Home » » Luka Tak Berdarah

Luka Tak Berdarah

Diposkan oleh damar pada Sunday, May 24, 2015 | 9:45 AM

perahu
Sumber Gambar: pixabay.com
Cerpen: Ahmad Bayhaki*

Menurutmu, siapa yang paling layak disegani di suatu kampung?

Bila kamu menganggap mereka adalah kiai, guru mengaji, tetua kampung atau orang-orang kaya, maka kamu bisa saja benar, tetapi bisa juga salah. Sebab, apa yang kamu anggap itu, sama sekali tidak berlaku di kampung pesisir Legung.

Orang-orang Legung, lebih segan kepada seseorang yang tinggi jenjang pendidikannya, ketimbang pada mereka-mereka itu. Mereka menyandarkan hidupnya pada laut dengan menjadi nelayan, namun tak ada satu orang tua pun yang ingin anaknya menjadi nelayan di kemudian hari. Kamu boleh percaya atau tidak. Dan jika kamu belum percaya, dengarlah cerita ini.

Lelaki yang tengah mengecat lambung perahu itu, baru beberapa bulan lalu lulus SMA. Tohari namanya. Kulitnya yang berkeringat, tampak mengkilap diterpa sinar mentari pagi yang masih hangat dan warnanya kuning kemerahan. Rambutnya yang sedikit bergelombang bergerak-gerak ditiup angin pantai.

Di rumah kecil mirip gubuk yang berdiri di tepi pantai itu, Tohari tinggal berdua dengan sang kakek. Rumah yang dibangun menghadap ke laut itu, berdinding gedek dan beratap anyaman daun kelapa kering. Ia masih duduk di bangku kelas lima SD ketika ibu dan bapaknya berangkat ke Malaysia untuk menjadi TKI. Sampai hari ini, belum pernah sekali pun mereka pulang kampung.

Di Legung, siapa tak kenal Tohari? Orang-orang tahu ia pemuda pintar dan cerdas. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar sampai SMA, ia selalu juara kelas. Ia bahkan terpilih menjadi ketua OSIS ketika SMP dan SMA. Hal itu, membuat peluangnya diterima di kampus-kampus ternama melalui jalur beasiswa setelah lulus, menjadi sangat terbuka. Kata salah seorang guru, nilainya yang di atas rata-rata, sudah sangat memenuhi syarat untuk diterima. Apalagi ditambah torehan prestasi yang pernah diraihnya.
perahu
Sumber Gambar: www.yayuanart.com

Akan tetapi, Tohari tidak mau melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi, sebagaimana pemuda-pemuda Legung lainnya. Apa yang menjadi pilihannya begitu lulus, adalah menjadi nelayan.
Entah bagaimana mulanya, kabar itu seketika menyebar layaknya wabah penyakit ke telinga orang-orang Legung, terutama di kalangan ibu-ibu. Meski belum diketahui secara pasti apa penyebabnya, mereka sudah menduga-duga bahwa Tohari tidak kuliah karena alasan ini dan itu.

“Eh, eh. Menurutmu, kenapa si Tohari tidak kuliah?”

“Lha, mana aku tahu?”

“Sayang sekali, ya. Padahal, dia itu sudah ditawari beasiswa sama gurunya.”

“Ah, yang benar? Memangnya kamu tahu dari mana?”

“Ya…, aku dengar dari orang-orang.”

“Ah, kalau si Tohari memang benar-benar pintar, dia pasti sudah ambil beasiswa kuliah itu, bukan malah jadi nelayan.”

“Iya juga, ya. Waduh, jangan-jangan ada yang tidak beres!”

“Maksudnya?”

“Ya…, bisa saja dia menggunakan cara-cara licik supaya dapat juara kelas dan dianggap pintar sama orang sekampung.”

“Cara licik bagaimana? Maksud kamu menyontek?”

“Ya…, begitulah.”
Perahu
Sumber Gambar: pandjipainting

Desas-desus tentang Tohari, menjadi bahan omongan paling menarik bagi ibu-ibu di Legung. Awalnya mereka memang hanya sebatas menduga-duga penyebab Tohari tidak mau kuliah. Tapi lama-kelamaan, mulailah mereka membanding-bandingkan sang juara kelas itu dengan anaknya masing-masing. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang merasa beruntung anaknya tidak juara kelas. Barangkali, bagi mereka, lebih baik tidak juara kelas, tapi jujur, daripada juara kelas, tapi licik.

Semula Tohari tidak tahu bahwa dirinya tengah menjadi buah bibir. Namun, ia mulai merasa ada yang tidak beres ketika orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan, menampakkan sikap yang tidak seperti biasanya. Ya, mereka tak acuh dan seolah tak sudi untuk sekadar bertegur sapa dengannya.
Meski demikian, tampaknya Tohari tidak mau terlalu memikirkan hal itu. Kala petang menjelang, ia tetap berangkat melaut seperti biasa, bersama kakek dan pamannya.

***

Pada suatu Ramadhan yang meriah, para pemuda Legung yang kuliah di kota-kota rantau, pulang satu-satu. Kampung pesisir itu pun riuh oleh segudang cerita yang mereka bawa dari tanah rantau.

Bila orang-orang begitu segan dan menganggap para pemuda itu sudah sukses karena kuliah di kota-kota jauh, Tohari tidak. Ia yang waktu itu masih kelas dua SMA, justru tampak kecewa menyaksikan tingkah laku mereka yang banyak mengalami perubahan.

Entah apa alasannya, para pemuda itu tidak pernah lagi salat Tarawih berjamaah di mushala kampung seperti dulu. Jangankan salat Tarawih, berpuasa pun sepertinya tak lagi mereka tunaikan. Tohari menyaksikan sendiri bagaimana setiap siang pemuda-pemuda itu mendatangi rumah Sumina. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk membeli nasi kuning dan menyantapnya secara sembunyi-sembunyi di dalam rumah janda muda itu.

Tapi itu belum seberapa. Tohari masih ingat betul bagaimana dulu, sebelum merantau, para pemuda sering ke pantai untuk jalan-jalan santai; bermain sepak bola ketika air laut surut; berburu belalang di reranting cemara udang yang banyak tumbuh di sepanjang pantai; pula berenang di tepi laut untuk berburu lokan sekaligus memancing ikan. Tak peduli sore atau pagi. Namun, sekembali dari tanah rantau, mereka benar-benar berubah layaknya air jernih kejatuhan tahi. Mereka seolah lupa pada pantai dan laut yang membesarkan mereka. Sepanjang hari, pantai sepi. Lengang tak terperi.

Tohari kemudian teringat akan ucapan kakeknya pada suatu siang. Kala itu, mereka duduk berdua di sebuah dangau sederhana yang dibangun di pinggir pantai. Mendung menggelayut meredupkan wajah siang. Angin bertiup lebih kencang. Ombak pun beriak lebih ganas. Laut bersih. Tak ada satu pun perahu mengapung di permukaannya. Di musim penghujan, perahu-perahu memang selalu dikandaskan ke tepi pantai.
Perahu
Sumber Gambar: www.ranahberita.com

“Kau tahu, Ri,” ucap sang kakek, “Bila laut adalah tubuh yang terbaring, maka kamu tidak perlu menebasnya dengan senjata untuk menorehkannya sesayat luka.”

“Maksud kakek?” tanya Tohari dengan raut bingung.

“Pendamlah sedalam mungkin rasa cintamu pada laut, lupakanlah dia, lalu tunggulah barang sejenak. Sesayat luka itu niscaya akan muncul, meneteskan darah satu-satu. Darah itu akan mengalir. Bau amisnya akan tercium. Merah kehitaman warnanya akan tampak. Tapi tak seorang pun dapat mengindranya.”

Pekik camar terdengar di kejauhan. Burung laut berbulu putih keabu-abuan itu seolah mengamini apa yang lelaki tua itu katakan.

Tohari manggut-manggut. Entah ia sudah paham atau belum maksud perkataan sang kakek.

***

Di ufuk timur, matahari telah menanjak cukup tinggi ketika Tohari menyelesaikan pekerjaannya. Lambung perahu yang catnya semula mengelupas, kini mulus. Setelah merapikan peralatan yang digunakan, ia melangkah ke arah barat menyusuri pantai yang putih pasirnya.

Di tengah perjalanan pulang, dilihatnya seorang gadis tengah berjalan menyusuri bibir pantai. Gadis yang tampak sebaya dengannya itu, memakai kerudung. Kuning warnanya. Dengan langkah pelan diiringi sedikit kesangsian, ia dekati gadis itu. Seiring terpangkasnya jarak, sebuah nama seketika terpatri di kepalanya.

“Muna,” ujar Tohari.

Gadis yang semula membelakanginya itu, berbalik. Raut wajahnya menyiratkan sedikit keterkejutan. “Eh, Tohari! Apa kabar?”

Tak seketika dijawabnya pertanyaan itu. Tubuhnya terpana. Bibirnya kelu dan beku. Ia bagai tertikam mantra sihir yang memancar dari sepasang mata bak Kejora itu. Tapi itu tak lama, sebab setelah itu ia menjawab. “Eh…, baik, Na.”

Keduanya, setelah saling bertukar kabar, meneruskan langkah ke arah barat. Beriringan. Sepanjang perjalanan, banyak hal mereka perbincangkan. Sampai kemudian tahulah Tohari bahwa Muna, teman sekelasnya sewaktu SD dan SMP itu, meneruskan SMA-nya di salah satu pondok pesantren ternama di Probolinggo.

“Sekarang, kamu kuliah?” tanya Tohari.

Muna menggangguk pelan seraya tersenyum. Tampak sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis sekali.

“Oh, ya? Di mana?”

“Di Jombang.”

“Kalau boleh aku tebak, kamu pasti ambil Jurusan Manajemen.”

Gadis itu menggeleng.

“Ekonomi?”

Gadis itu kembali menggeleng.

“Bahasa Inggris?”

“Salah. Yang benar, Jurusan Kedokteran.”

“Oh, kedokteran,” gumam Tohari. Kepalanya manggut manggut.

“Kamu sendiri, kuliah?”

Sekarang giliran Tohari menggeleng. Raut wajahnya menyiratkan sesuatu yang berat.

“Lho, memangnya kenapa?”

“Ah, sudahlah. Tak perlu dibahas.”
Perahu
Sumber Gambar:chris13jkt

Semenjak itu, Tohari kerap bertemu Muna di pantai. Kadang pagi, kadang pula sore hari. Selalu ada perbincangan hangat yang mewarnai kebersamaan mereka. Adakalanya tentang momen-momen lucu yang pernah mereka lewati semasa kecil; kadang juga tentang beberapa teman sekelas mereka yang sekarang sudah berkeluarga. Namun, apa yang paling senang Tohari dengar ialah kisah hidup Muna, sebelum dan semasa kuliah. Hingga akhirnya, ia pun tahu bahwa masa liburan kampus Muna adalah dua bulan. Masa liburan itu, menurut Muna, akan dihabiskan di Legung.

Di saat-saat istimewa, waktu terkadang berlalu lebih cepat dari biasanya. Kecepatan rotasi bumi pun seolah berlipat ganda. Tampaknya itu yang Tohari rasakan ketika sedang bersama Muna.

Kala tiba malam hari, di mana terkadang air laut tampak berkilau diterpa sinar bulan, ia kerap datang ke pantai. Di bibirnya terkulum senyuman. Tatapannya kosong. Entah apa yang sedang menghuni pikirannya. Ia mengambil sejumlah batu dan melemparnya ke muka laut satu-satu. Setelahnya, dengan sebuah ranting, ia tuliskan sebuah nama di atas pasir: Muna.

***

“Muna? Anaknya Haji Jamil itu?” tanya kakek Tohari. Lelaki tua itu tampak terkejut mendengar ucapan sang cucu, yang tiba-tiba memintanya untuk meminangkan Muna untuk dijadikannya tunangan.

“Iya, Kek,” Tohari mengiakan.

“Waduh, berat itu, Ri. Kakek tidak yakin Haji Jamil akan menerima lamaran ini.”

“Lho, memangnya kenapa, Kek? Aku yakin si Muna mau.”

“Masalahnya bukan itu.”

Tapi begitulah, karena sang cucu terus memaksa dan memintanya untuk tak menyerah sebelum mencoba, sang kakek pun mengalah. Akan tetapi, ia meminta Tohari untuk berlapang dada bila nanti harapannya harus pupus.

Malam itu juga, sang kakek bersiap-siap mendatangi rumah Haji Jamil. Dikenakannya secarik sarung motif kotak-kotak dan kemeja yang warna putihnya sudah agak mengusam. Tak ketinggalan pula dipakainya peci hitam di kepala. Begitu semua siap, ia berangkat ke rumah Haji Jamil bersama Haji Munawar, keponakannya yang tinggal di kampung sebelah.

Di rumah, Tohari menunggu harap-harap cemas. Perputaran waktu serasa melambat. Satu jam berlalu. Sang kakek pulang. Wajahnya tampak kuyu.

“Bagaimana, Kek?”

“Ditolak, Ri.”

“Hah…! Kenapa?”

“Kata Haji Jamil, si Muna masih harus menyelesaikan kuliahnya.”

“Haji Jamil bilang begitu?”

“Ya, cuma itu.”

Tohari melangkah ke arah pintu. Tak ada raut kecewa di wajahnya. Ia berdiri di ambang pintu, memendang laut kelam, lalu bergumam. “Kalau cuma itu alasannya, berarti aku masih bisa meminang Muna setelah lulus kuliah nanti.”

Beberapa hari kemudian, di suatu sore yang ramah, orang-orang Legung berduyun-duyun menuju pantai. Menurut selentingan yang beredar, hari itu akan ada pangantan jharan1. Kabarnya, setelah menolak lamaran kakek Tohari beberapa hari yang lalu, Haji Jamil justru menerima lamaran seorang juragan perahu dari kampung sebelah, yang anaknya kuliah di Jogja.

Awan-awan tipis menggantung di langit. Laut tenang. Angin mendesau. Sesekali menerbangkan pasir. Lengking saronen2 terdengar dari arah timur. Orang-orang segera berbaris di pantai. Wajah-wajah itu tampak tak sabar menanti iring-iringan pangantan jharan segera melintas. Dalam iring-iringan itu, ada dua ekor kuda yang masing-masing ditunggangi Muna dan tunangannya. Keduanya dirias dan berbusana bak pengantin.

Di kejauhan, di lantai sebuah perahu yang dikandaskan di tepi pantai, Tohari berdiri menyaksikan iring-iringan. Pandang matanya tertuju pada gadis yang tengah menunggang kuda itu. Ia lalu tersenyum. Meski getir, senyum itu seolah menyiratkan bahwa ia berharap di dalam hati Muna, ada namanya.***

Kutub, 2015


Catatan:
1. Pangantan Jharan: dalam Bahasa Indonesia berarti ‘Pengantin Berkuda’. Pangantan Jharan merupakan salah satu tradisi Madura, yang masih terpelihara sampai sekarang. Diadakan dalam rangka memeriahkan pesta pernikahan, pertunangan, dll.
2. Saronen: alat musik tiup khas Madura. Berbentuk seperti terompet.


Biodata Cerpenis

Ahmad Bayhaki, Mahasiswa Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagian cerita pendeknya telah dimuat di sejumlah media massa lokal dan nasional. Aktif di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta dan #KampusFiksi Yogyakarta. Kini tinggal di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'arie Yogyakarta. 








Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment