Dalam penutupan
rapat paripurna wakil rakyat di DPR malam ini, ketua DPR Setya Novanto secara
resmi meminta maaf kepada masyarakat Indonesia atas peristiwa menjijikkan dan
memalukan di kantor DPR, yang berupa perkelahian beberapa waktu lalu. Memang tidak
ada penyesalan di depan---begitulah nasehat orang tua kita. Penyesalan pasti
akan terjadi setelah peristiwa itu terjadi.
Perkelahian sesama
anggota komisi VII DPR itu mencerminkan betapa akal pikiran sehat dan pengendalian
emosi sudah mati di DPR. Karena akal pikiran yang sehat telah mati, maka yang bergerak
adalah otot, kekuatan urat leher, kemampuan meninju dan menerjang.
Urusan berkelahi---camkan
ini wahai anggota DPR. Orang-orang yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan
seperti anda, tak sama sekali pernah duduk di bangku sekolah yang ada di
kampung-kampung terpencil sekalipun, insya allah, lebih mahir dari anda
urusan berkelahi. Tetapi tingkah anggota DPR yang berkelahi itu sama sekali tak
mencerminkan sebagai sosok terdidik. Tidak sama sekali mencerminkan sebagai
manusia yang pantas duduk mewakili rakyat. Itu sangat memalukan.
Meskipun demikian,
untuk meminta maaf kepada publik saja membutuhkan waktu yang sangat lama. Mengapa
ketua DPR ini baru tergerak hatinya untuk meminta maaf di saat peristiwa itu
baru terjadi? Bukankah ini mencerminkan sebuah hati yang bebal? Tetapi baiklah.
Bangsa ini belakangan ini memang tengah menjadi bangsa yang seringkali
pertontonkan peran-peran sarkas. Nilai-nilai santun, rendah hati, toleransi,
tenggang rasa, rupanya mulai diganti dengan sikap-sikap sarkastik.
Mungkin saja,
pilihan sikap-sikap yang mengencangkan urat leher dan otot itu dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan. Melihat pola pemerintahan di
negeri ini, pola DPR bersikap, pola praktisi hukum, layak tentunya kita lihat
hasilnya bersama-sama. Anggap saja kita sedang berada di sekitar tinju.***
Sumber Gambar: http://www.riaukepri.com/wp-content/uploads/2015/04/dpr-kelahiw.jpg
0 comments :
Post a Comment