Home » » Negara Maritim, Ironi Negeri Penggalan Surga

Negara Maritim, Ironi Negeri Penggalan Surga

Diposkan oleh damar pada Friday, May 29, 2015 | 6:21 PM

Oleh : Habib Rusydi
maritim
Sumber Gambar: wikipedia.org

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

(Koes Plus, Kolam Susu)

Seperti halnya D. Zawawi Imron dalam baris-baris puisinya yang berjudul Kasidah Air Mata dan John Tobing dalam deretan bait lagu perjuangan Darah Juang-nya, saya yakin Koes Plus juga tak pernah benar-benar merasa bangga akan kenyataan tanah airnya sendiri saat berhasil menggubah lagu Kolam Susu, lagu yang melukiskan tentang Indonesia yang teramat kaya.

Dalam perspektif historis hingga teoretis, lagu yang kebak akan kata-kata sanjungan itu memang mudah diterima akal sehat. Betapa tidak jika laut kita ternyata menyimpan kekayaan yang luar biasa, dengan luas mencapai 5,8 juta km2. Saya ulangi, dengan luas 5,8 juta km2. Mengetahui cakupan wilayah laut yang mencapai 2/3 dari keseluruhan wilayah Indonesia itu, tentu tak heran bila Indonesia diakui secara internasional sebagai negara maritim. (Baca Juga; Negara sakit, Red.)

Luasnya sektor laut itu tentu tak hanya menyangkut soal wilayah. Tetapi lebih dari itu, ombaknya, meminjam bahasa D. Zawawi Imron, memeram dahaga rindu dan mutiara. Tentu saja, idiom “dahaga”, “rindu”, dan “mutiara” yang diracik oleh si Celurit Emas itu sangat kental nuansa simbolik. Diksi “dahaga” biasanya digunakan untuk menyebut rasa ingin minum seorang musafir karena kerongkongannya berasa kering. Penyair berdarah Madura itu seolah hendak menandaskan, betapapun jauhnya jarak dan daerah yang berhasil ditaklukkan oleh seorang pengembara yang pergi meninggalkan negerinya, tetapi pada akhirnya ia pasti memeram dahaga rindu untuk pulang ke pelukan ibu pertiwi.
negara
Sumber Gambar: transformasi.org

Pun, idiom “mutiara”, yang mengandaikan betapa laut kita menyimpan kekayaan yang sangat mahal harganya. Betapa laut kita menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Luasnya cakupan wilayah perairan Indonesia mengandung segudang sumberdaya laut yang beraneka ragam, baik hayati maupun nonhayati.
Dari jumlah sekitar 28.400 jenis ikan yang ada di dunia, lebih dari 25.000 jenis ikan berada di laut kita. Ikan-ikan itu mulai dari jenis ikan yang murah harganya hingga ragam ikan dengan nilai ekonomis yang sangat tinggi. Tersebutlah cumi-cumi, lobster, kakap, cakalang, tongkol, tuna, kerapu, tengiri, baronang, hingga ikan hias.

Dan, jangan lupa, laut kita memiliki angka potensi lestari penangkapan ikan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Kita hanya perlu melempar kail dan jala, maka ikan dan udang akan menghampiri kita. Semua itu sudah cukup bagi kita untuk menjalankan hidup dan memakmurkan kehidupan. Alangkah berlimpah kekayaan laut kita, sampai-sampai Koes Plus mengandaikannya sebagai bukan lautan, tetapi kolam susu.

Belum lagi tentang migas. Sebagaimana umum diketahui, 70% cadangan migas kita berada di laut. Aspek wisata bahari juga tak kalah memikat. Sebutlah terumbu karang. Sebagai negara kepulauan, terumbu karang yang kita memiliki wilayahnya terluas sedunia. Saya ulangi, terluas sedunia. Berkunjunglah ke daerah Raja Ampat, Papua. Di sana, taman laut terhampar bagai taman surga. Di Sulawesi Utara, kita akan menemukan Taman Laut Bunaken. Di Sulawesi Utara, ada Wakatobi yang bisa kita nikmati pesona keindahan bawah lautnya. Demikian juga di berbagai daerah lainnya.

Fakta-fakta historis tentang kekayaan laut kita sebenarnya sangat potensial dan strategis untuk mendongkrak ekonomi rakyat melalui sektor maritim. Tahun 2013, BPK menyatakan, potensi pendapatan normal kita melalui sektor laut bisa mencapai 365 triliun rupiah.

Akan tetapi, secara empiris, rakyat Indonesia tak benar-benar mampu menikmati limpahan kekayaan alam lautnya sendiri. Mereka tak kuasa sedikit pun untuk mengepal tangan ke udara di tengah-tengah hadangan kapal pencuri ikan. Karena pembiaran praktik illegal fishing, kita kehilangan 300 triliun rupiah per tahun. Bukan hanya bocor—meminjam istilah Jenderal Prabowo Subianto, tapi malah ambrol. Akibatnya, rakyat Indonesia terkepung oleh hantu-hantu kesengsaraan dalam semua aspek. Jika demikian, “Sebenarnya kemakmuran tanah air ini untuk siapa?”, tanya D. Zawawi Imron dengan nada yang agak murung.
maritim
Sumber Gambar: wwf.no

Informasi yang berhasil diungkap oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), kapal-kapal pencuri ikan di laut kita diketahui berasal dari Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, Taiwan, Hongkong, dan Tiongkok. Bahkan, menurut Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, sebagaimana dinyatakan oleh Ika Akbarwati, volume ikan yang dicuri pada periode Januari hingga Agustus 2014 dari laut Indonesia mencapai 1,6 juta ton (setara dengan 182 ton per hari). Betapa gerah dan gatal sekujur tubuh kita mendengar kasus-kasus pencurian ikan tersebut.

Praktik illegal fishing memang hanya satu dari sekian banyak persoalan yang menggerogoti kelautan kita. Mengapa hal ini terjadi? Orang-orang yang berguru kepada Sayyidina Ali, kata D. Zawawi Imron, akan menjawab, karena ada orang-orang serakah / karena ada orang-orang rakus. Orang-orang yang hatinya terjangkit penyakit rakus dan serakah akan cenderung menghalalkan segala cara demi memuaskan segala keinginan mereka. Dalam hidup mereka, tak ada lagi baik dan buruk.

Faktor lainnya adalah lemahnya payung hukum di bidang kelautan sehingga memicu terjadinya praktik pencurian ikan. Ditambah lagi, paradigma kelautan dalam diri manusia penggerak sistem keamanan perairan kita masih rapuh. Dalam keadaan demikian, menanamkan wawasan bahari sejak dini kepada generasi bangsa merupakan langkah yang niscaya dan mendesak dilakukan. Hal ini karena laut bukan sekadar masa depan, melainkan lebih dari itu, yaitu menyangkut budaya bangsa.

Kita tahu, sebelum merdeka, lintas perdagangan masyarakat kita dahulu mencapai Timur Tengah dan Eropa melalui kota-kota pelabuhan. Hingga Sriwijaya dan Majapahit berkuasa, Nusantara mengalami kejayaan melalui poros maritim sehingga sangat disegani di mata dunia. Puncak kejayaannya terjadi pada masa Majapahit, yang berhasil menaklukkan hampir seluruh negara di Asia Tenggara dengan armada laut yang tangguh, mulai Brunei, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Timor-Timur, Papua.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita dahulu memang memiliki paradigma atau visi maritim yang kokoh. Tidak disangsikan lagi bahwa nenek moyang kita bukanlah pembalap, melainkan pelaut-pelaut yang tangguh.


•    Habib Rusydi, Esais alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Kini menjadi Redaktur Pelaksana Penerbit Divapress, Yogyakarta.


Artikel Terkait:

1 comments :

  1. Pak Jokowi saya kira perlu baca tulisan ini biar gak cuma blusukan aja..

    ReplyDelete