Home » » Catatan Malaikat Yang Tertinggal

Catatan Malaikat Yang Tertinggal

Diposkan oleh damar pada Wednesday, May 20, 2015 | 10:54 AM

Sumber Gambar: http://assets.kompasiana.com
Cerpen : Azizah Hefni*

Pernah kamu mendengar cerita malaikat yang sibuk mengamati gerak-gerik manusia? Jutaan tahun yang lalu, nama malaikat telah menggema dalam kitab suci. Pada setiap menjelang tidur, tak sedikit ibu-ibu—termasuk ibu si gendut—menceritakan malaikat pada anak-anak mereka. Malaikat akan menemani manusia tidur, kemudian membangunkannya dengan tiup mesra di tengkuk leher.

Dua malaikat akan selalu mengikuti ke mana kita pergi. Bahkan saat tidur, satu malaikat akan menunggui di telapak kaki serta satu lagi di kepala manusia. Malaikat adalah pengawal yang melebihi jam terbang pengawal raja; makhluk yang tahu banyak hal, dan suka pada sejarah.

Dan tahukan kamu, aku tak bisa membiarkan sejarah manusia tercecer di pelataran waktu?
Aku malaikat malam, yang baru datang bila tiba waktu ashar. Orang-orang menyebutku Atid. Ada juga yang menyebutku Qo’id.

Tapi, si gendut tak pernah menyebutku dengan nama apapun. Di pinggang dan punggungku ada sebuah tas penuh catatan-catatan kecil berupa umpatan. Di leher tergantung sebuah block note, bertuliskan komentar. Sedang di dalam rimbun rambutku banyak slip-slip kertas laporan angka. Dan kacamataku melorot ke tengah hidung, seolah ingin segera terjun ke laut

Malam ini, kurasa dingin memburu ruh. Aku pergi ke sebuah tempat dengan mengendarai udara. Ah, si gendut itu, sebetulnya hendak kemana? Malam-malam begini masih keluyuran! Mobilnya menderu-deru, menggagahi jalan yang tak penuh.

Aku coba mengintipnya, dan tampak hidungnya yang besar mengedus-endus udara AC mobil. Kepalanya yang bulat lampion bergerak-gerak mengikuti irama tembang-tembang kenangan. Bibirnya seperti perahu terhuyung. Perutnya itu bergelambir. Lalat pun, kurasa akan ketakutan mampir.

Kemudian kucatat tanggal, hari, jam, menit, juga detik saat ini. Aku pun mencatat tempat kejadian, jenis mobil, dan posisi pengendara. kucatat kondisi di luar mobil, juga apa yang sedang dilakukan si gendut di dalam mobilnya. Aku juga memberikan komentar pada block note-ku: Suara si gendut sumbang. Nafasnya putus-putus. Mungkin karena perutnya yang terlalu penuh dengan isi makanan. Perut itu seperti dinamit padat yang siap diledakkan.
 
Seorang malaikat lagi sibuk mengamati-amati lubang hidung si gendut. Aku tertawa kecil. Ia tersenyum padaku dan mengapit buku catatannya, “Sepertinya, lubang hidung itu bisa kumasuki! Besar sekali!” Ia terbahak-bahak.

Sampai pada sebuah rumah. Aku mengintip di balik kacamataku. Ah, ia selalu saja serius! Makan pun ia serius. Bisa kubayangkan bagaimana jika ia tak makan seperempat hari saja. Mungkin tubuh tambun itu hanya gentong kosong yang siap digelindingkan ke tengah jalan.

Kemudian, si gendut masuk setelah seorang laki-laki kurus membukakan pintu. Itu laki-laki yang bekerja di ruangan sebelah si gendut bekerja. Keduanya kemudian berbincang serius. Si kurus sampai lupa memberikan secangkir kopi untuk tuannya.

Pena segera bergerak-gerak. Tulisanku begitu buruk. Aku menggunakan kode-kode mirip catatan wartawan. Percakapan-percakapan itu kucatat dengan detail. Aku juga memberikan nada-nada pada setiap kata. Tanda berbisik, tanda meninggi, tanda was-was, tanda datar, sampai jeda kata penuh ketegangan. Runutnya, catatanku ini begini:

“Gelembungkan saja, tak apa! Sisanya kita gunakan untuk peningkatan fasilitas atau gaji. Pekerjaan kita ini toh bukan pekerjaan yang mudah,” kata si gendut datar

“Tapi, anggaran sudah saya selesaikan semua pak. Saya siap mengirimnya besok pagi,” si kurus menjawab serius.

Nada si gendut mulai meninggi, “Itu kan bisa diubah?! Deadline laporan masih lusa, ada sehari semalam untuk menggantinya!” Lehernya memunculkan otot cukup besar

“Tapi, saya harus merubah total laporan itu. Ini sulit sekali pak,”

Sumber Gambar: http://natyk2nd.blogspot.com
“Tidak akan sulit karena kamu nanti dapat bagian. Lumayan, untuk menutupi cicilan mobilmu, kan?”
Muka si kurus merah seketika. Ia kehabisan kata-kata.

“Rumahmu ini toh belum sepenuhnya jadi. Dan, kalau tak salah, istrimu mau ambil doktor ya? Kurasa, ini bisa dipertimbangkan,”

Si kurus memijat keningnya. “Ini akan tercium tim audit, pak. Sekarang ini, marak pemeriksaan. Bapak kok malah mengambil resiko yang begitu besar. Ini uang rakyat, saya takut pak,”

“Ah, kau ini!” si gendut kemudian tertawa. “Yang tertangkap kan jauh lebih sedikit daripada yang belum?! Jangan pesimis-lah!!”

Aku terus saja mencatat. Percakapan itu begitu dingin. Si kurus termenung cukup lama. Ia memainkan jemarinya, sambil menarikhembuskan nafas tergesa-gesa. Sementara si gendut menatap bawahannya itu dengan seksama, sesekali saja tersenyum.

“Tak akan ada yang tahu. Hanya tim kerja inti saja yang tahu, dan mereka semua sepakat. Sudahlah, jangan banyak cingcong! Kamu dapat untung juga nanti!”

Laki-laki gendut kemudian bangkit, mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja. Sebelum pergi ia kembali bicara, “Laporan itu harus kubaca sebelum dikirimkan. Lusa pagi harus selesai. Salam buat istri dan anak-anakmu!”

Dan aku mengikuti si gendut pulang ke rumah. Demikian juga rekanku.

***

Kulihat si gendut terkapar kelelahan di ranjangnya yang luas. Dengkurnya seperti bunyi traktor. Sementara istrinya memunggunginya dan begitu sibuk menikmati mimpi.

Dulu, ketika si gendut masih kecil, tiap malam ibunya terus menceritakanku—juga rekanku—padanya. Tentang malaikat yang memiliki seribu mata dan akan mencatat segala gerak-gerik manusia. Anehnya, si gendut tak pernah takut. Ia masih saja suka menyembunyikan uang kembalian ibunya dengan alasan, “Harga naik, jadi tidak ada kembaliannya, bu!” Mungkin karena ia cerdas dan pintar, jadi cerita malaikat baginya hanya lelucon.

Menyebalkan bila harus menunggui orang tidur! AC di kamar ini membuatku hampir menjadi es. Saat tidur si gendut begitu berisik. Aku mencatatnya begini: Si gendut terbahak 6 detik, bersendawa 2 detik, berdecap-decap seperti sapi 4 decap, kemudian tidur setelah menggaruk perutnya 5 kali hingga pakaiannya terbuka dan pusarnya terlihat.

Sebentar lagi subuh, aku harus ke naik ke langit untuk melaporkan catatanku. Aku akan datang kembali mencacat gerak-gerik si gendut bila matahari lingsir beberapa derajat dari kuliminasi. Banyak sekali catatanku hari ini tentang si gendut! Aku dengar, malaikat siang yang menggantikan tugasku juga memiliki banyak catatan tentang si gendut. Si gendut banyak bicara dan maunya. Karena ia pembohong lihai, maka bau mulutnya sama dengan bau bangkai. Payahnya, saat istirahat, kami harus mendekam di geraham busuk si gendut!

Buku catatan Si gendut ke 5678567 dulu kumulai dari kisah si gendut pergi ke ATM, tepatnya pada awal tanggal 3 April 2005 pukul 20: 13. Bahasaku saat itu masih kaku. Bisa kupaparkan bentuk tulisanku itu begini: Si gendut pergi ke ATM untuk mengambil gajinya. Dalam ruang sempit itu, ia tersenyum sendiri. Nominal di rekeningnya ada Rp 100.000.000. Diambilnya 3.000.000, sambil menggaruk-garuk pantatnya. Ia menciumi layar ATM dan berbisik, “Great!”

Sebelumnya, aku mencatat asal muasal uang yang ia dapat itu. Tepatnya pada halaman tujuh, baris ke sembilan: Uang pesangon atasan Rp.25.000.000 dari proyek A. Keuntungan dari anggaran dasar Rp. 23.000.000. Ia juga mendapat keuntungan dari sisa uang semen, sisa uang keramik, sisa uang cat tembok, sisa uang pagar, sisa uang paving, sisa uang jendela, sisa uang pasir, sisa uang peralatan pekerja...

Aku mendesah. Aku lebih sibuk dari rekanku. Kata Rakib, nama temanku itu, Si gendut sejak kecil sudah bertelinga besi. Ia tak bisa mendengar apapun selain teriakan perut dan dompetnya yang menipis. Toleransi kita hanya akan menjadi sebuah lelucon yang membuat perutnya berdenyar-denyar mirip agar-agar.

Kembali aku bergegas mencatat saat kulihat seekor semut tiba-tiba melintas di tangan si gendut. Di tangan si gendut melintas seekor semut hitam, dengan panjang badan dan berat badan sekian, kadar kehitaman sekian, jarak langkah sekian, kecepatan rata-rata sekian..Dan si gendut memencet tubuhnya hingga mati...

***

Malam hari si gendut menyempatkan diri datang ke kantor si kurus yang sedang lembur. Aku lihat si kurus sedang serius mengamati layar komputernya. Si gendut mendekatinya lantas memberikan sebuah amplop coklat tepat di depan layar komputernya. “Ini tips awalmu, nanti menyusul setelah laporanmu selesai,” ia menepuk pundak si kurus. Pipinya merah, mirip tomat rebus. Tatapan si kurus naif kebayi-bayian. “Besok pagi, kutunggu laporanmu ini!”

Rekanku menggeleng-geleng, sebaliknya aku tertawa-tawa kecil. Catatnku berbunyi: Si gendut memberi uang Rp.3.500.000 pada si kurus. Uang itu diambil dari tas istrinya tadi sore, jam 17.32. Di dompetnya sekarang masih tersisa Rp 765.250...

Aku dan rekanku pergi mengikuti langkah-langkah si gendut keluar dari kantor.

***

Sore ini, sudah tiba catatanku ini pada halaman terakhir, kutulis komentarku tentang si gendut: Perut para bola bersengatan listrik. Ia membawanya kemana-mana. Otaknya bergelambir dan penuh lendir. Sementara hatinya sibuk tidur dan makan, sampai lupa, bagaimana ia bisa merasakan luka manusia.

Buku catatan ini selesai. Aku meletakkanya di bibir jendela. Beberapa menit lagi aku akan ke langit untuk melaporkan hasil catatanku. Dua malaikat siang sudah datang; siap mencacat si gendut.

“Mencatatnya sungguh menyebalkan. Kau jauh lebih sibuk daripada aku. Aku banyak menganggur dan ini membuatku mengantuk!” Rakib mengeluh padaku. Sepasang matanya merah dan tampak berat terangkat.

“Kau kira aku suka? Sampai tanganku keriting mencatat kecurangannya itu!” jawabku cepat
Lalu, kami berdua terbahak-bahak. Demikian juga dua malaikat lain yang baru datang. Lalu, aku dan Rakib berpamit undur diri pada dua rekanku. Kami keluar ruangan, membiarkan si gendut yang menyebalkan.

Aku melupakan sesuatu, entah apa itu!

***

Sebentar kemudian, si kurus masuk. Matanya cekung dan merah. Langkahnya sempoyongan. Tenaganya tergerus kesibukan yang tak ia inginkan.

“Sudah kau selesaikan?” Si gendut menerima catatan si kurus dan memeriksanya. Kepalanya mengangguk-angguk puas. Tangannya—seperti biasa—menepuk-nepuk perutnya yang tambun. Cukup lama ia mengamati catatan itu. Si gendut mengakhiri keheningan dengan tawanya yang keras tak karuan. Kemudian, dua malaikat siang keluar setelah si gendut keluar membawa catatan si kurus.

Si kurus menunduk, merasa menyesal. Ia takut jika penyelewengan ini diketahui orang. Ia mengelus dada, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Kemudian ia berjalan keluar. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sebuah buku catatan cukup tebal di bibir jendela. Judul buku itu Catatan Hidup Bambang Rahardjo.

Sumber Gambar: https://littlemikhael.files.wordpress.com
Dengan ragu si kurus meraihnya. Matanya terbeliak seketika. Gerakan tangannnya semakin cepat. Lembar-lembar ia lalui. Lesunya menjelma kepanikan. Tepat di halaman laporan keuangan, tangannya gemetar (Aku memang melampirkan laporan yang sesungguhnya pada catatanku). Ia meneliti angka demi angka, keterangan demi keterangan. Ia terbeliak saat melihat perincian dalam catatanku:

Kembalian bolpint Rp. 200, kembalian tinta ketik Rp.50,  pembelian rokok dan kopi Rp. 12.000, pembelian kertas Rp 23.550, kembalian disimpan sebanyak Rp. 77.450, pembelian koran Rp. 2000, kembalian Rp. 8000 dikantongi, fotokopi Rp 79.150, kembalian disimpan sebanyak Rp. 125.600...

Tangan si kurus gemetar. Catatan ia letakkan begitu saja. Siapa yang mencatat laporan keuangan dengan begitu detail? Lebih detail dari laporan-laporannya selama ini! Jangan-jangan ada mata-mata. Atau, jangan-jangan, ini catatan tim audit? Tapi kenapa ada di jendela bosnya? Belum sempat ia menyelesaikan bacaannya, aku sudah masuk ke ruang kerja si gendut. Aku berteriak selantang-lantangnya saat tahu catatanku di baca!

“Kembalikan catatanku!” Aku memasang muka seram padanya. “Lancang!”
Si kurus tegang menatapku. Nafasnya semakin pendek, dan aku mendengar degup jantungnya berdebum-debum. Aku mendekatinya dan menyahut catatan itu dari tangannya. Tanpa bicara apa-apa lagi, aku bergegas keluar. Membanting pintu, membunyikan langkah mirip derap-derap kuda.

Si kurus meraih ponselnya cepat dan menekan nomor si gendut. Cukup lama ia menunggu diangkat. Saat telpon benar-benar diangkat, si kurus langsung berkabar dengan nada suara yang panik

“Pak, seseorang menyelidiki kita. Ada laporan keuangan yang begitu detail pak...itu siapa...buku tebal di jendela kantor bapak itu punya ss..siapa? Seseorang membawa lari laporan itu pak! Kita, kita akan tertangkap! Pak, kita akan...” Si kurus tak melanjutkan kata-katanya.

Ia baru ingat, kalau yang menyahut catatannya adalah makhluk bersayap dengan tinggi badan menjulang sampai ke atap. Dan sepasang matanya menyemburkan api naga! Tubuh si kurus terkulai, ponsel jatuh ke lantai.

“Hallo, hallo? Kamu bilang apa tadi, heh? Suaramu putus-putus! Hallo, hallo!”


Malang-Yogyakarta, 2008-2015




Biodata Pengarang 




 Azizah Hefni, lahir di  Surabaya, 3 April 1987. Menulis cerpen semenjak usia 15 tahun. Beberapa cerpennya telah dimuat di media lokal dan nasional seperti : Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Republika, Sabili, Jurnal Cerpen Indonesia, Annida, dll. kini tinggal bersama suaminya di Bantul Yogyakarta.


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment