Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
Bila sepasang kupu-kupu/ berkejaran diantara bunga-bunga/ masih bertanya lagikah kita/ apa itu cinta?---itulah potongan sajak cinta Abdul Wachid Bs dalam antologi Izinkan Aku Mencintaimu. Diksi-diksi romantik itu tentu ditulis dengan sadar, logika, dan tentu ada momen puitik yang mendasarinya. Gambaran tentang sepasang kekasih yang merajut rasa dalam puisi Achid tak ubahnya kupu-kupu dengan sayap warna-warni yang sedang menemukan peraduannya di udara yang sejuk dan indah. Dan kali ini, apakah kupu-kupu itu Matroni dan pasangannya?
Eh, ternyata bukan. He He He! Lalu kucari-cari dan kuduga-duga tentang Matroni dan mo’termo’nya.
Pernikahan---dalam cakrawala puisi Tardji yang berjudul Tragedi Winka dan Sihka dimainkan dengan bunyi yang dahsyat serta diksi yang mengalami proses pemaknaan yang panjang. Cara ungkap yang khas dapat kita nikmati dari kata “kawin” yang dapat dimaknai sebagai kebahagiaan. Kata “kawin” di tangan Tardji pada prosesnya dapat berubah menjadi “winka” yang bermakna kesengsaraan. Begitu pula dengan kata “kasih” kemudian berubah menjadi “sihka”, artinya kecintaan dan kebencian.
Pada prosesnya, jika tragedi kehidupan manusia yang pada mulanya merajut “kasih” kemudian sepakat menuju sebuah pelaminan “kawin”, maka kebahagiaan rumah tangga akan melahirkan senyum dan wajah yang berbunga-bunga. Akan tetapi jika tragedi lain yang berbicara, yakni tragedi “winka” dan “sihka” yang bekerja lebih dominan dalam adaptasi sebuah hubungan rumah tangga, maka pesona cinta yang bertaut kelindan akan menjadi neraka. Lalu, apakah Matroni dan pasangannya menjadi bagian dari tragedi Winka dan Sihka?
Semoga tidak ya? Meski suatu waktu ingin nambah peraduan berikutnya, bisa jadi dipertahankan semua dalam satu rumah. Haa Haa!
Dan suatu waktu, seorang kawan di Kutub membacakan puisinya pada kami. Puisi itu berbunyi begini: aku tahu kau merindukan/ tanganku di atas tidurmu/ cintaku di atas hidupmu/ dan kau tahu/ aku hidup di atas cintamu. Ia berdiri di sebuah tempat, teman-teman yang lain pada duduk di sebuah lincak sambil melihat temanku membacakan puisinya. Apakah itu Matroni? Sekali lagi bukan. Bukan. Dan bukan.
Kemudian ia menyedot rokoknya. Asap menggeliat di udara. Rambutnya yang merumbai hampir menutupi tahi lalat di bawah mata kanannya ketika itu. ia pun melanjutkan kata-katanya: cinta telah menguasai kita/ bahkan sebelum kita/ mampu mengucapkannya/ jiwaku dan jiwamu punya satu sayap/ dan cinta kita yang menyatu/ mengepakkan sepasang sayap kita/meninggalkan sepasang sayap yang rapuh.
Alfian Harfi nama penyair kurus cekung itu. Ia punya keberanian yang luar biasa; keberanian pertama menyatakan cinta kepada perempuan-perempuan yang dianggapnya menarik. Tak peduli diterima atau ditolak. Keberanian kedua adalah mengumpat redaktur koran karena tulisannya tak kunjung dimuat. Ia mencoba melaksanakan puisi-puisinya. Sayap yang rapuh ia tinggalkan. Ia hanya akan pergi dengan satu sayap yang kuat. Pertanyaannya kemudian, apakah Matroni sepenuhnya dikuasai cinta sebagaimana Alfian? Saya rasa juga tidak. Duh, memang sulit mendefinisikan Matroni dan pasangannya.
Dengan sabar, kucari-cari dan kuduga-duga segala yang dapat dicari dan diduga. Matroni tidak ada di sana. Kupikir-pikir dan kuragu-ragukan segala yang terkait dengan keduanya. Tetapi tidak dapat diragukan dan dipikirkan. Akhirnya, perlahan-lahan, pelan-pelan, diam-diam, bahkan di ruang gelap sekalipun, sebagaimana Matroni dan pasangannya menjalani malam pertama di pelaminan. Kutemukan keduanya tengah berjubelan menjadi partikel tuhan yang terberai lalu disatukan dalam cawan pernikahan.***
*Tulisan ini diminta oleh Mahwi Air Tawar untuk merayakan pernikahan Matroni Muserang.
Bila sepasang kupu-kupu/ berkejaran diantara bunga-bunga/ masih bertanya lagikah kita/ apa itu cinta?---itulah potongan sajak cinta Abdul Wachid Bs dalam antologi Izinkan Aku Mencintaimu. Diksi-diksi romantik itu tentu ditulis dengan sadar, logika, dan tentu ada momen puitik yang mendasarinya. Gambaran tentang sepasang kekasih yang merajut rasa dalam puisi Achid tak ubahnya kupu-kupu dengan sayap warna-warni yang sedang menemukan peraduannya di udara yang sejuk dan indah. Dan kali ini, apakah kupu-kupu itu Matroni dan pasangannya?
Eh, ternyata bukan. He He He! Lalu kucari-cari dan kuduga-duga tentang Matroni dan mo’termo’nya.
Pernikahan---dalam cakrawala puisi Tardji yang berjudul Tragedi Winka dan Sihka dimainkan dengan bunyi yang dahsyat serta diksi yang mengalami proses pemaknaan yang panjang. Cara ungkap yang khas dapat kita nikmati dari kata “kawin” yang dapat dimaknai sebagai kebahagiaan. Kata “kawin” di tangan Tardji pada prosesnya dapat berubah menjadi “winka” yang bermakna kesengsaraan. Begitu pula dengan kata “kasih” kemudian berubah menjadi “sihka”, artinya kecintaan dan kebencian.
Pada prosesnya, jika tragedi kehidupan manusia yang pada mulanya merajut “kasih” kemudian sepakat menuju sebuah pelaminan “kawin”, maka kebahagiaan rumah tangga akan melahirkan senyum dan wajah yang berbunga-bunga. Akan tetapi jika tragedi lain yang berbicara, yakni tragedi “winka” dan “sihka” yang bekerja lebih dominan dalam adaptasi sebuah hubungan rumah tangga, maka pesona cinta yang bertaut kelindan akan menjadi neraka. Lalu, apakah Matroni dan pasangannya menjadi bagian dari tragedi Winka dan Sihka?
Semoga tidak ya? Meski suatu waktu ingin nambah peraduan berikutnya, bisa jadi dipertahankan semua dalam satu rumah. Haa Haa!
Dan suatu waktu, seorang kawan di Kutub membacakan puisinya pada kami. Puisi itu berbunyi begini: aku tahu kau merindukan/ tanganku di atas tidurmu/ cintaku di atas hidupmu/ dan kau tahu/ aku hidup di atas cintamu. Ia berdiri di sebuah tempat, teman-teman yang lain pada duduk di sebuah lincak sambil melihat temanku membacakan puisinya. Apakah itu Matroni? Sekali lagi bukan. Bukan. Dan bukan.
Kemudian ia menyedot rokoknya. Asap menggeliat di udara. Rambutnya yang merumbai hampir menutupi tahi lalat di bawah mata kanannya ketika itu. ia pun melanjutkan kata-katanya: cinta telah menguasai kita/ bahkan sebelum kita/ mampu mengucapkannya/ jiwaku dan jiwamu punya satu sayap/ dan cinta kita yang menyatu/ mengepakkan sepasang sayap kita/meninggalkan sepasang sayap yang rapuh.
Alfian Harfi nama penyair kurus cekung itu. Ia punya keberanian yang luar biasa; keberanian pertama menyatakan cinta kepada perempuan-perempuan yang dianggapnya menarik. Tak peduli diterima atau ditolak. Keberanian kedua adalah mengumpat redaktur koran karena tulisannya tak kunjung dimuat. Ia mencoba melaksanakan puisi-puisinya. Sayap yang rapuh ia tinggalkan. Ia hanya akan pergi dengan satu sayap yang kuat. Pertanyaannya kemudian, apakah Matroni sepenuhnya dikuasai cinta sebagaimana Alfian? Saya rasa juga tidak. Duh, memang sulit mendefinisikan Matroni dan pasangannya.
Dengan sabar, kucari-cari dan kuduga-duga segala yang dapat dicari dan diduga. Matroni tidak ada di sana. Kupikir-pikir dan kuragu-ragukan segala yang terkait dengan keduanya. Tetapi tidak dapat diragukan dan dipikirkan. Akhirnya, perlahan-lahan, pelan-pelan, diam-diam, bahkan di ruang gelap sekalipun, sebagaimana Matroni dan pasangannya menjalani malam pertama di pelaminan. Kutemukan keduanya tengah berjubelan menjadi partikel tuhan yang terberai lalu disatukan dalam cawan pernikahan.***
*Tulisan ini diminta oleh Mahwi Air Tawar untuk merayakan pernikahan Matroni Muserang.
0 comments :
Post a Comment