Sumber Gambar : telegraph.co.uk |
Juru ketik memang tak memiliki karya. Juru ketik memang hanya menuliskan ide-ide yang sudah disiapkan oleh sang pengarang. Tetapi tanpa juru ketik itulah, karya-karya sebagaian pengarang besar tak mungkin bisa terpublikasikan. Juru ketik adalah perpanjangan tangan pengarang agar karya besar dapat dinikmati oleh pembacanya.
Seorang penyair dan novelis Prancis terkenal, Marquiz De Sade (1740-1814) harus berterima kasih kepada tukang cuci penjara rumah sakit jiwa yang ia huni, karena menjadi perantara menyerahkan lembaran tulisan-tulisannya kepada salah seorang utusan penerbit bawah tanah yang mengunjunginya tiap hari. Laki-laki berkuda utusan penerbit itu rutin mendatangi penjara yang berada di bawah kepemimpinan seorang pastor Katolik, Juaquen Poenix.
Tulisan-tulisan Marquiz diketik oleh seorang juru ketik penerbit, kemudian dicetak, dan diedarkan. Tulisan yang dianggap bernada erotis, jorok, dan bernada olok-olok terhadap sang penguasa, mengundang geram Napoleon Bonaparte. Sehingga semua alat tulis De Sade disita atas perintah Napoleon. Tapi De Sade masih menggunakan cara yang lain, mulai dari darah dan kotoran yang dituliskan pada seprei dan dinding kamarnya yang berjeruji besi. Tanpa peran juru ketik penerbit yang mendatanginya tiap hari, tulisan-tulisan De Sade tentu tak akan bisa kita nikmati hingga kini.
Rofiqi dan Enek adalah dua orang juru ketik budayawan Madura D. Zawawi Imron. Jasa si juru ketik itu dipakai oleh si Celurit Emas di saat menulis puisi atau kolom tetap di rubrik Jeda (sekarang rubrik ruang putih), di Jawa Pos, beberapa tahun silam.
Pak Zawawi menulis tangan di sebuah buku, lalu ia memanggil salah satu dari dua orang santri yang ia “tahbis” menjadi juru ketik di rumahnya. Ia mengetik, memprint, lalu dibaca ulang oleh pak Zawawi, diedit, direvisi, kemudian dikirimlah ke media yang dituju. Tukang ketiklah yang mengirimkannya.
Perenungan yang mendalam dari hasil penggalian nurani Zawawi Imron bisa sampai kepada publik berkat si Juru Ketik itu. Akan tetapi, di sisi lain, si juru ketik juga bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman dari isi tulisan-tulisan yang diketiknya. Jadi, dua pihak itu sebenarnya mengalami hubungan simbiosis mutualisme.
***
Pengarang besar dari Malang, Alm. Ratna Indraswari Ibrahim, memiliki banyak juru ketik, diantaranya : Rini, Ragil, Santy, Olen, Zizi, dan Elwik PR. Mbak Ratna mengidap penyakit rachitis (radang tulang) semenjak ia berusia 13 tahun. Atas sebab penyakit itulah, tangan dan kakinya tidak bisa berfungsi, sehingga segala aktivitasnya hanya bisa dilakukan di atas kursi roda.
Ia bercerita secara lisan di dekat meja komputer, juru ketiknya yang menuliskan. Setelah selesai, si juru ketik memprint, lalu Mbak Ratna membaca hasilnya. Jika ada yang perlu direvisi, ia memberi masukan.
“Saya menjadi juru ketik Mbak Ratna sekitar tiga tahun.” Ucap Zizi. “Saya mengetik puluhan cerpen dan sebuah novel yang berjudul: 1998”
Para juru ketik itu tidak memungut bayaran. Sebab dengan cara begitu, mereka merasa telah mendapatkan pelajaran hidup dan pelajaran mengarang secara langsung dari sang maestro cerpen kota Malang ini.
Berkat jasa para juru ketik itulah, rentetan karya, penghargaan, serta kegiatan-kegiatan berkelas internasional dapat diikutinya, diantaranya: antologi Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995), Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997), Lakon Di Kota Senja (2002) Waktu Nayla (2003) Pecinan (2011), dan 1998 (2012), dan masih banyak lagi.
Ia juga aktif sebagai aktivis perempuan dan memperjuangkan orang-orang “cacat fisik”, hingga ia diantarkan untuk ikut kegiatan, Disable People International di Sydney, Australia, (1993), Kongres Internasional Perempuan di Beijing, RRC (1995), Leadership Training MIUSA di Eugene Oregon, Amerika Serikat (1997), Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, Amerika Serikat (1997), dan kegiatan-kegiatan lain di dalam negeri seperti Kick Andy, UWRF di Bali, dll.
Juru ketik memang tidak tampak dan tidak hadir dalam rangkaian-rangkaian seremonial itu, tetapi tanpa jasa si juru ketik itulah, karya-karya besar mbak Ratna tak akan sampai ke tangan kita. Bahkan suatu waktu, Ratna Indraswari Ibrahim pernah mengatakan begini ketika diwawancarai Naning Pranoto “Saya hanya bercerita, juru ketik saya yang menuliskan. Tentu saya harus melewati dua mood: mood saya dan mood mbak Rini (si juru ketiknya waktu itu).”
***
Hisyamuddin, seorang lelaki yang memiliki peran besar atas lahirnya karya-karya besar Maulana Jalaluddin Rumi. Ia adalah seorang kawan, teman diskusi, guru, hingga menjadi juru tulis igauan-igauan pengalaman religius Rumi. Bahkan ia menjadi inspirator bagi si sufi dari Konya, Turki ini. Karya-karya Rumi paling terkenal berupa lirik-lirik puisi yang sangat indah dengan judul Diwan-i Syams-i Tabriz (Puisi-puisi Syams-i Tabriz), dan untaian-untaian sajak memukau yang terkumpul dalam empat jilid buku tebal-tebal yang berjudul Matsnawi.
Kehadiran Hisyamuddin juga mendorong Maulana Rumi mendirikan sebuah thariqat Mevlawi atau thariqat Maulawiyah. Orang-orang Barat menyebutnya dengan the whirling dervishes (para darwish yang berputar-putar). Hisyamuddin menjadi lelaki ketiga dalam kehidupan spiritualitas Rumi setelah Syamsi Tabriz dan Bahauddin.
Suatu pagi Rumi pernah berkata kepada anaknya Sultan Walad “akan tiba saatnya ketika Konya menjadi gegap gempita, dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang umat manusia menjenguk, berdo’a, dan menggema di mausoleum dengan ucapan-ucapan kita.”
Memang lebih dari tujuh abad Maulana Jalaluddin Rumi menghenyakkan napas dari dunia ini, tetapi ajaran-ajarannya, tarian whirlingnya, bahkan namanya dielu-elukan di seluruh penjuru dunia. Paus Yohannes XXIII pernah menulis pada tahun 1958: “Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi.” Sementara orientalis dari Inggris, Reynold A Nicholson pernah menulis: “ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci.”
***
Juru ketik memang bukan siapa-siapa, tetapi juru ketik memiliki peran penting atas lahirnya karya-karya penting. Jika juru ketik itu tidak hadir dalam kehidupan mereka, maka ilmu, kebijaksanaan, kearifan, karya besar tidak mungkin bisa kita nikmati sampai hari ini.
Seperti udara, juru ketik memang tidak terlihat mata kepala, tetapi tanpa udara manusia tak akan bisa eksis di dunia ini. Karena itulah, menarik kiranya apa yang telah digumamkan oleh Jalaluddin Rumi:
Aku kehilangan duniaku, ketenaranku, dan pikiranku. Ketika matahari terbit, maka semua bayang-bayang lenyap. Aku berlari mendahului bayang-bayang tubuhku yang lenyap saat aku berlari. Namun, cahaya matahari itu berlari mendahuluiku dan memburuku, hingga aku pun terjatuh dan bersujud pasrah ditelan samudera kilau-Nya yang mempesona.***
0 comments :
Post a Comment