Sumber Gambar: dwikisetyawan |
Indonesia memiliki banyak pahlawan yang turut andil memperjuangkan kemerdekaan. Dengan keberanian dan semangat juang yang tak pernah padam, mereka senantiasa membela Tanah Air dari jajahan para penjajah yang berusaha merebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Atas perjuangan yang besar itu, pemerintah berusaha menobatkan mereka menjadi pahlawan nasional yang laik mendapatkan penghormatan sebagai tanda jasa atas perjuangan mereka.
Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada seorang warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Nama mereka tidak hanya diabadikan dalam bentuk pemberian nama jalan yang menggunakan nama mereka. Tetapi, lebih dari itu, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan khusus kepada mereka yang telah ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Seperti dirilis Kompas.com (07/11/2014), melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, pemerintah kembali menetapkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada tiga orang tokoh. Ketiga tokoh itu adalah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat dari Yogyakarta, Lambertus Nicodemus Palar dari Sulawesi Utara dan Letjen TNI (Purn) TB Simatupang dari Sumatera Utara.
Radjiman Wedyodiningrat yang lahir di Yogyakarta pada 21 April 1879 merupakan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia. Ia merupakan Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Sumber Gambar: arsipusi |
Lambertus Nicodemus Palar (LN Palar) adalah tokoh yang lahir di Rurukan, Tomohon, Sulawesi Utara, pada 5 Juni 1900. Ia menjabat sebagai wakil Republik Indonesia dalam beberapa posisi diplomatik di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sementara TB Simatupang, yang lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, pada 28 Januari 1920, merupakan tokoh militer di Indonesia. Saat ini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan besar di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Bukan Sekadar Nama Jalan
Pemberian “status” sebagai pahlawan nasional, atau pemberian nama jalan yang diambil dari nama-nama tokoh tersebut, bukanlah langkah akhir untuk mengenang mereka. Kiprah dan perjuangan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan tak cukup hanya dikenang lewat plakat dan nama jalan. Generasi muda membutuhkan data konkret dari sepak terjang para pahlawan, sehingga kelak para generasi muda bisa menapaktilasi perjuangan mereka.
Salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk mengabadikan pahlawan-pahlawan nasional itu dengan menuliskannya dalam bentuk buku. Jejak perjuangan dan kiprah mereka perlu dituangkan dalam bentuk buku memoar atau biografi yang ditulis oleh orang terdekatnya, atau oleh penulis yang berkompeten dalam menulis buku-buku biografi.
Bung Tomo Suamiku adalah buku memoar tentang kiprah perjuangan Bung Tomo yang ditulis sendiri oleh Sulistina Soetomo, istrinya. Buku itu diterbitkan berhubungan dengan peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan juga terkait dengan penganugerahan gelar pahlawan nasional pada Mayjen Soetomo atau yang dikenal dengan Bung Tomo.
Sumber Gambar: www.wikipedia.org |
Buku semi-biografi itu memuat fakta-fakta sejarah perjuangan revolusi fisik pada 1945-1949, seperti yang tertuang dalam Gerilya di Lereng Gunung Wilis. Juga, termasuk keterlibatan Bung Tomo dalam pengiriman teman-temannya ke Irian Barat dalam rangka perebutan dari Belanda (Maulana, 2008).
Hingga saat ini, pemerintah sudah menetapkan 156 pahlawan nasional, 34 di antaranya berasal dari TNI dan Polri. Kepada setiap pahlawan nasional, pemerintah memberikan tunjangan sebesar Rp 1,5 juta setiap bulan dan bantuan kesehatan Rp 3 juta setiap tahun bagi ahli waris.
Dengan jumlah pahlawan yang mencapai 156 orang itu, berarti masih banyak kesempatan para penulis untuk menuliskan kisah atau biografi para tokoh nasional dalam bentuk buku. Namun begitu, di era teknologi dan informasi yang begitu canggih—yang memungkinkan para penulis mudah mendapatkan data para pahlawan lewat internet dan buku-buku yang ditulis sebelumnya—riset lapangan dengan mewawancarai langsung keluarga para tokoh tentu tetaplah penting agar kelak tidak ada kesalahan dalam penulisan buku biografi para tokoh yang hendak ditulis. [*]
*) Penulis adalah lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya. Menulis sejumlah karya yang tersebar di beberapa media lokal dan nasional. Sekarang menetap di kota kelahirannya, Sumenep.
Keren artikelnya mas untung
ReplyDelete