Home » » Seorang lelaki dan Senja di Vietnam

Seorang lelaki dan Senja di Vietnam

Diposkan oleh damar pada Monday, May 25, 2015 | 6:45 AM

senja
Sumber Gambar: drbtravel.blogspot.com
Cerpen : Avifah Ve

Faris Perdana Nasution. Laki-laki berkacamata, tidak banyak bicara, tidak tampan, dan tidak mempunyai dada bidang layaknya pria-pria yang pernah berbagi kisah siang dan malam bersamaku, dengan lancangnya menyelinap ke ruang kecil di sudut hatiku, yang selama ini tak pernah kuperhitungkan.

***

Di halaman gereja katedral Notre Dame, Ho Chi Minh City, tak jauh dari tempatku berdiri di samping pohon palem dengan sebotol air mineral, seorang lelaki berkaus hitam dengan tulisan “INDONESIA” berwarna merah putih di bagian depan, sibuk mengambil gambar gereja Katholik tertua dan terbesar di Vietnam ini dengan kamera yang menggantung di lehernya.

Dia berjalan mendekati patung Bunda Maria, lalu memotret patung, yang dikabarkan pernah meneteskan air mata di pipi sebelah kanannya beberapa tahun silam, menggunakan iPhone yang baru saja dia keluarkan dari saku celana pendeknya yang berwarna gelap.

“Dari Indonesia?” tanyaku sok akrab.

Refleks, dia menarik pandangan dari layar iPhone-nya. “I…iya,” jawabnya dengan sedikit terbata. Kurasa dia sedikit terkejut.

“Sama!” sahutku sumringah, “Kinnara. Saya dari Jakarta,” lanjutku sambil mengulurkan tangan.

“Faris.” Dia menjabat tanganku dengan senyum sederhana tapi… menarik, meski masih sangat kalah tampan jika dibanding dengan mantan-mantanku.

Aku dan Faris terlibat obrolan panjang yang menurutku agak aneh di taman gereja neo-romantik yang dibangun dengan batu bata dan genteng asli Prancis ini. Bagaimana tidak? Aku tampak terlalu banyak bicara, sedangkan dia, bibirnya lebih banyak tersenyum ketimbang mengeluarkan kata-kata.

Oh, Tuhan… aku sudah berpengalaman berbasa-basi ketika berkenalan dengan banyak pria, tapi tak pernah sekaku ini.

Aku, Kinnara Dirinjani, usiaku sudah dua puluh lima tahun. Dengan fisik yang menurut orang-orang mendekati sempurna dan karier yang cemerlang di sebuah perusahaan besar milik negara tetangga, aku tak pernah kesulitan untuk mencuri hati laki-laki mana pun yang aku ingin. Laki-laki rupawan, bertubuh atletis, dan mempunyai penghasilan puluhan hingga ratusan juta rupiah tiap bulan. Tapi, dari sekian banyak laki-laki yang ingin mendapatkanku, tak ada satu pun yang membuatku bertahan lebih lama dari enam bulan. Ya, aku bosan! Mereka tampak sama saja.

vietnam
Sumber Gambar: tiramayamaisesamalino
“Kinnara sudah ke sana?” tanyanya sembari menunjuk sebuah bangunan dua lantai bergaya campuran Eropa dan Asia di seberang jalan dengan taburan jendela berkubah di sepanjang dindingnya.

Aku mengikuti arah pandangan Faris. “Mmm…, belum,” jawabku berbohong. Geez, untuk apa aku berbohong? Sudah hampir dua puluh empat jam aku berada di kota yang mendapat julukan Paris dari timur ini. Dan kantor pos yang dibangun oleh pendiri menara Eiffel itu sudah kudatangi dua jam yang lalu. Aku bahkan menghabiskan satu jam lebih di dalam gedung yang di atas pintu masuknya terdapat jam dinding dan tulisan “BUU DIEN” itu.

“Saya mau ke sana,” ujarnya datar, sembari tersenyum. Tak bisakah dia berbicara tanpa tersenyum? Senyumnya tak ada manis-manisnya sama sekali.

Apakah ini sebuah ajakan atau justru dia ingin cepat-cepat pergi dari hadapanku? Sial, kurasa selama ini tak satu pun lelaki yang tak betah berdekatan denganku.

“Kinnara masih mau di sini atau…?” tanyanya sambil memiringkan kepalanya ke kiri. Kenapa dia tidak langsung saja mengajakku pergi, seperti yang biasa dilakukan oleh para lelaki yang tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya meski baru hitungan menit berkenalan denganku?

Ada sesuatu yang aneh dalam pikiranku; bagaimana bisa aku yang selama ini sangat pemilih justru tak punya keinginan untuk angkat kaki dan melupakan pria ini.

“Saya boleh ikut?” Jesus Christ!!! Apa yang baru saja kuucapkan? Bagaimana kalau dia menolak? Biasanya aku pergi dengan para lelaki karena mereka yang mengajak, bukan dengan cara menawarkan diri seperti ini. Bahkan, aku juga tak jarang membuat beberapa pria kelas menengah terpaksa menelan ludah karena ajakannya untuk sekadar makan malam sengaja tak kugubris.

“Tentu saja,” sahutnya.

Kami meninggalkan patung Bunda Maria dan menuju ke arah Saigon Post Office. Kuamati setiap gerakannya. Tangan kanannya terus mencengkeram benda berwarna hitam dengan tulisan “NIKON”. Pandangannya tak henti menyapu bangunan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Faris memperhatikan semua yang ada di sekitarnya, kecuali aku!
 
Nyaris tak ada yang istimewa sampai akhirnya raut mukanya berubah ketika melihat seorang anak perempuan dengan baju lusuh dan rambut yang dikuncir ala kadarnya, berjalan sendirian. Bahkan Faris sempat memelankan langkahnya saat gadis kecil itu melintas tepat di hadapan kami. God, rupanya gadis dekil ini lebih menarik perhatiannya daripada aku yang jauh lebih menarik dan terawat.

“Kenapa?” tanyaku penasaran.

Tak ada jawaban. Pandangan Faris masih melekat pada tubuh mungil berbaju lusuh itu.

“Hei!”
senja
Sumber Gambar: www.billystovano.wordpress.com
  
“Eh… ya, gimana?” Mungkin Faris terlalu fokus atau memang suaraku yang tenggelam oleh suara kendaraan. Atau dia grogi berada sangat dekat dengan perempuan… yah, seperti aku? Tapi, sejak aku menyapanya di taman gereja tadi, gelagatnya biasa saja–selain ekspresi terkejut ketika kusapa dengan bahasa Indonesia.

Faris tidak seperti laki-laki lain yang biasanya enggan melepas pandangannya dariku. Oh, mungkin dia memang cowok baik-baik. Atau… jangan-jangan dia tidak suka perempuan?!

“Ada apa dengan anak itu?” ujarku sambil mengarahkan wajah ke gadis kecil yang mulai berjalan menjauh.

“Oh, nggak apa-apa.” Faris tersenyum lagi. Senyum yang tak mampu membuat wajahnya lebih tampan tapi penuh ketulusan. Ketulusan yang menurutku tak pernah ada di bibir manis bekas-bekas pacarku.

“Okay!” Aku tahu dia berbohong. Terserah dia. Aku juga tak terlalu ingin tahu.

“Gadis yang tadi… mungkin seumuran dengan adik perempuan saya. Maksud saya… saya nggak bisa bayangin kalau adik saya sendirian dan tak terurus seperti gadis itu.”

Heran. Beberapa laki-laki yang pernah bersamaku juga punya saudara perempuan, tapi mereka tak pernah mempedulikan hal sepele seperti itu. Bahkan salah satu di antara mereka lebih mementingkan berkencan denganku daripada menghadiri pesta ulang tahun saudara perempuannya. Pria ini semakin membuatku penasaran.

“Ehm, biasa jalan-jalan sendirian, ya?” Jangan bilang alasan dia ke sini untuk menghibur diri karena baru putus cinta juga. Ini akan jadi kebetulan yang sangat konyol menurutku. Sangat konyol!

“Nggak ada yang bisa diajak. Saya lagi off minggu ini. Ada waktu kosong, tiba-tiba langsung kepikiran ke sini.”

“Oh! Nggg… istri atau pacarnya mungkin?” Hey, kurasa aku tak perlu bertanya tentang ini.

“Pacar? Untuk saat ini, siapa yang mau sama saya. Kerjaan saya padat sekali,” ujarnya sambil membidik bangunan peninggalan Prancis di hadapan kami. “Nantilah, gampang. Kalau ketemu yang cocok, mau langsung saya ajak nikah.”  Faris mengucapkannya seolah tanpa beban.

Nikah? Kata ini tak pernah kudengar dari beberapa lelaki yang pernah menjadi kekasihku, bahkan tidak dari lelaki yang mengaku mencintaiku setengah mati.

“Kinnara.”

“Ya?”

“Sudah hampir gelap. Ayo pergi. Aku khawatir kamu kedinginan dengan baju seperti itu.” Faris menatap tank top tipis dan celana pendekku sekilas.

Deg!!!

Matahari kian turun. Lampu-lampu penerang jalan mulai menyala. Faris membenarkan letak kamera lalu mengalihkan perhatian ke layar iPhone-nya. Dia bahkan tak menyadari jika seorang Kinnara Dirinjani sudah dibuatnya tertegun dan terjatuh bersama pikiran-pikirannya sendiri.

Baju seperti ini?

Apa yang sebenarnya aku cari selama ini? Apakah seabrek pujian dari mereka yang selalu kagum dengan kesempurnaan fisikku? Perhatian-perhatian palsu dari laki-laki yang tak menolak untuk membiayai perawatan tubuhku agar aku selalu tampak menarik?

Pertemuan dengan seseorang yang ciri-cirinya tak pernah kuminta kepada Tuhan ini justru menyadarkanku bahwa ada hal lain yang sangat aku butuhkan.



Biodata Cerpenis

*Avifah Ve
, lahir di Serambi Madinah, Garujugan. Cewek Madridista bohay seksi (katanya sih) ini telah menulis buku dan sejumlah cerpen. Ia juga tipe cewek yang suka traveling dan telah berkunjung ke beberapa negara di Asia. Cerpen ini merupakan cerpen yang ia persembahkan buat seseorang. Kini, Ve tinggal di Yogyakarta.


Artikel Terkait:

1 comments :