Percayakah
kamu bila aku bercerita tentang pertemuanku dengan orang-orang Ekumene ribuan
tahun yang lalu? Tentu keningmu berkerut kemarut. Tapi baiklah, meski ini
rahasia yang sangat menyenangkan, aku akan
bercerita padamu dengan bahasa lembut angin timur dan kamu akan datang padaku
membawa kitab-kitab tua yang kusam.
4.444
hari aku bertualang, berjalan di tepian sungai. Dan setiap sungai yang kuikuti
pasti berujung di laut. Bila tiba di laut, aku berlayar ke pulau seberang. Dan
di pulau seberang, aku mencari sungai lagi, kuikuti lagi, kutemui laut lagi,
aku berlayar lagi, dan bila tiba di seberang, kucari sungai lagi, begitulah
seterusnya petualanganku, hingga suatu malam aku terkapar di tepi sungai (entah
sungai apa namanya) karena kehabisan sangu. Di sanalah aku bertemu dengan
perempuan masa lalu dan inilah peristiwa dalam petualanganku yang masih kukenang.
Sungai Madura
Riak
air sungai. Gelombang menggelimang di mataku. Batu-batu hitam menghampar di
pinggir. Air mengalir ke hilir. Aku berdiri di atas batu besar itu, menatap air
keruh penuh lumpur menghablur, hingga dasar tak terlihat dengan jelas. Terlihat
para gembala memandikan sapi di tepi. Bercaping dari irisan bambu yang dianggit
bercampur ranting-ranting.
Aku
gelisah. Mungkin karena Ayah dan Ibuku atau keluarga yang membesarkanku. Sejak
kecil aku tak pernah mengaji, belajar membaca huruf-huruf apalagi belajar di
sekolah layaknya teman-teman seusiaku hingga umur 22 tahun ini. Setiap hari aku
hanya bergulat dengan pekerjaan mereka, mengambil (memikul) air dari bukit, menggembala dan mencangkul di sawah.
Tentu aku jenuh dengan semua itu.
Untungnya,
menjelang tidur, Nenekku (Nyi Matban) dan Kakekku (Ke Emmar) menceritakan
padaku tentang fabel-fabel, nabi-nabi, Rama dan Shinta, petualangan pengembala
si Santiago dan pengalaman-pengalaman Kakek dan Nenek di zaman penjajahan
Belanda. Itulah yang membuatku sedikit betah di rumah.
Karena
sekarang Nenek dan Kakekku sudah meninggal, tak ada lagi orang yang dapat bercerita
padaku, memberiku kisah-kisah aneh yang membuatku senang dan riang. Akhirnya,
aku datang ke sungai ini, aku berdiri di atas batu hitam ini, memandang kelam
masa silam yang buram. Dan dari sinilah aku berangkat ke daerah yang jauh,
mengikuti sungai yang panjang.
Meski
lelah lungkrah di seluruh tubuh, kubiarkan dada terkubang tiram, mata penuh
gelombang dan pohon-pohon di pinggir sungai disisir angin. Daun-daun hijau
melahirkan desau di dadaku bagai gelombang di air. Dan aku ingin berjalan
seperti Santiago dalam kisah Kakek dan Nenek: ingin menyelesaikan hari-hari dan
malam-malam penuh makna dan cinta.
Mata
terpaut tak surut. Runcing tanah kelahiran yang masih menggesek kenyerian
panjang. Perempuan kampung yang tak dapat kuceritakan, karena ia telah
meninggalkanku sejak lama, kini bayang-bayangnya beriak di air. Aku ingin
berlayar ke seberang, meninggalkan masa lalu bertalu, menghapus kisah lama yang
pupus. Dan seolah-olah aku baru memulai hidup lewat perjalanan ini. Aku
berteriak sekeras-kerasnya, biar redam sesal, biar tenggelam masa silam, biar
alam mendengar segala gelisah keruh.
Sungai Moksa
Ilalang
distabit bulan. Air mengalir pelan. Bintang-bintang berpacak di angkasa. Ingatan
silam nyeri dukana, menghablur jiwa moksa. Tiba-tiba berkelebat dalam pandang,
kucing belang dengan bulu tiga warna. Aku menyorot ke berbagai arah,
kucari-cari seekor kucing belang yang melompat di depanku. Bunyi meraung. Maung!
Maung! Angin berdesir menyisir rambutku. Derit jangkrik memekik ke udara
seolah membelah cuaca malam.
Aku
duduk di bawah pohon besar pinggir sungai. Kresek daun kering di samping
kananku seolah ada yang lewat, seolah ada yang mendekat. Mataku menatap belukar.
Tak ada. Hanya seekor kucing yang pelan-pelan mendekatiku. Matanya bagai bola
api yang menyala. Tubuhku tergetar ketika menatap mata kucing itu. Merinding. Mata
kucing itu menahan mataku. Tatapanku tak dapat beranjak.
Ah!
Seolah-olah tubuhku sedang berada di ambang gua. Langit cerah. Awan-awan tipis
digesek angin. Walet keluar masuk pintu gua. Cericit melecut. Aku melongok dari
luar, aku masuk. Kuperhatikan dinding gua yang gelap. Lilin tiba-tiba menyala.
Perempuan berdiri di depanku. Ya, perempuan itu mirip perempuan kampung yang
kucintai. Kain tipis menempel di tubuhnya, pahanya kuning langsat, kutang
meregang di dadanya. Montok. Di kepalanya memakai mahkota dan konde-konde
berpacak bagai bunga kaca.
Aku
berjalan pelan. Perempuan itu tak sedikitpun berkata-kata padaku. Senyum
terkulum di bibirnya. Ia membuntut di belakangku. Sebuah ruang yang lebar dalam
gua. Patung-patung tegak di tengah-tengah dengan lilin berpendar. Matanya
menyorot padaku. Mendekat. Aku terus melangkah dalam gua, melangkah lebih jauh
lagi. Lolong anjing panjang membuatku sedikit gemetar. Aku berjalan pelan mendekati
patung-patung. Kemudian perempuan berkutang itu menyulut lilin di sudut-sudut
gua. Anjing menggonggong keras.
Astaga!
Di samping kanan kiri patung-patung terdapat enam orang lelaki tergeletak. Rambut
mirip rumput merumbai di lantai. Ngorok. Seekor anjing duduk disamping mereka
seolah-olah ia sedang menjaga enam orang itu. Apakah mereka kecapean setelah bergantian
bersenggama dengan perempuan itu? Atau mereka sedang lari dari kejaran-kejaran?
Entahlah! Perempuan itu tak bergeming. Senyum melihatku bengong.
“Ashabul
Kahfi!” Tukas perempuan itu seolah menunjukkanku. Aku menoleh ke arahnya.
Bahu perempuan itu terlihat bergerak dan tangannya mengayun ke depan. Aku
bengong, sama sekali tak paham ucapan perempuan itu. Anjing terus menggonggong.
Aku berjalan ke dekat-dekat dinding, ke dekat lilin. Patung-patung di dinding
terlihat meski remang, seolah-olah bergambar peperangan. Aku kembali ke dekat
patung di tengah ruang. Aku berjongkok di dekat lelaki tambun yang tergeletak
di bawah patung. Aku ingin melihat buntalan daun yang terlipat di saku seorang
dari enam lelaki itu. Tanganku mengayun ke sakunya
“Hukk!
Hukk!”
Braggg!!
Anjing melompat ke arahku, menggigit lenganku. Aku berteriak. Lenganku
berdarah. Perempuan yang berdiri di belakangku masih tersenyum. Ia mendekati
anjing dan mengusap-usap punggungnya. Kemudian anjing itu menjilat-jilat pahanya,
sesekali juga menjilat wajah, leher dan payudaranya.
Seperti
ada gemuruh angin. Aku menoleh ke belakang. Tak ada angin menghembus dari luar.
Namun gemuruh itu bagai badai yang akan menghantam mulut gua. Aku tiba-tiba terpelanting
ke dinding, seolah-olah dinding dan patung-patung sudah remuk. Ah! Reda
tiba-tiba. Gemuruh hilang tiba-tiba. Dan semuanya baik-baik saja.
Aku
terperanjat. Tersadar. Kulihat lengan kananku terdapat luka memar bekas
gigitan. Aku bangkit dari bawah pohon besar itu, kucari-cari kucing yang mengajakku
bertualang, kulihat ke arah barat, timur, utara dan selatan. Kusisir belukar.
Tak ada. Pikiran berkabung. Aku menghenyakkan napas ke udara. Terlihat bulan
sudah lengser ke ufuk timur. Nyeri luka di lengan, kubalut dengan daun akasia
yang dilapisi sobekan sarung. Aku berjalan pelan menyisir pinggir sungai. Derak
air masih terdengar lamban.
Sungai Nun
Cuaca
dingin. Ikan-ikan bergerak dari karang ke karang, menelan bulan malam purnama. Sisiknya
meletup riak dan gusar, seolah-olah di mata ikan itu terdapat huruf-huruf China
yang tak dapat kumengerti. Aku ingin berkata-kata pada ikan yang mengipaskan
siripnya di sungai itu, tapi ikan itu segera pergi. Menghilang.
“Mangli
Oh! Mangli!”
Kata-kata
itu tiba-tiba menyeruak dari mulutku. Mangli, adalah nama mbah buyutku yang
menyukai pantai. Setiap hari dan malam, ia sering datang ke pantai sekedar
menatap pulau seberang dan mencelupkan kakinya pada ombak dan gelombang air
laut pasang. Pernah suatu ketika mbah Mangli ingin menyeberang ke pulau
seberang, ia tak punya sampan, tak punya uang untuk ongkos ke seberang. Namun
mbah Mangli memanggil ikan di tengah laut, mulutnya komat-kamit. Dan tak lama
kemudian, ikan Hiu besar datang, ia meminta mbah Mangli menaikinya, ia siap
mengantar Mbah Mangli ke pulau seberang.
Aku
duduk di atas batu besar. Diam. Kudengarkan musik air juga lolong serigala di
ambang sungai. Aku gemetar karena dingin. Aku menatap batu-batu sungai dan aliran
air yang terbelah menjadi dua. Ah, di sini memang pertemuan dua sungai: sungai
Lam dan sungai Mim. Sebelum bertemunya dua sungai ini terdapat batu besar mirip
nun.
Kemudian
ikan Hiu itu datang lagi, ia memberikan semangkok makanan “Ambillah! Ini
hidangan para nabi!” kuterima dan kunikmati makanan itu dengan lahap. Apakah
ikan yang kutemui ini, anak ikan yang mengantar mbah Mangli? Entahlah! Aku
bengong. Tak paham maksud ungkapan ikan Hiu itu. Apakah di sini ada nabi-nabi? Nabi-nabi
seperti yang pernah kuhapal sejak kecil? Nabi-nabi yang dikisahkan Kakek dan
Nenek?
Ikan
itu bercerita padaku “Dan di tempat inilah para nabi bertapa dan wahyu-wahyu
diturunkan. Tentu, nabi-nabi yang tak pernah dikenal oleh umat manusia sebagai
nabi: nabi Kolap, nabi Yisz, nabi Syayaz, nabi Qurab, nabi Fir’un, nabi Qarun
dan nabi Suklabah”
“Maksudmu?”
Aku tak paham.
“Ya,
bila kamu bertahan sampai 41 hari di tempat ini, layaknya para pendahulumu,
kamu akan bertemu dengan nabi-nabi yang pernah bertapa di sini. Mereka semua
tidak jahat dan sangat mengakumkan” lugas sekali ikan itu bercerita padaku.
Sirip dan ekornya berkepak-kepak. Angin lirih membelai rambutku.
“Aku
yakin kamu bukan ikan? Siapa kamu sebenarnya? Dapatkah kamu menyampaikan padaku
ungkapan-ungkapan mereka yang dapat bermanfaat?”
“Tidak!
Lebih baik kamu bertemu sendiri dengan mereka. Pertemuanmu dengan Ashahubul Kahfi
sudah sangat mengagumkan. Mereka adalah nabi-nabi yang diburu oleh para
penjahat, karena mereka merasa tidak
aman, mereka bersembunyi dalam gua”.
Begitukah?
Ah! Aku semakin yakin bahwa ikan yang ada di depanku bukanlah ikan seperti
biasanya, ikan ini pastilah jelmaan dari orang-orang suci “Bukan. Aku bukan
orang suci. Aku hanya penjaga di tempat ini”. Astaga! Ikan itu mengerti derit
hatiku. Dan mengapa ikan itu juga mengerti pertemuanku dengan Ashhabul Kahfi?
Aku gemetar. Sekujur tubuhku berkeringat. Ikan itu pelan-pelan bergusar dan pergi
dari hadapan. Aku tak bisa berdiri karena terharu dan gemetar.
Kemudian
ikan itu berbelok lagi. Kembali. “Bila kamu bertemu dengan Maria, sampaikan
padanya, al-Mahdi akan segera lahir” Aku mengangguk seraya mengiyakan. Ikan itu
pergi lagi. Maria. Ya, sebuah nama yang terus terngiang. Nama asing yang terus
menggasing dalam ingatan. Mungkinkah aku akan bertemu dengan Maria? Laki-laki
atau Perempuankah? Entahlah! Aku berusaha bangkit, meski tertatih letih. Aku
pergi karena tak ingin bertemu nabi-nabi.
Sungai
Kejadian
Siang
lajang. Langit cerah. Aku menaiki sebuah bangunan yang tersusun dari batu di
pinggir sungai. Bangunan-bangunan tua bertingkat mirip Candi-candi. Terdapat
jendela-jendela untuk melongok ke luar. Bila melongok, kita akan melihat
tumpahan air terjun dan riak air yang indah. Aku pindah dari ruang ke ruang yang
kosong, melongok dari berbagai jendela. Patung-patung dinding terukir rapi.
Aku
beranjak ke sebuah ruang nomor sembilan dari timur, pintunya tertutup rapat. Sebelum
membuka pintu, aku menoleh ke berbagai arah. Tak ada orang. Namun tak
sedikitpun sinar matahari masuk dalam ruang. Gelap. Aku masuk dalam ruang itu, ah,
tengkorak kepala manusia bertumpuk. Berbanjar. Bersusun. Bulu kuduk merinding. Aku
membuka jendela yang terbuat dari kayu, aku melihat sebuah ruang yang kosong,
seolah-olah aku berada di alam terbuka yang luas “Jendela Kejadian,” suara
terdengar di kuping. Aku mencari-cari sumber suara. Tak ada.
Dari
belakang suara melanggam “Imhotep! Imhotep! Imhotep!” barisan para mumi
melangkah ke arahku. Di tangannya tombak lancip siap meregang nyawa. Aku segera
menutup pintu ruang itu. Gemetar. Aku mengintip. Barisan mumi itu berhenti dan
berbalik arah. Aku menghempas napas ke udara. Bersandar ke dinding. Lalu
melangkah ke jendela.
Ketika
aku menatap ke luar jendela seolah-olah menyaksikan sebuah taman yang indah.
Taman-taman itu tak pernah kusaksikan sebelumnya, buah-buah ranum,
lantai-lantai bersih penuh permadani, dibawahnya air mengalir. Di
dinding-dindingnya penuh permata. Semerbak bunga-bunga melindap dalam
penciumanku. Dua orang manusia sedang bercinta. Laki-laki dan perempuan: Adam
dan Hawa. Laki-laki itu berkulit cokelat penuh lumpur, sedang Hawa berkulit kuning
langsat. Hidung mancung.
Seekor
ular kobra tiba-tiba mendekat. Kemudian ular yang mendekat itu menjelma manusia
“He! He!” kekeh meledak di udara. Dua orang yang berciuman itu
terperanjat ketika melihat seorang berdiri di hadapannya “Nikmatilah!
Nikmatilah perempuan itu, Dam! Ia dicipta hanya untukmu” Adam mundur dua
langkah. Kedua tangannya menutupi kelaminnya yang menegang “Siapakah kamu?
Kenapa kamu ada di tempat ini?” Adam menatap mata lelaki yang berdiri itu,
matanya menyala merah neraka.
“Aku
utusan Tuhan yang diperintah untuk menemuimu. Janganlah ragu-ragu. Kawinilah
perempuan itu,” tambahnya.
Adam
menatap lelaki itu dalam-dalam, di matanya menyembul kebencian. Tangannya
terkepal ingin menikam.
“Hei,
jangan bodoh, Dam! Perempuan itu dicipta untuk kamu nikmati. Bukankah tubuhnya
berasal dari tubuhmu?” Iblis geram. Kebencian Adam semakin gurindam.
Kemudian
Iblis yang menjelma lelaki itu maju beberapa langkah. Adam mundur beberapa
langkah. Ketakutan. Tubuhnya menggigil. Iblis membuka tangannya, ia mengundang
angin, ia menghenyakkan napasnya di udara. Tubuh perempuan itu terhempas. Terpelanting.
Tiba-tiba pohon-pohon berbuah ranum bermunculan di kanan kiri Adam. Ya,
pohon-pohon itu tidak terlalu tinggi, hanya setinggi Adam: + 30 hasta “He!
He! Makanlah buah yang nikmat itu, Dam! Ini semua kudatangkan agar kamu
dapat bersenang-senang di sini. Nikmatilah sesuka hatimu”
Lewat
hembusan angina, Hawa telah terkena tipu daya Iblis yang menjelma menjadi
lelaki tampan itu. Ia mendekat pada Adam, ia mengelus-elus lelaki itu dan
sesekali tangannya meraba kelamin Adam. Kelamin itu kembali menegang. Namun
setelah Adam tergiur tubuh Hawa, Adam mencium penuh girang. Adam menindih
pelan-pelan. Lalu Hawa mendorong Adam, ia meminta agar ia memetik buah-buah
segar yang tumbuh di depannya, ia pun menggoda di bawah pohon yang rindang itu.
Karena
Adam sudah terlena pada perempuan itu, Sang Iblis pergi. Mata gelap tersingkap
di balik siluet merah indah yang meletup di langit-langit. Adam dan Hawa
mendekat ke tengah pohon. Rayuan demi rayuan menggelegak dari mulut Hawa. Adam
pelan-pelan meraba-raba pohon. Angkasa gelap. Mata Adam dipenuhi kunang-kunang.
Malaikat-malaikat bertangan lembut datang bertandang. Malaikat yang menyerupai
burung elang hitam berkepak disampingnya. “Tinggalkan pohon itu, Dam! Sungguh
Tuhanmu akan murka bila kamu mendekat. Cepat tinggalkan!”
Bingung.
Hawa memetik buah kejadian yang mirip apel itu. Ia memberikan pada Adam. Hawa
terdiam. Duduk di depan Adam. Hawa mengiris buah itu dengan batu, kemudian ia
menyuapi Adam. Adam mengunyah pelan-pelan buah kejadian itu. Ia seolah-olah
sedang mabuk, tenanganya bertambah kuat. Lalu ia mencincang tubuh Hawa di bawah
pohon itu. Kelaminnya tegang. Adam memasukkan kelaminnya ke dalam kelamin Hawa.
Desahan demi desahan terdengar lirih, gumul dua tubuh berlabuh. Sang Iblis
terkekeh-kekeh dari belakang. Air mani tumpah di rahim Hawa.
Usai.
Adam pingsan. Hawa lunglai. Tubuh mereka tiba-tiba penuh borok, pelan-pelan
borok itu membusuk. Ulat-ulat kecil menyembul dari daging mereka yang nyinyir. Ah,
karena takut mengotori Surga, Tuhan memerintah Malaikat untuk membuang dua manusia
itu ke bumi.
Cweeesssss!
Brakkkkkk!! Astaga! Jendela ruang itu tiba-tiba tertutup. Ruangan gelap. Mataku
berkunang-kunang. Keringat terurai di sekujur tubuhku. Tengkorak kepala yang menumpuk
dalam ruang seolah-olah menoleh padaku, seolah-olah membisikkan sesuatu, namun
aku tak paham yang dibisikkan mereka. Kubuka pintu. Langgam kembali muncul dari
depan “Imhotep! Imhotep! Imhotep!” mendekat. Aku lari. Aku keluar dari
bangunan tua pinggir sungai itu. Kulihat ke belakang, para mumi masih
mengejarku. Aku lari sekencang-kencangnya.
Sungai Mahdi
Sinar
matahari tertutup bongkahan batu besar. Ya, dua bongkah batu terbelah, di tengahnya
menjadi aliran sungai. Percik air beriak di telinga. Capung-capung berkejaran
dari bunga ke bunga, dari rumput ke rumput hijau. Aku menaiki bongkahan batu
yang terbelah sungai. Sinar matahari terik di kulitku, kuhirup udara pagi yang
segar. Aku tertatih. Lelah. Tak ada sangu di kantong. Perut berkeroncong. Tubuhku
mulai lunglai dan wajahku pelai.
Aku
menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada orang yang dapat kupanggil untuk sekedar diminta
bantuan. Aliran air di dasar masih meluber. Sudah dua hari dua malam aku tidak
istirahat, pikiranku dikejar-kejar oleh kenangan, dikejar-kejar ingatan tentang
mumi yang kutemui beberapa hari sebelumnya. Aku khawatir mumi-mumi itu datang
padaku lewat udara atau angin. Sungguh aku khawatir. Mataku sedikitpun tak
dapat terpejam. Mataku bertabur ke berbagai arah, kuharap ada orang yang dapat
menemaniku istirahat di tempat ini, di balik sebongkah batu.
Kutaruh
kantong yang kugendong di dekat batu yang berlubang, aku rebah di antara dua
batu itu. Pikiranku berkabung, mungkin saja aku sudah tak dapat melanjutkan
perjalanan lagi, mungkin aku tak akan kembali ke kampung halaman. Tapi tak apa,
biarlah mayatku meliang di sini, semoga orang-orang yang menemukan mayatku, mereka
melemparku ke sungai ini, agar jiwaku dingin, sedingin air sungai dan rohku
gentayangan di antara bintang-bintang. Aku terlelap.
***
2
jam kemudian. Seorang perempuan membanguniku. Aku terperanjat.
Perempuan itu memakai mahkota, mirip perempuan dari tanah India. Matanya
berkedip-kedip ketika berbicara. Ia menyodorkan sebuah kotak padaku. Ya, sebuah
kotak yang berisi roti. Aku terima kotak itu, mataku terus melotot ke wajahnya.
Hidungnya ditindik. Mancung. Matanya yang agak hijau juga memelototiku. Kemudian
perempuan itu menyodorkan sebuah kaleng yang terbuat dari bambu warna kuning. Dan
di punggung botol itu terdapat tulisan Arab yang rapi “Al-Kautsar”
“Nikmatilah
makanan itu,” pungkasnya. Aku kembali menatapnya sembari kumakan dua lapis roti
itu “Boleh tahu, siapa namamu? Datang dari mana?” Tanyaku dengan bahasa Arab
tersendat.
“Namaku
Maria. Aku datang dari masa lalu” Tukasnya dengan bahasa Arab yang kaku. Senyum
terkulum di bibirnya. Sesekali bahunya bergerak-gerak ketika berbicara.
“Maksudmu?”
Tanyaku sembari kutatap matanya dalam-dalam.
“Aku
datang untuk menemuimu. Sudah lama aku menunggumu. Akhirnya kamu datang juga”.
Ah, Perkataannya semakin tidak kumengerti. Aku curiga, jangan-jangan perempuan
yang duduk di depanku ini bukan manusia.
“Kamu
percaya takdir, kan?” Aku mengangguk “Takdir telah berbicara, kita akan bertemu
di sini, di tempat ini” tambahnya.
Kemudian
perempuan itu menciumku, melumat bibirku. Pelan-pelan Maria meraba-raba tubuhku,
melepas kemejanya di depanku, ya, kemeja yang seolah-olah terbuat dari kulit onta.
Tebal dan berbulu. Aku memalingkan muka “Jangan berpaling. Mari kita laksanakan
perintah Roh Kudus” menyembul dari bibirnya yang merah. Ia terus menatapku,
memperhatikan seluruh tubuhku.
“Tidak!
Ini tidak mungkin kamu lakukan denganku,” Aku mengelak. Aku tiba-tiba ingat
pesan ikan Hiu di sungai Nun. Aku curiga, jangan-jangan perempuan di depanku
ini yang dimaksud oleh ikan Hiu itu? Ah, hidupku semakin tak dimengerti.
Perempuan
itu menarik tubuhku, ia menelentangkanku di atas batu itu, kemudian perempuan
itu menindihku, ia menciumi seluruh tubuhku. Sesekali tangannya meraba
kelaminku yang mulai menegang. Angin berhembus kencang. Awan tebal menggantung
di angkasa “Tidak! Ini laknat. Sungguh ini laknat” perempuan itu terus
menciumiku seolah tak mendengar penolakanku. Tak sehelai kainpun menempel di
tubuhnya.
Akhirnya,
aku terlena. Kami bergumul. Dua tubuh regang tegang tenggelam dalam birahi
Tuhan paling cengkram. Kudalami tubuhnya sekuat tenagaku, desah rapat di
mulutnya, mata terpejam memeram nikmat teringat kelam “Beginilah! Beginilah!”
Maria terengah-engah seolah menahan nikmat “Ya, beginilah yang kulakukan dengan
lelaki Mesir yang bernama Musthafe Kameel yang mengaku perwujudan Tuhan, hingga
lahirlah anak Tuhan: Kristus”.
Rambutnya
yang kriting merumbai halus di atas batu, matanya yang berbinar seolah
mengingat masa silam tiram. Ah, di langit seolah terdengar ledakan. Kami
menyelesaikan persetubuhan. Telentang. Napas tersengal. Seperti sebuah pintu
terbuka di langit, seolah terdapat bayangan lelaki tampan rupawan sedang
tersenyum pada kami. Kami terdiam lunglai.
Itulah
awal yang menyebabkan kami tertambat di lembah sungai ini, kami membuat gubuk
kecil, kami menjalani hari-hari bersamanya, mengulangi
persetubuhan-persetubuhan yang mengundang ketagihan.
***
9
bulan kemudian. Di sebuah pagi yang rembang. Kabut menelungkup di
gubuk kami, fajar menyingsing terang tanah. Tangis memekik di udara, pertanda
anak kami yang pertama telah lahir. Ya, anak yang dilahirkan dari perih pekik
perjalanan panjang. Tapi sampai saat ini aku masih tak percaya, betulkah
perempuan yang melahirkan anakku adalah perempuan yang datang dari masa lalu? Atau
ia hanya bayangan lain dari pencarianku. Memang, selama sembilan bulan berselang,
perempuan ini mengajarkan cara hidup yang tenang, sehingga aku tak ingin lagi
melanjutkan perjalanan.
Bayi
itu kami letakkan di sebuah ranjang kecil yang terbuat dari pelepah kurma, di
pojok kiri kuberi sebuah mainan yang terbuat dari daun dan ranting-ranting.
Namun lelaki kecil yang baru lahir ini selalu menangis. Tak henti-henti. Di
dahinya terdapat huruf alif. Berkerut, seolah-olah ia selalu melihat huruf itu.
Matanya berkaca-kaca bagai memperlihatkan sebuah laut yang luas. Bila menangis
memekik keras, Maria selalu menggendong dan menyusuinya. Ketika disusui, bayi
itu bertambah besar, seolah-olah ia sedang menampakkan keanehannya pada kami.
Sungguh
tidak seperti biasanya, bayi kecil itu tiba-tiba bisa merangkak, tangisnya pun
semakin keras. Aku memegang kepalaku, mencubit-cubit seluruh tubuhku, aku masih
belum percaya pada kenyataan ini, jangan-jangan ini hanya mimpi. Tiba-tiba aku
teringat ungkapan ikan Hiu besar di sungai Nun. Ya, apakah bayi ini yang ia
sebut sebagai Imam Mahdi? Aku keluar dari gubuk, tangis terus meledak, suasana amis
cempedak.
Udara
masih dingin. Kesiur air sungai terus menghablur. Kokok ayam jantan terdengar
dari kejauhan, entah di mana muasal kokok itu. Ramai. Amat ramai. Seolah
menyambut kedatangan anak kami. Aku mendongak ke atas. Kaget. Ayam langit
terlihat di angkasa, sayap kanannya melebar ke kutub utara dan sayap kirinya berkepak
ke kutub selatan. Astaga! Apa ini? Kemudian Ayam yang berkepak dan
berkokok di langit itu terus berkumandang. Disusul ayam-ayam bumi. Tak ada
orang-orang datang ke gubuk kami meski ayam-ayam itu amat ramai. Apakah hanya
kami yang mendengar kokok itu.
Maria
keluar menggendong Mahdi yang masih tersedu. Setelah ia membawanya keluar, anak
kecil itu berhenti menangis, seolah-olah tersenyum pada ayam langit. Dan ayam
raksasa itu tiba-tiba turun bersama tiga ekor ayam lainnya yang lebih kecil, seolah-olah
tiga ekor itu mengiringnya. Aku berdiri. Paruhnya lurus ke gubuk kami. Aku
menyuruh Maria masuk membawa bayi itu dalam gubuk, ia pun masuk. Kokok semakin
menohok dan ayam itu segera tiba.
“Berikan
bayi itu pada kami!” Tukas ayam yang tingginya empat kali melebihi gubuk kami.
Ia berdiri di luar pintu.
“Tidak!
Ini anak kami. Ini anak petualangan kami” suaraku lantang memeluk anak itu.
“Maria,
keluarlah! Anakmu itu bukan anakmu, tapi putra kehidupan. Bila kalian
tak memberikan pada kami. Kami akan mengambil paksa”. tegas ayam raksasa itu.
Maria
keluar dari gubuk dengan merengkuh anak kecil itu “Siapa kalian sebenarnya?”
“Kami
rombongan malaikat yang diperintah menaruh anakmu di jantung dunia yang bertikai.
Hanya al-Mahdi yang akan mengamankan pertikaian diantara manusia di bumi ini”
Kami tertegun “Lihatlah huruf di sayap kanan kami yang mirip huruf di dahi
al-Mahdi” lanjutnya tegas.
Kami
memperhatikan. Mata seolah-olah tertahan. Huruf alif itu begitu segar di mata
kami.
Meski
hati lepuh dan kasih sayang belum sepenuhnya tercurah, dengan tangis ranggas
dan mata terus bergerimis, terpaksa kami berikan bayi kecil itu pada empat ekor
ayam raksasa itu. Dan ayam raksasa itu menerima anak kami dengan kedua kakinya
yang menggantung di udara. Sayap berkepak. Terbang. Ya, anak kami dibawa
terbang. Angin berhembus kencang, awan tebal disingsing empat ekor ayam itu. Mata
kami terus tertahan, sampai bayang-bayang ayam dan anak kami hilang di angkasa.
Akhirnya,
untuk mengobati kecemasan ini. Kami pulang. Kami berjalan lagi menyusuri
sungai. Kami pulang ke kampung halaman, karena kami yakin, tak ada darah biru
mengalir di rantau. Aku memutuskan untuk tinggal di kampung halaman bersama
Maria: perempuan masa lalu.***
Yogyakarta/Tang
Lebun, 2007- 2015
Sumber Gambar 1 : http://tjiahendra.blog.binusian.org/files/2010/06/f08.jpg
Sumber Gambar 2 : http://farm5.staticflickr.com/4138/4873886779_90c893fd35_z.jpg
0 comments :
Post a Comment