Home » » Sungai-sungai Yang Terbentang Di Kepalaku

Sungai-sungai Yang Terbentang Di Kepalaku

Diposkan oleh damar pada Sunday, April 12, 2015 | 9:30 PM

http://tjiahendra.blog.binusian.org/files/2010/06/f08.jpg 
Percayakah kamu bila aku bercerita tentang pertemuanku dengan orang-orang Ekumene ribuan tahun yang lalu? Tentu keningmu berkerut kemarut. Tapi baiklah, meski ini rahasia yang sangat menyenangkan,  aku akan bercerita padamu dengan bahasa lembut angin timur dan kamu akan datang padaku membawa kitab-kitab tua yang kusam.
4.444 hari aku bertualang, berjalan di tepian sungai. Dan setiap sungai yang kuikuti pasti berujung di laut. Bila tiba di laut, aku berlayar ke pulau seberang. Dan di pulau seberang, aku mencari sungai lagi, kuikuti lagi, kutemui laut lagi, aku berlayar lagi, dan bila tiba di seberang, kucari sungai lagi, begitulah seterusnya petualanganku, hingga suatu malam aku terkapar di tepi sungai (entah sungai apa namanya) karena kehabisan sangu. Di sanalah aku bertemu dengan perempuan masa lalu dan inilah peristiwa dalam petualanganku yang masih kukenang.


Sungai Madura
Riak air sungai. Gelombang menggelimang di mataku. Batu-batu hitam menghampar di pinggir. Air mengalir ke hilir. Aku berdiri di atas batu besar itu, menatap air keruh penuh lumpur menghablur, hingga dasar tak terlihat dengan jelas. Terlihat para gembala memandikan sapi di tepi. Bercaping dari irisan bambu yang dianggit bercampur ranting-ranting.
Aku gelisah. Mungkin karena Ayah dan Ibuku atau keluarga yang membesarkanku. Sejak kecil aku tak pernah mengaji, belajar membaca huruf-huruf apalagi belajar di sekolah layaknya teman-teman seusiaku hingga umur 22 tahun ini. Setiap hari aku hanya bergulat dengan pekerjaan mereka, mengambil (memikul) air  dari bukit, menggembala dan mencangkul di sawah. Tentu aku jenuh dengan semua itu.
Untungnya, menjelang tidur, Nenekku (Nyi Matban) dan Kakekku (Ke Emmar) menceritakan padaku tentang fabel-fabel, nabi-nabi, Rama dan Shinta, petualangan pengembala si Santiago dan pengalaman-pengalaman Kakek dan Nenek di zaman penjajahan Belanda. Itulah yang membuatku sedikit betah di rumah.
Karena sekarang Nenek dan Kakekku sudah meninggal, tak ada lagi orang yang dapat bercerita padaku, memberiku kisah-kisah aneh yang membuatku senang dan riang. Akhirnya, aku datang ke sungai ini, aku berdiri di atas batu hitam ini, memandang kelam masa silam yang buram. Dan dari sinilah aku berangkat ke daerah yang jauh, mengikuti sungai yang panjang.
Meski lelah lungkrah di seluruh tubuh, kubiarkan dada terkubang tiram, mata penuh gelombang dan pohon-pohon di pinggir sungai disisir angin. Daun-daun hijau melahirkan desau di dadaku bagai gelombang di air. Dan aku ingin berjalan seperti Santiago dalam kisah Kakek dan Nenek: ingin menyelesaikan hari-hari dan malam-malam penuh makna dan cinta.
Mata terpaut tak surut. Runcing tanah kelahiran yang masih menggesek kenyerian panjang. Perempuan kampung yang tak dapat kuceritakan, karena ia telah meninggalkanku sejak lama, kini bayang-bayangnya beriak di air. Aku ingin berlayar ke seberang, meninggalkan masa lalu bertalu, menghapus kisah lama yang pupus. Dan seolah-olah aku baru memulai hidup lewat perjalanan ini. Aku berteriak sekeras-kerasnya, biar redam sesal, biar tenggelam masa silam, biar alam mendengar segala gelisah keruh.

Sungai Moksa
Ilalang distabit bulan. Air mengalir pelan. Bintang-bintang berpacak di angkasa. Ingatan silam nyeri dukana, menghablur jiwa moksa. Tiba-tiba berkelebat dalam pandang, kucing belang dengan bulu tiga warna. Aku menyorot ke berbagai arah, kucari-cari seekor kucing belang yang melompat di depanku. Bunyi meraung. Maung! Maung! Angin berdesir menyisir rambutku. Derit jangkrik memekik ke udara seolah membelah cuaca malam.
Aku duduk di bawah pohon besar pinggir sungai. Kresek daun kering di samping kananku seolah ada yang lewat, seolah ada yang mendekat. Mataku menatap belukar. Tak ada. Hanya seekor kucing yang pelan-pelan mendekatiku. Matanya bagai bola api yang menyala. Tubuhku tergetar ketika menatap mata kucing itu. Merinding. Mata kucing itu menahan mataku. Tatapanku tak dapat beranjak.
Ah! Seolah-olah tubuhku sedang berada di ambang gua. Langit cerah. Awan-awan tipis digesek angin. Walet keluar masuk pintu gua. Cericit melecut. Aku melongok dari luar, aku masuk. Kuperhatikan dinding gua yang gelap. Lilin tiba-tiba menyala. Perempuan berdiri di depanku. Ya, perempuan itu mirip perempuan kampung yang kucintai. Kain tipis menempel di tubuhnya, pahanya kuning langsat, kutang meregang di dadanya. Montok. Di kepalanya memakai mahkota dan konde-konde berpacak bagai bunga kaca.
Aku berjalan pelan. Perempuan itu tak sedikitpun berkata-kata padaku. Senyum terkulum di bibirnya. Ia membuntut di belakangku. Sebuah ruang yang lebar dalam gua. Patung-patung tegak di tengah-tengah dengan lilin berpendar. Matanya menyorot padaku. Mendekat. Aku terus melangkah dalam gua, melangkah lebih jauh lagi. Lolong anjing panjang membuatku sedikit gemetar. Aku berjalan pelan mendekati patung-patung. Kemudian perempuan berkutang itu menyulut lilin di sudut-sudut gua. Anjing menggonggong keras.
Astaga! Di samping kanan kiri patung-patung terdapat enam orang lelaki tergeletak. Rambut mirip rumput merumbai di lantai. Ngorok. Seekor anjing duduk disamping mereka seolah-olah ia sedang menjaga enam orang itu. Apakah mereka kecapean setelah bergantian bersenggama dengan perempuan itu? Atau mereka sedang lari dari kejaran-kejaran? Entahlah! Perempuan itu tak bergeming. Senyum melihatku bengong.
Ashabul Kahfi!” Tukas perempuan itu seolah menunjukkanku. Aku menoleh ke arahnya. Bahu perempuan itu terlihat bergerak dan tangannya mengayun ke depan. Aku bengong, sama sekali tak paham ucapan perempuan itu. Anjing terus menggonggong. Aku berjalan ke dekat-dekat dinding, ke dekat lilin. Patung-patung di dinding terlihat meski remang, seolah-olah bergambar peperangan. Aku kembali ke dekat patung di tengah ruang. Aku berjongkok di dekat lelaki tambun yang tergeletak di bawah patung. Aku ingin melihat buntalan daun yang terlipat di saku seorang dari enam lelaki itu. Tanganku mengayun ke sakunya
“Hukk! Hukk!”
Braggg!! Anjing melompat ke arahku, menggigit lenganku. Aku berteriak. Lenganku berdarah. Perempuan yang berdiri di belakangku masih tersenyum. Ia mendekati anjing dan mengusap-usap punggungnya. Kemudian anjing itu menjilat-jilat pahanya, sesekali juga menjilat wajah, leher dan payudaranya.
Seperti ada gemuruh angin. Aku menoleh ke belakang. Tak ada angin menghembus dari luar. Namun gemuruh itu bagai badai yang akan menghantam mulut gua. Aku tiba-tiba terpelanting ke dinding, seolah-olah dinding dan patung-patung sudah remuk. Ah! Reda tiba-tiba. Gemuruh hilang tiba-tiba. Dan semuanya baik-baik saja.
Aku terperanjat. Tersadar. Kulihat lengan kananku terdapat luka memar bekas gigitan. Aku bangkit dari bawah pohon besar itu, kucari-cari kucing yang mengajakku bertualang, kulihat ke arah barat, timur, utara dan selatan. Kusisir belukar. Tak ada. Pikiran berkabung. Aku menghenyakkan napas ke udara. Terlihat bulan sudah lengser ke ufuk timur. Nyeri luka di lengan, kubalut dengan daun akasia yang dilapisi sobekan sarung. Aku berjalan pelan menyisir pinggir sungai. Derak air masih terdengar lamban.

Sungai Nun
Cuaca dingin. Ikan-ikan bergerak dari karang ke karang, menelan bulan malam purnama. Sisiknya meletup riak dan gusar, seolah-olah di mata ikan itu terdapat huruf-huruf China yang tak dapat kumengerti. Aku ingin berkata-kata pada ikan yang mengipaskan siripnya di sungai itu, tapi ikan itu segera pergi. Menghilang.
“Mangli Oh! Mangli!”
Kata-kata itu tiba-tiba menyeruak dari mulutku. Mangli, adalah nama mbah buyutku yang menyukai pantai. Setiap hari dan malam, ia sering datang ke pantai sekedar menatap pulau seberang dan mencelupkan kakinya pada ombak dan gelombang air laut pasang. Pernah suatu ketika mbah Mangli ingin menyeberang ke pulau seberang, ia tak punya sampan, tak punya uang untuk ongkos ke seberang. Namun mbah Mangli memanggil ikan di tengah laut, mulutnya komat-kamit. Dan tak lama kemudian, ikan Hiu besar datang, ia meminta mbah Mangli menaikinya, ia siap mengantar Mbah Mangli ke pulau seberang.
Aku duduk di atas batu besar. Diam. Kudengarkan musik air juga lolong serigala di ambang sungai. Aku gemetar karena dingin. Aku menatap batu-batu sungai dan aliran air yang terbelah menjadi dua. Ah, di sini memang pertemuan dua sungai: sungai Lam dan sungai Mim. Sebelum bertemunya dua sungai ini terdapat batu besar mirip nun.
Kemudian ikan Hiu itu datang lagi, ia memberikan semangkok makanan “Ambillah! Ini hidangan para nabi!” kuterima dan kunikmati makanan itu dengan lahap. Apakah ikan yang kutemui ini, anak ikan yang mengantar mbah Mangli? Entahlah! Aku bengong. Tak paham maksud ungkapan ikan Hiu itu. Apakah di sini ada nabi-nabi? Nabi-nabi seperti yang pernah kuhapal sejak kecil? Nabi-nabi yang dikisahkan Kakek dan Nenek?
Ikan itu bercerita padaku “Dan di tempat inilah para nabi bertapa dan wahyu-wahyu diturunkan. Tentu, nabi-nabi yang tak pernah dikenal oleh umat manusia sebagai nabi: nabi Kolap, nabi Yisz, nabi Syayaz, nabi Qurab, nabi Fir’un, nabi Qarun dan nabi Suklabah”
“Maksudmu?” Aku tak paham.
“Ya, bila kamu bertahan sampai 41 hari di tempat ini, layaknya para pendahulumu, kamu akan bertemu dengan nabi-nabi yang pernah bertapa di sini. Mereka semua tidak jahat dan sangat mengakumkan” lugas sekali ikan itu bercerita padaku. Sirip dan ekornya berkepak-kepak. Angin lirih membelai rambutku.
“Aku yakin kamu bukan ikan? Siapa kamu sebenarnya? Dapatkah kamu menyampaikan padaku ungkapan-ungkapan mereka yang dapat bermanfaat?”
“Tidak! Lebih baik kamu bertemu sendiri dengan mereka. Pertemuanmu dengan Ashahubul Kahfi sudah sangat mengagumkan. Mereka adalah nabi-nabi yang diburu oleh para penjahat,  karena mereka merasa tidak aman, mereka bersembunyi dalam gua”.
Begitukah? Ah! Aku semakin yakin bahwa ikan yang ada di depanku bukanlah ikan seperti biasanya, ikan ini pastilah jelmaan dari orang-orang suci “Bukan. Aku bukan orang suci. Aku hanya penjaga di tempat ini”. Astaga! Ikan itu mengerti derit hatiku. Dan mengapa ikan itu juga mengerti pertemuanku dengan Ashhabul Kahfi? Aku gemetar. Sekujur tubuhku berkeringat. Ikan itu pelan-pelan bergusar dan pergi dari hadapan. Aku tak bisa berdiri karena terharu dan gemetar.
Kemudian ikan itu berbelok lagi. Kembali. “Bila kamu bertemu dengan Maria, sampaikan padanya, al-Mahdi akan segera lahir” Aku mengangguk seraya mengiyakan. Ikan itu pergi lagi. Maria. Ya, sebuah nama yang terus terngiang. Nama asing yang terus menggasing dalam ingatan. Mungkinkah aku akan bertemu dengan Maria? Laki-laki atau Perempuankah? Entahlah! Aku berusaha bangkit, meski tertatih letih. Aku pergi karena tak ingin bertemu nabi-nabi.

http://farm5.staticflickr.com/4138/4873886779_90c893fd35_z.jpg
Sungai Kejadian
Siang lajang. Langit cerah. Aku menaiki sebuah bangunan yang tersusun dari batu di pinggir sungai. Bangunan-bangunan tua bertingkat mirip Candi-candi. Terdapat jendela-jendela untuk melongok ke luar. Bila melongok, kita akan melihat tumpahan air terjun dan riak air yang indah. Aku pindah dari ruang ke ruang yang kosong, melongok dari berbagai jendela. Patung-patung dinding terukir rapi.
Aku beranjak ke sebuah ruang nomor sembilan dari timur, pintunya tertutup rapat. Sebelum membuka pintu, aku menoleh ke berbagai arah. Tak ada orang. Namun tak sedikitpun sinar matahari masuk dalam ruang. Gelap. Aku masuk dalam ruang itu, ah, tengkorak kepala manusia bertumpuk. Berbanjar. Bersusun. Bulu kuduk merinding. Aku membuka jendela yang terbuat dari kayu, aku melihat sebuah ruang yang kosong, seolah-olah aku berada di alam terbuka yang luas “Jendela Kejadian,” suara terdengar di kuping. Aku mencari-cari sumber suara. Tak ada.
Dari belakang suara melanggam “Imhotep! Imhotep! Imhotep!” barisan para mumi melangkah ke arahku. Di tangannya tombak lancip siap meregang nyawa. Aku segera menutup pintu ruang itu. Gemetar. Aku mengintip. Barisan mumi itu berhenti dan berbalik arah. Aku menghempas napas ke udara. Bersandar ke dinding. Lalu melangkah ke jendela.
Ketika aku menatap ke luar jendela seolah-olah menyaksikan sebuah taman yang indah. Taman-taman itu tak pernah kusaksikan sebelumnya, buah-buah ranum, lantai-lantai bersih penuh permadani, dibawahnya air mengalir. Di dinding-dindingnya penuh permata. Semerbak bunga-bunga melindap dalam penciumanku. Dua orang manusia sedang bercinta. Laki-laki dan perempuan: Adam dan Hawa. Laki-laki itu berkulit cokelat penuh lumpur, sedang Hawa berkulit kuning langsat. Hidung mancung.
Seekor ular kobra tiba-tiba mendekat. Kemudian ular yang mendekat itu menjelma manusia “He! He!” kekeh meledak di udara. Dua orang yang berciuman itu terperanjat ketika melihat seorang berdiri di hadapannya “Nikmatilah! Nikmatilah perempuan itu, Dam! Ia dicipta hanya untukmu” Adam mundur dua langkah. Kedua tangannya menutupi kelaminnya yang menegang “Siapakah kamu? Kenapa kamu ada di tempat ini?” Adam menatap mata lelaki yang berdiri itu, matanya menyala merah neraka.
“Aku utusan Tuhan yang diperintah untuk menemuimu. Janganlah ragu-ragu. Kawinilah perempuan itu,” tambahnya.
Adam menatap lelaki itu dalam-dalam, di matanya menyembul kebencian. Tangannya terkepal ingin menikam.
“Hei, jangan bodoh, Dam! Perempuan itu dicipta untuk kamu nikmati. Bukankah tubuhnya berasal dari tubuhmu?” Iblis geram. Kebencian Adam semakin gurindam.
Kemudian Iblis yang menjelma lelaki itu maju beberapa langkah. Adam mundur beberapa langkah. Ketakutan. Tubuhnya menggigil. Iblis membuka tangannya, ia mengundang angin, ia menghenyakkan napasnya di udara. Tubuh perempuan itu terhempas. Terpelanting. Tiba-tiba pohon-pohon berbuah ranum bermunculan di kanan kiri Adam. Ya, pohon-pohon itu tidak terlalu tinggi, hanya setinggi Adam: + 30 hasta “He! He! Makanlah buah yang nikmat itu, Dam! Ini semua kudatangkan agar kamu dapat bersenang-senang di sini. Nikmatilah sesuka hatimu”
Lewat hembusan angina, Hawa telah terkena tipu daya Iblis yang menjelma menjadi lelaki tampan itu. Ia mendekat pada Adam, ia mengelus-elus lelaki itu dan sesekali tangannya meraba kelamin Adam. Kelamin itu kembali menegang. Namun setelah Adam tergiur tubuh Hawa, Adam mencium penuh girang. Adam menindih pelan-pelan. Lalu Hawa mendorong Adam, ia meminta agar ia memetik buah-buah segar yang tumbuh di depannya, ia pun menggoda di bawah pohon yang rindang itu.
Karena Adam sudah terlena pada perempuan itu, Sang Iblis pergi. Mata gelap tersingkap di balik siluet merah indah yang meletup di langit-langit. Adam dan Hawa mendekat ke tengah pohon. Rayuan demi rayuan menggelegak dari mulut Hawa. Adam pelan-pelan meraba-raba pohon. Angkasa gelap. Mata Adam dipenuhi kunang-kunang. Malaikat-malaikat bertangan lembut datang bertandang. Malaikat yang menyerupai burung elang hitam berkepak disampingnya. “Tinggalkan pohon itu, Dam! Sungguh Tuhanmu akan murka bila kamu mendekat. Cepat tinggalkan!”
Bingung. Hawa memetik buah kejadian yang mirip apel itu. Ia memberikan pada Adam. Hawa terdiam. Duduk di depan Adam. Hawa mengiris buah itu dengan batu, kemudian ia menyuapi Adam. Adam mengunyah pelan-pelan buah kejadian itu. Ia seolah-olah sedang mabuk, tenanganya bertambah kuat. Lalu ia mencincang tubuh Hawa di bawah pohon itu. Kelaminnya tegang. Adam memasukkan kelaminnya ke dalam kelamin Hawa. Desahan demi desahan terdengar lirih, gumul dua tubuh berlabuh. Sang Iblis terkekeh-kekeh dari belakang. Air mani tumpah di rahim Hawa.
Usai. Adam pingsan. Hawa lunglai. Tubuh mereka tiba-tiba penuh borok, pelan-pelan borok itu membusuk. Ulat-ulat kecil menyembul dari daging mereka yang nyinyir. Ah, karena takut mengotori Surga, Tuhan memerintah Malaikat untuk membuang dua manusia itu ke bumi.  
Cweeesssss! Brakkkkkk!! Astaga! Jendela ruang itu tiba-tiba tertutup. Ruangan gelap. Mataku berkunang-kunang. Keringat terurai di sekujur tubuhku. Tengkorak kepala yang menumpuk dalam ruang seolah-olah menoleh padaku, seolah-olah membisikkan sesuatu, namun aku tak paham yang dibisikkan mereka. Kubuka pintu. Langgam kembali muncul dari depan “Imhotep! Imhotep! Imhotep!” mendekat. Aku lari. Aku keluar dari bangunan tua pinggir sungai itu. Kulihat ke belakang, para mumi masih mengejarku. Aku lari sekencang-kencangnya.

Sungai Mahdi
Sinar matahari tertutup bongkahan batu besar. Ya, dua bongkah batu terbelah, di tengahnya menjadi aliran sungai. Percik air beriak di telinga. Capung-capung berkejaran dari bunga ke bunga, dari rumput ke rumput hijau. Aku menaiki bongkahan batu yang terbelah sungai. Sinar matahari terik di kulitku, kuhirup udara pagi yang segar. Aku tertatih. Lelah. Tak ada sangu di kantong. Perut berkeroncong. Tubuhku mulai lunglai dan wajahku pelai.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada orang yang dapat kupanggil untuk sekedar diminta bantuan. Aliran air di dasar masih meluber. Sudah dua hari dua malam aku tidak istirahat, pikiranku dikejar-kejar oleh kenangan, dikejar-kejar ingatan tentang mumi yang kutemui beberapa hari sebelumnya. Aku khawatir mumi-mumi itu datang padaku lewat udara atau angin. Sungguh aku khawatir. Mataku sedikitpun tak dapat terpejam. Mataku bertabur ke berbagai arah, kuharap ada orang yang dapat menemaniku istirahat di tempat ini, di balik sebongkah batu.
Kutaruh kantong yang kugendong di dekat batu yang berlubang, aku rebah di antara dua batu itu. Pikiranku berkabung, mungkin saja aku sudah tak dapat melanjutkan perjalanan lagi, mungkin aku tak akan kembali ke kampung halaman. Tapi tak apa, biarlah mayatku meliang di sini, semoga orang-orang yang menemukan mayatku, mereka melemparku ke sungai ini, agar jiwaku dingin, sedingin air sungai dan rohku gentayangan di antara bintang-bintang. Aku terlelap.

***
2 jam kemudian. Seorang perempuan membanguniku. Aku terperanjat. Perempuan itu memakai mahkota, mirip perempuan dari tanah India. Matanya berkedip-kedip ketika berbicara. Ia menyodorkan sebuah kotak padaku. Ya, sebuah kotak yang berisi roti. Aku terima kotak itu, mataku terus melotot ke wajahnya. Hidungnya ditindik. Mancung. Matanya yang agak hijau juga memelototiku. Kemudian perempuan itu menyodorkan sebuah kaleng yang terbuat dari bambu warna kuning. Dan di punggung botol itu terdapat tulisan Arab yang rapi “Al-Kautsar
“Nikmatilah makanan itu,” pungkasnya. Aku kembali menatapnya sembari kumakan dua lapis roti itu “Boleh tahu, siapa namamu? Datang dari mana?” Tanyaku dengan bahasa Arab tersendat.
“Namaku Maria. Aku datang dari masa lalu” Tukasnya dengan bahasa Arab yang kaku. Senyum terkulum di bibirnya. Sesekali bahunya bergerak-gerak ketika berbicara.
“Maksudmu?” Tanyaku sembari kutatap matanya dalam-dalam.
“Aku datang untuk menemuimu. Sudah lama aku menunggumu. Akhirnya kamu datang juga”. Ah, Perkataannya semakin tidak kumengerti. Aku curiga, jangan-jangan perempuan yang duduk di depanku ini bukan manusia.
“Kamu percaya takdir, kan?” Aku mengangguk “Takdir telah berbicara, kita akan bertemu di sini, di tempat ini” tambahnya.
Kemudian perempuan itu menciumku, melumat bibirku. Pelan-pelan Maria meraba-raba tubuhku, melepas kemejanya di depanku, ya, kemeja yang seolah-olah terbuat dari kulit onta. Tebal dan berbulu. Aku memalingkan muka “Jangan berpaling. Mari kita laksanakan perintah Roh Kudus” menyembul dari bibirnya yang merah. Ia terus menatapku, memperhatikan seluruh tubuhku.
“Tidak! Ini tidak mungkin kamu lakukan denganku,” Aku mengelak. Aku tiba-tiba ingat pesan ikan Hiu di sungai Nun. Aku curiga, jangan-jangan perempuan di depanku ini yang dimaksud oleh ikan Hiu itu? Ah, hidupku semakin tak dimengerti.  
Perempuan itu menarik tubuhku, ia menelentangkanku di atas batu itu, kemudian perempuan itu menindihku, ia menciumi seluruh tubuhku. Sesekali tangannya meraba kelaminku yang mulai menegang. Angin berhembus kencang. Awan tebal menggantung di angkasa “Tidak! Ini laknat. Sungguh ini laknat” perempuan itu terus menciumiku seolah tak mendengar penolakanku. Tak sehelai kainpun menempel di tubuhnya.
Akhirnya, aku terlena. Kami bergumul. Dua tubuh regang tegang tenggelam dalam birahi Tuhan paling cengkram. Kudalami tubuhnya sekuat tenagaku, desah rapat di mulutnya, mata terpejam memeram nikmat teringat kelam “Beginilah! Beginilah!” Maria terengah-engah seolah menahan nikmat “Ya, beginilah yang kulakukan dengan lelaki Mesir yang bernama Musthafe Kameel yang mengaku perwujudan Tuhan, hingga lahirlah anak Tuhan: Kristus”.
Rambutnya yang kriting merumbai halus di atas batu, matanya yang berbinar seolah mengingat masa silam tiram. Ah, di langit seolah terdengar ledakan. Kami menyelesaikan persetubuhan. Telentang. Napas tersengal. Seperti sebuah pintu terbuka di langit, seolah terdapat bayangan lelaki tampan rupawan sedang tersenyum pada kami. Kami terdiam lunglai.
Itulah awal yang menyebabkan kami tertambat di lembah sungai ini, kami membuat gubuk kecil, kami menjalani hari-hari bersamanya, mengulangi persetubuhan-persetubuhan yang mengundang ketagihan.

***
9 bulan kemudian. Di sebuah pagi yang rembang. Kabut menelungkup di gubuk kami, fajar menyingsing terang tanah. Tangis memekik di udara, pertanda anak kami yang pertama telah lahir. Ya, anak yang dilahirkan dari perih pekik perjalanan panjang. Tapi sampai saat ini aku masih tak percaya, betulkah perempuan yang melahirkan anakku adalah perempuan yang datang dari masa lalu? Atau ia hanya bayangan lain dari pencarianku. Memang, selama sembilan bulan berselang, perempuan ini mengajarkan cara hidup yang tenang, sehingga aku tak ingin lagi melanjutkan perjalanan.
Bayi itu kami letakkan di sebuah ranjang kecil yang terbuat dari pelepah kurma, di pojok kiri kuberi sebuah mainan yang terbuat dari daun dan ranting-ranting. Namun lelaki kecil yang baru lahir ini selalu menangis. Tak henti-henti. Di dahinya terdapat huruf alif. Berkerut, seolah-olah ia selalu melihat huruf itu. Matanya berkaca-kaca bagai memperlihatkan sebuah laut yang luas. Bila menangis memekik keras, Maria selalu menggendong dan menyusuinya. Ketika disusui, bayi itu bertambah besar, seolah-olah ia sedang menampakkan keanehannya pada kami.
Sungguh tidak seperti biasanya, bayi kecil itu tiba-tiba bisa merangkak, tangisnya pun semakin keras. Aku memegang kepalaku, mencubit-cubit seluruh tubuhku, aku masih belum percaya pada kenyataan ini, jangan-jangan ini hanya mimpi. Tiba-tiba aku teringat ungkapan ikan Hiu besar di sungai Nun. Ya, apakah bayi ini yang ia sebut sebagai Imam Mahdi? Aku keluar dari gubuk, tangis terus meledak, suasana amis cempedak.
Udara masih dingin. Kesiur air sungai terus menghablur. Kokok ayam jantan terdengar dari kejauhan, entah di mana muasal kokok itu. Ramai. Amat ramai. Seolah menyambut kedatangan anak kami. Aku mendongak ke atas. Kaget. Ayam langit terlihat di angkasa, sayap kanannya melebar ke kutub utara dan sayap kirinya berkepak ke kutub selatan. Astaga! Apa ini? Kemudian Ayam yang berkepak dan berkokok di langit itu terus berkumandang. Disusul ayam-ayam bumi. Tak ada orang-orang datang ke gubuk kami meski ayam-ayam itu amat ramai. Apakah hanya kami yang mendengar kokok itu.
Maria keluar menggendong Mahdi yang masih tersedu. Setelah ia membawanya keluar, anak kecil itu berhenti menangis, seolah-olah tersenyum pada ayam langit. Dan ayam raksasa itu tiba-tiba turun bersama tiga ekor ayam lainnya yang lebih kecil, seolah-olah tiga ekor itu mengiringnya. Aku berdiri. Paruhnya lurus ke gubuk kami. Aku menyuruh Maria masuk membawa bayi itu dalam gubuk, ia pun masuk. Kokok semakin menohok dan ayam itu segera tiba.
“Berikan bayi itu pada kami!” Tukas ayam yang tingginya empat kali melebihi gubuk kami. Ia berdiri di luar pintu.
“Tidak! Ini anak kami. Ini anak petualangan kami” suaraku lantang memeluk anak itu.
“Maria, keluarlah! Anakmu itu bukan anakmu, tapi putra kehidupan. Bila kalian tak memberikan pada kami. Kami akan mengambil paksa”. tegas ayam raksasa itu.
Maria keluar dari gubuk dengan merengkuh anak kecil itu “Siapa kalian sebenarnya?”
“Kami rombongan malaikat yang diperintah menaruh anakmu di jantung dunia yang bertikai. Hanya al-Mahdi yang akan mengamankan pertikaian diantara manusia di bumi ini” Kami tertegun “Lihatlah huruf di sayap kanan kami yang mirip huruf di dahi al-Mahdi” lanjutnya tegas.
Kami memperhatikan. Mata seolah-olah tertahan. Huruf alif itu begitu segar di mata kami.
Meski hati lepuh dan kasih sayang belum sepenuhnya tercurah, dengan tangis ranggas dan mata terus bergerimis, terpaksa kami berikan bayi kecil itu pada empat ekor ayam raksasa itu. Dan ayam raksasa itu menerima anak kami dengan kedua kakinya yang menggantung di udara. Sayap berkepak. Terbang. Ya, anak kami dibawa terbang. Angin berhembus kencang, awan tebal disingsing empat ekor ayam itu. Mata kami terus tertahan, sampai bayang-bayang ayam dan anak kami hilang di angkasa.
Akhirnya, untuk mengobati kecemasan ini. Kami pulang. Kami berjalan lagi menyusuri sungai. Kami pulang ke kampung halaman, karena kami yakin, tak ada darah biru mengalir di rantau. Aku memutuskan untuk tinggal di kampung halaman bersama Maria: perempuan masa lalu.***

Yogyakarta/Tang Lebun, 2007- 2015

Sumber Gambar 1 : http://tjiahendra.blog.binusian.org/files/2010/06/f08.jpg
Sumber Gambar 2 : http://farm5.staticflickr.com/4138/4873886779_90c893fd35_z.jpg


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment