Home » » Imre Kertesz; Saksi Mata dari Budapest

Imre Kertesz; Saksi Mata dari Budapest

Diposkan oleh damar pada Saturday, April 4, 2015 | 2:09 AM



 https://iwandahnial.files.wordpress.com/2010/03/kamp-1.jpg?w=510&h=335
Imre Kertesz, sastrawan besar peraih Nobel Sastra tahun 2002 ini lahir di Budapest Hungaria pada tahun 1929. Ia berasal dari keluarga biasa, tumbuh besar di tempat kelahirannya. Namun setelah ia remaja, menjadi anak yang kritis sebagaimana anak-anak Budapest lainnya. Lika-liku perjalanan hidupnya yang sangat mengerikan adalah ketika remaja Yahudi ini diberi kesempatan bertahan hidup dan selamat dari belenggu maut di Kamp Konsentrasi Auschwitz II. Ketika itu, Adolf Hitler beserta rezimnya membanjiri sejarah umat manusia dengan merah darah kekejaman Perang Dunia II.

Kertesz menjadi saksi mata peristiwa 1944 di kamp ini. Pada bulan Maret, Jerman menyerang Hungaria. 438.000 orang Yahudi dibawa, sebagian besar mereka dibunuh dan dibakar hidup-hidup. Pada bulan Juli, ratusan orang Gipsi juga dilayangkan nyawanya. 7 Oktober, orang Yahudi yang memiliki hak khusus (Sonderkomandor) yang berjumlah 250 orang melakukan pemberontakan dan akhirnya mereka terbunuh. Tiga hari setelah itu, 800 anak-anak dari Roma dibunuh secara dramatis. Dan Kertesz melihat dengan mata kepada peristiwa-peristiwa memalukan itu.
Kenangan-kenangan Holocaust ini tidak akan pernah hilang dari memorinya. Kertesz kemudian menulis novel pengalaman pribadi itu, yang menceritakan panjang lebar pengalamannya di Aushwitz II. Novel autobiografinya kemudian terbit berjudul Sorstalansag (Tanpa Takdir, 1975), A Kurdarc (Kegagalan, 1988), dan Kaddish a Meg Nem Sezuletetett Gyermekerert (Kaddish untuk Seorang Anak yang Tak Terlahir, 1990). Novel ini dianggap sebagai novel penting oleh Akademi Swedia dan menjadi inspirasi untuk mengingat kembali neraka dalam sejarah umat manusia, sehingga membuat Kertesz memenangi hadiah Nobel Sastra pada tahun 2002.
Dalam novel Sorstalansag, ia mengangkat hal ihwal kehidupan Kamp Konsentrasi, dengan berbagai fenomena tercerabutnya rasa kebahagiaan menjadi manusia. Kertesz mengilustrasikan sosok remaja bernama Koves yang sukses beradaptasi dan selamat dari maut, meskipun ancaman-ancaman kematian itu selalu mendera jiwanya. Berikut ungkapan Koves dalam perpisahan terakhir dengan ayahnya yang bersiap menuju pembakaran Holocaust: Lalu, kuminta mereka mempertimbangkan hal ini, "Setiap menit sebenarnya dapat menyebabkan timbulnya urusan baru." Memang, tidaklah selalu begitu, tapi harus diakui bahwa tentu saja bisa terjadi. Maka, kalau dilihat secara keseluruhan, sesuatu entah apa pun itu mungkin saja telah terjadi selama menit-menit berlangsung, sesuatu lain yang akhirnya sungguh-sungguh terjadi di Auschwitz, seperti halnya juga di rumah ini, katakanlah begitu, ketika kita semua sedang mengucapkan kata perpisahan pada ayah.
Rezim fasisme telah merobek-robek nyali setiap umat manusia yang hidup di sana. Bagaimana seorang anak harus berpisah dengan ayah dan ibunya? Bahkan di tengah kekejaman rezim yang berkuasa, anak-anak yang juga disiapkan untuk dibunuh itu diperlihatkan, bagaimana orang tua mereka dihabisi. Di dinding-dinding Kamp konsentrasi yang gelap, tertulis kalimat-kalimat puitik yang berupa seruan, kesakitan, kebencian, kecewa, dan rasa cemas yang terus mendera. Puisi yang menghablur di tembok kamp Ghetto ini tak ditemukan penulisnya, berbunyi :
She can not move her swollen feet,
her palms are like a cobble stone.
She closes her eyes,
the blue dress is on the meadow
scattered with marigolds,
the bare feet are in the grass.
Pengalaman yang sama juga dialami oleh seorang psikolog terkemuka dunia, Viktor E. Frankel (1905-1997). Laki-laki kelahiran Wina Austria ini berada dalam kamp yang sama dengan Kertesz. Namun ia lebih lama, 3 tahun. Fankel keluar setelah dibebaskan oleh tentara Amerika. Sedangkan Kertesz hanya satu tahun. Sebagaimana Kertesz, Frenkel juga menulis pengalaman pribadinya selama ada di Kamp Konsentrasi. Melalui bukunya yang berjudul Mens Search for Meaning (1945), ia menceritakan, bagaimana manusia dibunuh hidup-hidup. Mereka berbaris seperti sedang antri mendapatkan makanan, tetapi di sana sedang antre untuk memasuki kawah pembakaran. Mereka antre untuk menyerahkan nyawa. Betapa jiwa manusia tak ubahnya dengan katak, sapi, kambing, babi, di tangan Holocaust.
Ketika persepsi tentang kebahagiaan dan kebenaran telah menjadi rezim, maka ia akan bergeser menjadi ketidakbahagiaan dan ketidakbenaran---begitulah catatan Kertesz dalam esainya A Holocaust Mint Kultura. Manusia telah kehilangan kemanusiaannya. Yang ada hanyalah sebuah rezim yang berkuasa untuk memenuhi kepentingannya. Karya-karya besar Imre Kertesz sampai saat ini terus berkibar di seantero dunia. Ia mengatakan pada setiap henyak nyawa bahwa menghargai manusia yang lain adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Dan menemukan kebahagiaan di tengah-tengah rezim yang menekan, membutuhkan adaptasi nyata.***


Sumber Gambar : https://iwandahnial.files.wordpress.com/2010/03/kamp-1.jpg?w=510&h=335


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment