Home » » Facebook dan Jati Diri Penulis

Facebook dan Jati Diri Penulis

Diposkan oleh damar pada Saturday, May 23, 2015 | 6:15 PM

facebook
Sumber Gambar: www.artisoo.com
Oleh : Abdul Waid

Bagi orang yang hobi dengan pencitraan, facebook adalah ruang yang paling tepat untuk berlaku narsis. Bagi orang yang suka curhat secara terbuka, facebook dianggap sebagai sarana untuk mengumbar kegalauan, stres, bahkan masalah pribadi yang tergolong ekstrem. Dalam hal ini, saya pernah membaca sebuah status yang berbunyi begini: sudah, cukup sampai di sini aku bersamamu. Sekarang aku remove namamu, di sini dan di dunia nyata.

Lain halnya bagi orang senang berbuat culas, facebook bisa menjadi media untuk menipu, memeras, memfitnah, bahkan menjajakan diri dengan harga murah. Di benak kalangan pebisnis, facebbok adalah alat untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan bagi orang kebanyakan, facebook tidak lebih dari sekadar jejaring pertemanan.

Tetapi, bagi penulis “sejati”,—kata sejati sengaja penulis tulis dalam tanda kutip karena tidak semua penulis bisa disebut sejati—facebook adalah tempat menulis, berkarya, menumpahkan imajinasi yang berkecamuk dalam lorong pikiran.

Salah satu sosok penulis sejati yang bisa disebut di sini adalah Ahmad Muchlish Amrin. Cerpenis, penyair, dan esais yang menetap di Yogyakarta ini benar-benar menabalkan facebook sebagai jagad yang bisa menampung ide-ide cemerlangnya. Entah sudah berapa banyak goresan penanya yang serius, renyah, menohok, kaya data dan analisis, diunduh ke facebook dan dibaca banyak orang.

penulis
Sumber Gambar: andro-it17
Diantaranya, Hijab, Puisi, dan Kitab Suci (2014), Matahari Perdamaian dari New Delhi (2014), Kucing (2014), Sajak Kepada Istriku (2014), Banjir dalam Mitologi Dunia (2014), Perisai Ketiga (2014), Colosium Abu Vulkanik (2014), “Traveler” Imajinasi dari Kota Nantes (2014), Dua Bintang dari Rosario (2014), Imre Kertesz (2012), Rakyat (2012), Lemah itu (Bukan) Limbah (2012), Kisah Nyata Mengetuk Hati (2011), Sajak Bulu-Bulu (2011), dan masih banyak karya lain yang nongkrong di facebook-nya.

Suatu hari saya pernah bertanya langsung kepada Muchlish, “mengapa Anda tidak mengirimkan karya Anda ke koran saja?” Itu karya ciamik, loh!”. Dengan nada seloroh dia menjawab, “saya malu padamu jika mengirim tulisan ke koran. Saya menulis di facebook untuk tidak membunuh peran saya sebagai penulis. Dan, saya mengirim tulisan ke koran untuk sekadar memberi kabar pada redaktur bahwa saya masih “ada”.
Memang tidak sedikit tulisannya yang dimuat di media massa seperti Kompas, Media Indonesia, Tempo, Kedaulatan Rakyat, dan lain-lain. Terakhir ia menulis esai di koran ini berjudul Djamiah dan Mausoleum (Jawa Pos, 22-02-2015). Beberapa bukunya juga telah tersebar di pasaran.

Tetapi, saat tulisannya tidak muncul di media massa, ia masih setia pada profesinya dengan cara menulis di facebook. Takjubnya lagi, tulisan-tulisannya yang diupload di facebook bukanlah karya picisan. Karya itu benar-benar keluar dari rahim penalaran yang tinggi, telaah yang sangat dalam, dan kekuatan imajinasi yang handal—sekalipun facebook sama sekali tidak memberinya honor.

facebook
Sumber Gambar: www.theguardian.com
Kebiasaan Muchlish ini mematahkan anggapan kebanyakan orang bahwa penulis adalah ia yang hanya berhasil meloloskan karyanya di media massa seperti koran dan majalah, atau ia yang berhasil menerbitkan buku. Selama tidak ada buku yang terbit atau pun karya yang dimuat di media massa, seseorang belum bisa disebut penulis.

Orang acap kali minder mengatakan: “saya penulis di facebook”. Berbeda halnya ketika ia memiliki sejumlah karya yang diterbitkan. Dengan sangat percaya diri akan mengatakan: “saya penulis di penerbit A dan koran/majalah B”.

Padahal, secara substansial, tulisan yang dimuat di media massa, baik koran maupu pun majalah, termasuk juga dalam bentuk buku, sama sekali tidak berbeda dengan tulisan yang diupload di facebook. Sebab, hal utama yang membuat orang bisa diakui eksistensinya dalam dunia leterasi bukanlah media yang menampung tulisannya, tetapi aktivitas menulis itu sendiri.

virtual
Sumber Gambar: www.pulsk.com
Berel Lang mengatakan dalam Philosophy And The Art of Writing (1983), “penulis adalah orang yang mau menulis. Mengekspresikan gagasannya melalui untaian kata”. Berel sama sekali tidak mengatakan bahwa penulis adalah yang memiliki karya dan dimuat di media massa.

Bahkan Berel pun bercerita bahwa selama 10 tahun ia hanya menulis di secarik kertas hariannya dan sama sekali tak pernah satu pun dimuat oleh media massa. Baru setelah 10 tahun kemudian ia menerbitkan buku dan tulisannya baru diterima media massa.

Cerita tentang Ahmad Muchlish Amrin dan Berel Lang sejatinya memberikan pelajaran bahwa profesi penulis tidaklah mengenal ruang dan waktu. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak menulis, sekalipun tulisannya ditolak oleh media massa atau pun penerbit. Oleh karena itu, apa pun kondisinya, bagaimana pun situasinya, tetaplah menjadi penulis. Dan, menulislah!


*) Abdul Waid, Bergiat di Penerbit Diva Press Yogyakarta, Dosen Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen.


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment