Oleh : Edi AH Iyubenu
Sebuah literatur berjudul The Ehem of Turkiyee yang tak usah didebat validitasnya, menyebutkan bahwa kecantikan wanita Turki merupakan buah hibrida kecantikan wanita Arab dan wanita Eropa. Kini kau bayangkan ya, Yusri yang ahli mentraktiri gadis-gadis UIN, wanita-wanita Arab yang muancung, bermata tajam, berkolaborasi dengan alis tebal, lubang mata cekung, bibir tipis kemerahan, pipi merona, kulit putih, dan apalah-apalah khas wanita Eropa. Hasilnya sejenis Huraim. Pantas sekali to, sang sultan pun takluk pada pesona Huraim.
Begitulah genetika asli kecantikan (bukan mitos kecantikan Naomi Wolf lho ya) wanita-wanita Turki. Wajar, bila mata lelaki Asia sontak tanpa ragu begitu repot untuk menatap wanita-wanita Turki yang mana, sebab semua wanita Turki adalah dedek-dedek gemes yang dijatuhkan dari surga. (Baca juga: Gagasan Tentang Komisi Dedek-Dedek Gemes)
AA?
Walah, plis deh, beliaunya butuh sentuhan-sentuhan oplas untuk bisa segemes itu. Juga BS. Entah kalau TM. Juga AMA a.k.a. Ahmad Muchlish Amrin. Wallahu’a’lam bi al-shawab.
Anda yang belum intens menyimak langsung secara empiris pesona gemesin dedek-dedek gemes Turki mungkin akan menggumam bahwa saya sedang lebay saja. Tidak! Yakinlah, saya sedang tidak mengada-ada. Tiada yang lebih tabah dari mata kala berpapasan dengan rombongan dedek-dedek gemes Turki.
Bahkan, seorang Bje pun yang lebih setahun tinggal di Istanbul, di postingan fotonya yang terbaru, telah bermetamorfosis sedemikian gemesinnya lho. Lha silakan kini bayangkan, apalagi sosok dedek-dedek gemes yang orisinil ayah-ibunya berdarah Turki.
Rabbana ma khalaqta hadza bathila subhanaka faqina ‘adzaban nar.
Kira-kira begitulah ruah perasaan religius yang sanggup diverbalkan lisan para lelaki Asia di hadapan akurasi kegemesan dedek-dedek gemes Turki itu.
Saya termasuk lelaki mujur karena cukup sering berpapasan dengan dedek-dedek gemes Turkiye. Terutama kala saya menyambangi Istanbul tahun 2014 lalu, di musim dingin yang menyayat sekujur kenangan di kedalaman jiwa yang hampa. Halah!
Di sebuah counter kaos di kota Bursa, Turki, saya nyaris tak tahu berapa harga kaos yang harus saya bayarkan lantaran perasaan batin tertulus saya sebagai manusia Asia terblejeti sempurna oleh dedek gemes yang jagain toko. Oke, ambil. Baik, beli. Boleh, bungkus.
Hanya kalimat-kalimat begitu yang bisa saya luncurkan, sembari mata dag-dig-dug tiada terkira dengan batin berstabih: “Duh, Dek, kamu ini anaknya siapa? Kok ayune wong se Jogja kamu ambil semua. Masih plus lagi. Kayaknya ya masih turah bila disertakan stok kecantikan wanita-wanita Klaten dan Secang lho. Ikut pulang, yuk….”
Kala itu, tiba-tiba saya ingin menetap di Turki. Tidak berkawan dengan Bje pastinya, tapi dengan dedek-dedek gemes saja. Untunglah, takdir Ilahi berkata lain. Saya pun pulang ke Jogja dengan membawa sejuta kenangan indah bersamanya selama mengarungi selat Bosphorus dan menelisik Hagia Sophia di kala senja berselimut beku (hoyooohhh!), yang tentu saja hanya ada dalam imajinasi. Jean Baudrillard benar-benar tahu aja deh, bahwa imajinasi tentang apa pun (termasuk kegemesan) seringkali jauh lebih gemesin dibanding pengalaman itu sendiri.
Dan kini, kala saya bertualang lagi ke Haramain, tanpa ampun saya pun berjumpa lagi dengan dedek-dedek gemes Turki. Rata-rata mereka mengenakan burqa (jubah) hitam sekujur tubuh. Jilbab pun hitam. Kacamata juga hitam. Hanya raut wajah, tangan, dan kaki yang memperlihatkan warna kulitnya yang so-called lebih putih dari pualam yang ketumpahan susu putih dari sapi berbulu putih. Ngok!
Semua warna hitam itu gagal total menyembunyikan lanskap gemesin mereka. Justru kian menghidupkan nyala api unggun kegemesan di relung dada. *mau Pramuka kali ya*
Lha mereka ini beda sekali dengan dedek-dedek gemes di kota saya, yang seringkali harus dibelain dengan makai celana pendek terdangkal yang pernah didesain Levi’s, ketek diangin-anginin sedemikian masuk anginnya karena Tolak Angin selalu siap di Indomart, tambah pinggang bagian belakang yang kehilangan bajunya bila bangkit dari duduk, plus bonus cekakak-cekikik dan klepas-klepus sembari duduk menyilangkan kaki sedemikian metengkrengnya hingga paha ayam itu tampak santapable, tetap saja dedek-dedek gemes Turki tak secuil pun kuasa tertandingi.
Ternyata ya, yakinlah deh sama statemen ini, apa-apa yang natural takkan pernah sanggup ditandingi apa-apa yang buatan.
Level gemesinnya dedek-dedek gemes Turki yang secara natural box office takkan pernah sanggup digeser oleh paha-paha dan leher-leher milik ayam-ayam gemes di malam buta dari dalam negeri yang hasil polahan konsentrat. Sekali lagi, jika ngutip Sigmund Freud, watak kreasi semesta akan selalu melahirkan kreasi, memang.
Namun ya tentu saja, biar saya tak dituding liberal yang tak tahu bersyukur, saya harus buru-buru menyertakan kalimat-kalimat penyejuk hati di sini bahwa apalah arti kecantikan bila tak diiringi kecantikan hati; apalah makna kegemesan bila tak meliputi kegemesan hati. Hati pun sungguh sangat wajib hukumnya untuk digemes-gemesin. Sehingga harap maklum bila kini saya memunculkan sebuah etimologi baru: hati-hati gemes.
Ya, maksudnya, hati-hatilah dengan dedek-dedek gemes. Lol.
Kemampuan merawat hati dari pesona hati-hati gemes itu kiranya valid sekali bila di sini saya angkat sebuah contoh empirik: keluarga AMA tadi.
Apalah yang kurang gemesinnya dari hati beliaunya yang CEO media online ini? Apalah pula yang kurang menakjubkannya dari gemesinnya hati istri beliau, Nyai Zizi?
Buahnya?
Fawa yang gemesin lahir-batin. Fawa yang suatu hari akan saya hadiahi ayam jago petarung plus kurungannya sebagai empati saya atas kegemesan di dalam hati.
Maka biar pun dedek-dedek gemes yang paling gemesin sekalipun selalu mengusik hati, ya dedek-dedek gemes Turkilah, hal itu takkan pernah otoritatif sebelum diempirikkan ke pemisalan barusan.
AMA yang gemesin; Nyai Zizi yang gemesin; Fawa yang gemesin. Trio dedek gemes yang menjadikan Jogja sebegitu ademnya.
Oh ya, tenang aja, saya tentu tak pernah lupa untuk pada gilirannya menuliskan kisah gemesin AH (Abdul Hamid, red.), Tika, dan Lubna. Mereka pun teladan komprehensif atas epistemologi dedek-dedek gemes yang saya maksudkan.
Makkah, 30 Mei 2015
* Edi AH Iyubenu, CEO Divapress dan Rektor #KampusFiksi Yogyakarta. Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber Gambar: dok.pribadi Edi AH Iyubenu |
Sebuah literatur berjudul The Ehem of Turkiyee yang tak usah didebat validitasnya, menyebutkan bahwa kecantikan wanita Turki merupakan buah hibrida kecantikan wanita Arab dan wanita Eropa. Kini kau bayangkan ya, Yusri yang ahli mentraktiri gadis-gadis UIN, wanita-wanita Arab yang muancung, bermata tajam, berkolaborasi dengan alis tebal, lubang mata cekung, bibir tipis kemerahan, pipi merona, kulit putih, dan apalah-apalah khas wanita Eropa. Hasilnya sejenis Huraim. Pantas sekali to, sang sultan pun takluk pada pesona Huraim.
Begitulah genetika asli kecantikan (bukan mitos kecantikan Naomi Wolf lho ya) wanita-wanita Turki. Wajar, bila mata lelaki Asia sontak tanpa ragu begitu repot untuk menatap wanita-wanita Turki yang mana, sebab semua wanita Turki adalah dedek-dedek gemes yang dijatuhkan dari surga. (Baca juga: Gagasan Tentang Komisi Dedek-Dedek Gemes)
AA?
Walah, plis deh, beliaunya butuh sentuhan-sentuhan oplas untuk bisa segemes itu. Juga BS. Entah kalau TM. Juga AMA a.k.a. Ahmad Muchlish Amrin. Wallahu’a’lam bi al-shawab.
Anda yang belum intens menyimak langsung secara empiris pesona gemesin dedek-dedek gemes Turki mungkin akan menggumam bahwa saya sedang lebay saja. Tidak! Yakinlah, saya sedang tidak mengada-ada. Tiada yang lebih tabah dari mata kala berpapasan dengan rombongan dedek-dedek gemes Turki.
Bahkan, seorang Bje pun yang lebih setahun tinggal di Istanbul, di postingan fotonya yang terbaru, telah bermetamorfosis sedemikian gemesinnya lho. Lha silakan kini bayangkan, apalagi sosok dedek-dedek gemes yang orisinil ayah-ibunya berdarah Turki.
Rabbana ma khalaqta hadza bathila subhanaka faqina ‘adzaban nar.
Kira-kira begitulah ruah perasaan religius yang sanggup diverbalkan lisan para lelaki Asia di hadapan akurasi kegemesan dedek-dedek gemes Turki itu.
Sumber Gambar: swaragama.com |
Saya termasuk lelaki mujur karena cukup sering berpapasan dengan dedek-dedek gemes Turkiye. Terutama kala saya menyambangi Istanbul tahun 2014 lalu, di musim dingin yang menyayat sekujur kenangan di kedalaman jiwa yang hampa. Halah!
Di sebuah counter kaos di kota Bursa, Turki, saya nyaris tak tahu berapa harga kaos yang harus saya bayarkan lantaran perasaan batin tertulus saya sebagai manusia Asia terblejeti sempurna oleh dedek gemes yang jagain toko. Oke, ambil. Baik, beli. Boleh, bungkus.
Hanya kalimat-kalimat begitu yang bisa saya luncurkan, sembari mata dag-dig-dug tiada terkira dengan batin berstabih: “Duh, Dek, kamu ini anaknya siapa? Kok ayune wong se Jogja kamu ambil semua. Masih plus lagi. Kayaknya ya masih turah bila disertakan stok kecantikan wanita-wanita Klaten dan Secang lho. Ikut pulang, yuk….”
Kala itu, tiba-tiba saya ingin menetap di Turki. Tidak berkawan dengan Bje pastinya, tapi dengan dedek-dedek gemes saja. Untunglah, takdir Ilahi berkata lain. Saya pun pulang ke Jogja dengan membawa sejuta kenangan indah bersamanya selama mengarungi selat Bosphorus dan menelisik Hagia Sophia di kala senja berselimut beku (hoyooohhh!), yang tentu saja hanya ada dalam imajinasi. Jean Baudrillard benar-benar tahu aja deh, bahwa imajinasi tentang apa pun (termasuk kegemesan) seringkali jauh lebih gemesin dibanding pengalaman itu sendiri.
Dan kini, kala saya bertualang lagi ke Haramain, tanpa ampun saya pun berjumpa lagi dengan dedek-dedek gemes Turki. Rata-rata mereka mengenakan burqa (jubah) hitam sekujur tubuh. Jilbab pun hitam. Kacamata juga hitam. Hanya raut wajah, tangan, dan kaki yang memperlihatkan warna kulitnya yang so-called lebih putih dari pualam yang ketumpahan susu putih dari sapi berbulu putih. Ngok!
Semua warna hitam itu gagal total menyembunyikan lanskap gemesin mereka. Justru kian menghidupkan nyala api unggun kegemesan di relung dada. *mau Pramuka kali ya*
Lha mereka ini beda sekali dengan dedek-dedek gemes di kota saya, yang seringkali harus dibelain dengan makai celana pendek terdangkal yang pernah didesain Levi’s, ketek diangin-anginin sedemikian masuk anginnya karena Tolak Angin selalu siap di Indomart, tambah pinggang bagian belakang yang kehilangan bajunya bila bangkit dari duduk, plus bonus cekakak-cekikik dan klepas-klepus sembari duduk menyilangkan kaki sedemikian metengkrengnya hingga paha ayam itu tampak santapable, tetap saja dedek-dedek gemes Turki tak secuil pun kuasa tertandingi.
Ternyata ya, yakinlah deh sama statemen ini, apa-apa yang natural takkan pernah sanggup ditandingi apa-apa yang buatan.
Level gemesinnya dedek-dedek gemes Turki yang secara natural box office takkan pernah sanggup digeser oleh paha-paha dan leher-leher milik ayam-ayam gemes di malam buta dari dalam negeri yang hasil polahan konsentrat. Sekali lagi, jika ngutip Sigmund Freud, watak kreasi semesta akan selalu melahirkan kreasi, memang.
Namun ya tentu saja, biar saya tak dituding liberal yang tak tahu bersyukur, saya harus buru-buru menyertakan kalimat-kalimat penyejuk hati di sini bahwa apalah arti kecantikan bila tak diiringi kecantikan hati; apalah makna kegemesan bila tak meliputi kegemesan hati. Hati pun sungguh sangat wajib hukumnya untuk digemes-gemesin. Sehingga harap maklum bila kini saya memunculkan sebuah etimologi baru: hati-hati gemes.
Ya, maksudnya, hati-hatilah dengan dedek-dedek gemes. Lol.
Sumber Gambar: republika.co.id |
Kemampuan merawat hati dari pesona hati-hati gemes itu kiranya valid sekali bila di sini saya angkat sebuah contoh empirik: keluarga AMA tadi.
Apalah yang kurang gemesinnya dari hati beliaunya yang CEO media online ini? Apalah pula yang kurang menakjubkannya dari gemesinnya hati istri beliau, Nyai Zizi?
Buahnya?
Fawa yang gemesin lahir-batin. Fawa yang suatu hari akan saya hadiahi ayam jago petarung plus kurungannya sebagai empati saya atas kegemesan di dalam hati.
Maka biar pun dedek-dedek gemes yang paling gemesin sekalipun selalu mengusik hati, ya dedek-dedek gemes Turkilah, hal itu takkan pernah otoritatif sebelum diempirikkan ke pemisalan barusan.
AMA yang gemesin; Nyai Zizi yang gemesin; Fawa yang gemesin. Trio dedek gemes yang menjadikan Jogja sebegitu ademnya.
Oh ya, tenang aja, saya tentu tak pernah lupa untuk pada gilirannya menuliskan kisah gemesin AH (Abdul Hamid, red.), Tika, dan Lubna. Mereka pun teladan komprehensif atas epistemologi dedek-dedek gemes yang saya maksudkan.
Makkah, 30 Mei 2015
* Edi AH Iyubenu, CEO Divapress dan Rektor #KampusFiksi Yogyakarta. Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 comments :
Post a Comment