Imre Kertesz,
sastrawan besar peraih Nobel Sastra tahun 2002 ini lahir di Budapest Hungaria
pada tahun 1929. Ia berasal dari keluarga biasa, tumbuh besar di tempat
kelahirannya. Namun setelah ia remaja, menjadi anak yang kritis sebagaimana
anak-anak Budapest lainnya. Lika-liku perjalanan hidupnya yang sangat
mengerikan adalah ketika remaja Yahudi ini diberi kesempatan bertahan hidup dan
selamat dari belenggu maut di Kamp Konsentrasi Auschwitz II. Ketika itu, Adolf
Hitler beserta rezimnya membanjiri sejarah umat manusia dengan merah darah
kekejaman Perang Dunia II.
Kertesz
menjadi saksi mata peristiwa 1944 di kamp ini. Pada bulan Maret, Jerman
menyerang Hungaria. 438.000 orang Yahudi dibawa, sebagian besar mereka dibunuh
dan dibakar hidup-hidup. Pada bulan Juli, ratusan orang Gipsi juga dilayangkan
nyawanya. 7 Oktober, orang Yahudi yang memiliki hak khusus (Sonderkomandor)
yang berjumlah 250 orang melakukan pemberontakan dan akhirnya mereka terbunuh.
Tiga hari setelah itu, 800 anak-anak dari Roma dibunuh secara dramatis. Dan
Kertesz melihat dengan mata kepada peristiwa-peristiwa memalukan itu.
Kenangan-kenangan
Holocaust ini tidak akan pernah hilang dari memorinya. Kertesz kemudian menulis
novel pengalaman pribadi itu, yang menceritakan panjang lebar pengalamannya di
Aushwitz II. Novel autobiografinya kemudian terbit berjudul Sorstalansag (Tanpa
Takdir, 1975), A Kurdarc (Kegagalan, 1988), dan Kaddish a Meg Nem
Sezuletetett Gyermekerert (Kaddish untuk Seorang Anak yang Tak Terlahir,
1990). Novel ini dianggap sebagai novel penting oleh Akademi Swedia dan menjadi
inspirasi untuk mengingat kembali neraka dalam sejarah umat manusia, sehingga
membuat Kertesz memenangi hadiah Nobel Sastra pada tahun 2002.
Dalam novel Sorstalansag,
ia mengangkat hal ihwal kehidupan Kamp Konsentrasi, dengan berbagai
fenomena tercerabutnya rasa kebahagiaan menjadi manusia. Kertesz mengilustrasikan
sosok remaja bernama Koves yang sukses beradaptasi dan selamat dari maut, meskipun
ancaman-ancaman kematian itu selalu mendera jiwanya. Berikut ungkapan Koves
dalam perpisahan terakhir dengan ayahnya yang bersiap menuju pembakaran
Holocaust: Lalu, kuminta mereka mempertimbangkan hal ini, "Setiap menit
sebenarnya dapat menyebabkan timbulnya urusan baru." Memang, tidaklah
selalu begitu, tapi harus diakui bahwa tentu saja bisa terjadi. Maka, kalau
dilihat secara keseluruhan, sesuatu entah apa pun itu mungkin saja telah
terjadi selama menit-menit berlangsung, sesuatu lain yang akhirnya
sungguh-sungguh terjadi di Auschwitz, seperti halnya juga di rumah ini,
katakanlah begitu, ketika kita semua sedang mengucapkan kata perpisahan pada
ayah.
Rezim fasisme
telah merobek-robek nyali setiap umat manusia yang hidup di sana. Bagaimana
seorang anak harus berpisah dengan ayah dan ibunya? Bahkan di tengah kekejaman
rezim yang berkuasa, anak-anak yang juga disiapkan untuk dibunuh itu
diperlihatkan, bagaimana orang tua mereka dihabisi. Di dinding-dinding Kamp
konsentrasi yang gelap, tertulis kalimat-kalimat puitik yang berupa seruan,
kesakitan, kebencian, kecewa, dan rasa cemas yang terus mendera. Puisi yang
menghablur di tembok kamp Ghetto ini tak ditemukan penulisnya, berbunyi :
She can not move her swollen
feet,
her palms are like a cobble
stone.
She closes her eyes,
the blue dress is on the
meadow
scattered with marigolds,
the bare feet are in the
grass.
Pengalaman
yang sama juga dialami oleh seorang psikolog terkemuka dunia, Viktor E. Frankel
(1905-1997). Laki-laki kelahiran Wina Austria ini berada dalam kamp yang sama
dengan Kertesz. Namun ia lebih lama, 3 tahun. Fankel keluar setelah dibebaskan oleh
tentara Amerika. Sedangkan Kertesz hanya satu tahun. Sebagaimana Kertesz,
Frenkel juga menulis pengalaman pribadinya selama ada di Kamp Konsentrasi.
Melalui bukunya yang berjudul Mens Search for Meaning (1945), ia
menceritakan, bagaimana manusia dibunuh hidup-hidup. Mereka berbaris
seperti sedang antri mendapatkan makanan, tetapi di sana sedang antre untuk
memasuki kawah pembakaran. Mereka antre untuk menyerahkan nyawa. Betapa jiwa
manusia tak ubahnya dengan katak, sapi, kambing, babi, di tangan Holocaust.
Ketika
persepsi tentang kebahagiaan dan kebenaran telah menjadi rezim, maka ia akan
bergeser menjadi ketidakbahagiaan dan ketidakbenaran---begitulah catatan
Kertesz dalam esainya A Holocaust Mint Kultura. Manusia telah kehilangan
kemanusiaannya. Yang ada hanyalah sebuah rezim yang berkuasa untuk memenuhi
kepentingannya. Karya-karya besar Imre Kertesz sampai saat ini terus berkibar
di seantero dunia. Ia mengatakan pada setiap henyak nyawa bahwa menghargai
manusia yang lain adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Dan menemukan
kebahagiaan di tengah-tengah rezim yang menekan, membutuhkan adaptasi nyata.***
Sumber Gambar : https://iwandahnial.files.wordpress.com/2010/03/kamp-1.jpg?w=510&h=335
0 comments :
Post a Comment