Home » » Muda, Muslim, dan Mandiri (1)

Muda, Muslim, dan Mandiri (1)

Diposkan oleh damar pada Monday, May 25, 2015 | 5:12 PM

3 M
Sumber Gambar: irwinday
Oleh : Arya Damar Kembang

Banyak orang menganggap bahwa masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan tapi sekaligus juga paling membingungkan. Masa dimana seseorang mulai memikirkan tentang cita-cita, harapan, dan keinginan-keinginannya. Namun juga masa pencarian, karena ia mulai menyadari masalah-masalah yang muncul ketika ia mencoba untuk mengintegrasikan antara keinginan diri dan keinginan orang-orang di sekitarnya.

Ketika mereka dihadapkan pada beberapa persoalan yang ada di lingkungannya, mereka akan membaca, mempelajari dan mencerna dalam otak kanananya. Kalau mereka hidup di lingkungan yang keras, mereka bisa menjadi remaja yang minder dalam menggapai cita-citanya sendiri, mereka akan menjadi boneka yang digerakkan oleh lingkungan sekitarnya.

Bukanlah pemuda bagi mereka yang bergumam sambil membusungkan dada “Inilah ayahku (keluargaku)”, sesungguhnya pemuda adalah orang yang lantang berteriak “Inilah aku!”---demikian Sayyidina Ali RA  menerangkan tentang kemandirian bagi pemuda dan mereka yang berjiwa muda. Menghenyakkan segala ketergantungan pada orang tua, lingkungan hanya akan menjadi pengganggu bagi seluruh kreativitas para remaja. Remaja yang kreatif selalu berpikir, apa yang dapat diberikan pada lingkungan sekitar.

Menggantungkan cita-cita setinggi mungkin harus terjadi pada diri remaja, kemudian membentuk keyakinan yang kompleks dalam jiwa, keyakinan untuk menempuh seluruh cita-cita itu dengan baik. Semua orang dapat menempuhnya asalakan berusaha, sebagaimana yang diungkapkan dalam pepatah Arab : “al-Insan Bit-Tafkir, Wallahu Bit-Taqdir” manusia hanya berusaha, Allahlah yang menentukannya. Berusaha adalah bagian terpenting dari kehidupan manusia, kita tidak bisa berdiam diri hanya berdo’a kepada-Nya, tetapi harus seimbang antara berusaha (bekerja/belajar) dan berdo’a.

Kehidupan ini memang bukan permainan dadu yang mempertaruhkan kalah dan menang, tapi jangan pernah getir menghadapi seluruh realitas kehidupan ini. Tantangan dan cobaan pastilah ada di setiap insan, liku-liku kehidupan pasti terbentang di hadapan semua manusia, namun siapa yang sukses dan mampu menempuh jalannya dengan baik dan tak pernah menyerah, maka ia akan menjadi pemenang, ia akan menjadi orang yang bahagia.
3 M
Sumber Gambar: penaumarfaruq

Lebih dari itu, kita harus percaya bahwa kehidupan itu tak bisa semata-mata kita atur secara rasional. Setelah berusaha sekuat tenaga, kita pasrah kepada Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dengan berusaha untuk menempuh cita-cita berarti kita sedang mencintai diri kita, dengan berdo’a  berarti kita mencintai Allah Swt.

Dua kutub cinta antara diri dan Tuhan Yang Maha Pencipta terjadi dengan seimbang karena manusia memang diberi dua potensi, yang menurut plato disebut sebagai dualisme : jasmani dan rohani. Jasmaniyah yang menanggung beban fisik akan diatur oleh kemampuan psikologis, hati nurani yang telah mendapatkan petunjuk langsung dariNya di setiap kesempatan yang bergulir. Karena itu, seluruh varian dalam diri manusia yang menyangkut peran lahir dan batin seolah-olah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Pada suatu hari terdapat seorang lelaki yang sangat amat bodoh dan goblok. Ia diperintahkan oleh Ibunya untuk menuntut ilmu di sebuah majlis, lelaki yang tunduk patuh ini berangkat dan mengaji pada sang Guru. Karena saking bodohnya lelaki ini, selama bertahun-tahun mengaji, dia tak kunjung menjadi orang yang alim, bahkan membaca al-Qur’an pun amat sangat lemah dan tersendat-sendat.

Sang Guru marah-marah bila tiba pada giliran lelaki ini, sebab meskipun dikasih tahu berkali-kali, dia tetap saja seperti orang dungu. Akhirnya, karena lelaki ini tidak kuat, dia pergi dari majlis, dia sudah putus asa dengan usahanya. Maka pergilah lelaki ini, dia bermaksud untuk pulang ke rumah untuk menemui Ibunya, untuk mengadukan bahwa dirinya amat sangat bodoh dibandingkan dengan teman-temannya di majlis sang Guru.

Lelaki ini berjalan lewat sebuah lereng bukit. Dan tiba-tiba ia melihat sebuah pintu gua yang amat lembab, lelaki ini melangkah ke dekat pintu gua itu. Tak dinyana, matanya menyorot pada tetesan air yang jatuh di batu. Berlubang. Ya, air yang menetes terus menerus dapat melubangi batu. Akhirnya,  lelaki ini mengambil kesimpulan kalau air saja dapat melubangi batu, apakah dirinya akan kalah pada kebodohan?

Lelaki yang mendapat julukan Ibnu Hajar ini kembali lagi pada sang Guru, ia terus belajar dengan tekun, beribadah, berpuasa hingga pada akhirnya ia mendapat petunjuk, ia menjadi orang yang sangat alim di zamannya.

Hikmah yang dapat diambil dari kisah tersebuat adalah berkembangnya ruang optimisme dalam diri seorang pemuda atau remaja ketika dihadapkan pada berbagai persoalan yang dihadapinya, baik persoalan itu seolah-olah tak dapat diselesaikan dengan baik. Jika kita tetap optimis dan punya tekat serta ketekunan, maka impian yang ada di depan mata kita akan segera tercapai.

Sekeras-kerasnya batu masih dapat berlubang, meski hanya dengan tetes demi tetes air. Sebodoh-bodohnya seseorang diantara kita, jika masih mau berusaha dan membuang seluruh penyakit malas yang bersarang di hati, pastilah kebodohan itu akan segera pergi dan cahaya pengetahuan akan segera datang menyambang.

***
3 M
Sumber Gambar: kugkig.com

Belakangan ini, ilmu pengetahuan dan tehnologi seringkali dicurigai menjadi penyebab berbagai persoalan yang terjadi di wilayah remaja, karena budaya yang berkembang di kalangan remaja kita adalah budaya tontonan (konsumtif) sehingga “virus-virus” global terus menggurita dalam pikiran remaja kita.

Dan atas dasar itulah buku ini ditulis untuk menyuguhkan banyak pengalaman dan antisipasi bagi para remaja masa kini.
 
Setidaknya para remaja berupaya untuk menjadikan tehnologi informasi sebagai bagian untuk mencapai cita-cita, atau menjadi fasilitas untuk mengembangkan keilmuan mereka, sehingga mampu berdiri mandiri, dapat membentengi diri mereka menjadi sosok yang kuat. Jangan mengandalkan orang tua sebagai funding seluruh kebutuhan, karena dengan itu kita akan menjadi pemalas. Kita harus percaya diri bahwa siapapun bisa hidup mandiri sesuai dengan keinginan yang kontruktif-edukatif.  Katakan “Inilah aku!”. Ungkapan Sayyidina Ali ini berarti sebuah kekuatan, benteng pertahanan spiritual dan akal pikiran yang seharusnya dimiliki oleh remaja adalah punya kekuatan untuk berjuang.

Akulturasi budaya yang semakin hari semakin menggurita dan menyeret pada prilaku yang “bukan kita” sepertinya memberi dampak yang lumayan krusial bagi remaja, karena filtralisasi yang kita miliki amat sangat lemah. Lihatlah kenyataan-kenyataan sosial yang terjadi belakangan berupa anakhisme, kumpul kebo, pembunuhan, pencabulan dan lain sebagainya.

Dengan demikian, penulis berharap dengan hadirnya buku ini para remaja mampu menjadikan dirinya sebagai orang yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain. Selain itu, mampu menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat mengatur seluruh alur hidupnya tanpa terkontaminasi oleh berbagai faktor luar yang berbahaya, baik secara moral maupun mental.
3 M
Sumber Gambar: ceritagontor.wordpress.com

Dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya, terdapat beberapa varian menarik yang akan dikaji, yang tentu saja berkaitan dengan problematika yang dihadapi remaja dan solusi-solusi kongkrit yang dapat dilakukan mereka dalam mengikuti arus kehidupan ini. Kita akan memperbincangkan bagaimana tantangan remaja masa kini, remaja ideal dan berakhlak mulia, memiliki teman yang baik dan mengenal batas bergaul, sukses menempuh pendidikan, memiliki skill yang berkembang, mampu hidup mandiri dan menjadi orang yang bermanfaat di masyarakat.

Kita tentu berharap pada pemuda masa kini, tidak hanya menjadi anak muda tetapi bagaimana ia betul-betul menjadi pemuda/remaja berkualitas yang dapat berjuang untuk diri sendiri, agama, bangsa dan negara sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Boedi Oetomo, Soekarno, Hatta, Sjahrir dan pejuang-pejuang lainnya yang dapat menjadi teladan. Kita tahu dalam sejarah bangsa kita sejak Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai Gema Reformasi (1998) para pemudalah yang berperan di garis depan.

Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia pernah mengungkapkan bahwa anak muda belum tentu pemuda, tapi pemuda pastilah anak muda. Pemuda tidak akan terkontaminasi oleh hura-hura, minum-minuman keras, tawuran dan budaya distruktif lainnya, pemuda selalu berupaya membangun hal-hal yang edukatif-revolusioner. Pemuda selalu berupaya bangkit dan berkembang sesuai dengan lajunya zaman. Oleh karena itu, mari kita menjadi pemuda yang berkualitas yang dapat memberi tanggung jawab terhadap seluruh amanah yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia di muka bumi ini.***


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment