Home » » WS Rendra; Si Burung Merak Yang Menjulang

WS Rendra; Si Burung Merak Yang Menjulang

Diposkan oleh damar pada Saturday, April 4, 2015 | 9:30 PM


http://www.inioke.com//foto/berita/ws-rendra.jpg

 
Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku
Tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya
dan kehilangan fitrahnya
(Hai Ma, Ws. Rendra).

Malam Jum’at tanggal 6 Agustus 2009 benar-benar menjadi malam terakhir bagi penyair ‘burung merak’ (WS Rendra). Bintang-bintang menjadi saksi bahwa sang raja penyair dan aktor telah terbang menuju sebuah panggung lain, menuju sebuah pentas baru, membacakan sajak di hadapan Tuhan setelah menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Mitra Keluarga, pada jam 22.05.
Tetapi tenanglah, Ws Rendra tidak mati. Ia hanya ingin sendiri. Ia akan terus hidup sampai bumi antariksa ini hancur lebur, bahkan ia terus menerus lantang membacakan sajak dalam kenangan orang-orang. Si burung merak kini telah terbang dan bertualang, menuju sebuah alam baru yang tanpa batas. Keluar dari alam yang penuh dengan permainan, penuh konspirasi, penuh perhitungan angka-angka.

Sang penyair memiliki caranya sendiri untuk pergi. Ketika nyawa melayang meninggalkan tubuhnya, dengan penuh keberanian menebak segala kemungkinan yang akan terjadi ketika rohnya akan terbang menuju singgasana yang tinggi.
Sajak yang ditulis puluhan tahun yang lalu itu seolah menafsir dirinya tentang kepergiannya kali ini : Pada malam-malam, aku menjalani lorong panjang/ Tanpa tujuan ke mana-mana/ Hawa dingin masuk ke badanku yang hampa/ Padahal angin tidak ada/ Bintang-bintang menjadi kunang-kunang/ yang lebih menekankan kehadiran kegelapan/ tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa. 
Sungguh kini ia sedang menjalani sebuah setapak yang panjang: perjalanan yang tak akan berhenti sampai tiba waktu untuk dipanggil. Menghadap untuk mempertanggung jawabkan segala varian yang dilakukan dalam kehidupan. Tentang segala macam daya yang membuatnya mampu bertahan hidup.
Segala kata-kata yang disusun, diingat-ingat kembali, ditelisik, yang mana yang menyimpang dan yang mana yang membuatnya selamat dari ‘ranjau-ranjau’. Dan bintang-bintang di langit, kini telah menjadi kunang-kunang bersama rohnya yang terbang. Ia telah meninggalkan pikiran, perasaan, puisi dan semua dedikasinya bagi bangsa ini.
Dan layaknya manusia yang lain, ia adalah manusia yang beragama, lahir di keluarga Katolik, yang pada tahun 1970, lewat permenungannya yang panjang dan hebat, ia memutuskan untuk pindah agama yakni masuk Islam.
Di saat-saat pindah agama adalah saat pergulatan spiritualnya yang intens, misalnya di tengah pembicaraan, menyembunyikan wajahnya diantara dua lutut. Dalam periode itulah ia menghasikan Kasidah Barzanji, sebuah kolase nyanyi-syair-gerak-warna yang belum pernah ada sebelumnya. Bahkan seorang penonton dari Perancis di Taman Ismail Marzuki mengatakan, aura religiositasnya memancar-mancar ke luar.

https://asi7.files.wordpress.com/2010/04/ws-rendra.jpg

Pemberontakan
Penyair burung merak ini adalah seniman yang paling banyak berurusan dengan pemerintah Orde Baru, karena keberaniannya memberontak terhadap pemerintah membuat dirinya semakin semangat. Sajak Burung Merak yang dibacakan di tembok lantau dua Universitas Indonesia pada tahun 1977 di hadapan para pemuda, telah memberikan inspirasi bagi para aktivis untuk mengadakan pemberontakan terhadap sistem yang kurang sehat.
Ia memasuki arena situasi politik yang hangat ketika itu, utamanya ketika ia dan Arief Budiman berpartisipasi dalam demonstrasi anti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang direncanakan dengan biaya Rp 10,5 Miliar, jumlah luar biasa untuk tahun 1970an, dengan lahan yang dipaksa beli dari rakyat dengan harga Rp 50-Rp 100 per m2 adalah tindakan perlawanan eksplisit Rendra yang pertama.
Setelah perlawanan itu kemudian ia menulis sebuah sajak yang sangat menggemparkan yang berjudul Mastodom dan Burung Kondor. Ia bercerita tentang gajah-gajah raksasa yang menginjak-injak rakyat dan burung-burung kebebasan, dengan tokoh pusat semacam resi atau rasul. Kemudian karya Suku Naga yang bercerita tentang sebuah alam yang dirusakkan mesin raksasa “pembangunan” yang korup dan tidak punya hati.
Rendra datang ke kampus-kampus untuk menyuntikkan perlawanan terhadap para mahasiswa, sehingga pada puncaknya ketika akan pentas Pamflet Penyair dan Orang-orang Rangkasbitung, segera dilarang untuk tampil di Taman Ismail Marzuki dan di tempat-tempat yang lain. Sungguh kenyataan itu menjadi ancaman terus menerus dalam kehidupan Rendra. Tetapi dengan cara pemberontakan yang begitu berani, mampu menjadikan Indonesia bangkit dan berkembang.
Ia memiliki peran penting dalam menciptakan sebuah bangsa yang maju dan bersih, menciptakan sebuah bangsa yang terdidik, jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Bela Sungkawa
Tulisan tak ingin berbela sungkawa pada Rendra yang sudah tenang di sisiNya. Tetapi ingin berbela sungkawa pada bangsa yang ditinggalkan Rendra. Sebagai bangsa yang berdaulat, yang katanya menganut asas demokrasi, tetapi rakyat masih banyak yang terlantar, banyak yang makan nasi aking, nasi jagung dan lauk lembayung.
Sementara orang yang mulai dulu membela rakyat kini sudah tiada, seniman terhebat yang kita punya telah pergi, meninggalkan bangsa ini. Apa gerangan yang akan terjadi? Demontrasi kini terjadi di mana-mana, bencana alam di mana-mana, kecelakaan di mana-mana, namun pemerintah semakin cuek saja. Saya harap bermunculan Rendra baru yang bisa tegar membela rakyat kecil, melakukan perlawanan.
Selamat jalan WS Rendra! Semoga bangsa ini terus menerus hidup sebagaimana engkau yang terus hidup. Semoga apa yang engkau perjuangkan bisa menjadi perhatian bagi bangsa ini. Dan semoga jasa-jasamu pada negeri ini menjadi amal yang bisa membawamu tiba di surga, sebagaimana yang engkau senandungkan: Rasanya setelah mati/ Berpulang tak ada sesuatu yang mengagetkan/ Di dalam hidup ini “Hidup menjadi nyata, fitrahku kembali,”.***


Sumber Gambar 1 : http://www.inioke.com//foto/berita/ws-rendra.jpg
Sumber Gambar 2 : https://asi7.files.wordpress.com/2010/04/ws-rendra.jpg


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment