, dengan tokoh
pusat semacam resi atau rasul. Kemudian karya Suku Naga yang bercerita
tentang sebuah alam yang dirusakkan mesin raksasa “pembangunan” yang korup dan
tidak punya hati.
Rendra
datang ke kampus-kampus untuk menyuntikkan perlawanan terhadap para mahasiswa,
sehingga pada puncaknya ketika akan pentas Pamflet Penyair dan Orang-orang
Rangkasbitung, segera dilarang untuk tampil di Taman Ismail Marzuki dan di
tempat-tempat yang lain. Sungguh kenyataan itu menjadi ancaman terus menerus
dalam kehidupan Rendra. Tetapi dengan cara pemberontakan yang begitu berani,
mampu menjadikan Indonesia bangkit dan berkembang.
Ia
memiliki peran penting dalam menciptakan sebuah bangsa yang maju dan bersih,
menciptakan sebuah bangsa yang terdidik, jauh dari korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Bela
Sungkawa
Tulisan tak
ingin berbela sungkawa pada Rendra yang sudah tenang di sisiNya. Tetapi ingin
berbela sungkawa pada bangsa yang ditinggalkan Rendra. Sebagai bangsa yang
berdaulat, yang katanya menganut asas demokrasi, tetapi rakyat masih banyak
yang terlantar, banyak yang makan nasi aking, nasi jagung dan lauk lembayung.
Sementara
orang yang mulai dulu membela rakyat kini sudah tiada, seniman terhebat yang
kita punya telah pergi, meninggalkan bangsa ini. Apa gerangan yang akan
terjadi? Demontrasi kini terjadi di mana-mana, bencana alam di mana-mana,
kecelakaan di mana-mana, namun pemerintah semakin cuek saja. Saya harap
bermunculan Rendra baru yang bisa tegar membela rakyat kecil, melakukan
perlawanan.
Selamat
jalan WS Rendra! Semoga bangsa ini terus menerus hidup sebagaimana engkau yang
terus hidup. Semoga apa yang engkau perjuangkan bisa menjadi perhatian bagi
bangsa ini. Dan semoga jasa-jasamu pada negeri ini menjadi amal yang bisa
membawamu tiba di surga, sebagaimana yang engkau senandungkan: Rasanya
setelah mati/ Berpulang tak ada sesuatu yang mengagetkan/ Di dalam hidup ini
“Hidup menjadi nyata, fitrahku kembali,”.***
Sumber Gambar 1 : http://www.inioke.com//foto/berita/ws-rendra.jpg
Sumber Gambar 2 : https://asi7.files.wordpress.com/2010/04/ws-rendra.jpg
0 comments :
Post a Comment