Oleh : Sofyan RH. Zaid
"Sajak adalah suara dari bawah sadar." Subagio Sastrowardoyo
Barangkali hampir semua penyair di zamannya pernah menulis sajak tentang kematian. Kematian seakan menjadi tema yang tidak pernah kering. Bahkan Sartre yang menganggap seni sebagai renungan kehidupan, bukan kematian, juga pernah menulis tentang kematian. Di tangan penyair, kematian yang menakutkan, menjadi begitu romantis; tidak ada yang merindukanmu setulus kematian. Dalam karya sastra, kematian menjadi tema, kadang juga menjadi sebuah ramalan kematian penyairnya sendiri. (Baca juga: Selamat Menempuh Kesunyian Puisimu, Arkitan)
Hartojo pernah menulis Maut di Mata Tiga Penyair (1971). Di mata Marsman, maut adalah sesuatu yang individual. Sesuatu yang dia takutkan, karena maut baginya adalah "penikam dari belakang". Begitulah dia menulis maut dalam sajak-sajaknya, seperti Ontmoeting in Het Donker (Perjumpaan dalam Gelap).
Lain lagi di mata Slauerhoff, maut bukan masalah individual, melainkan masalah sosial. Sebuah ancaman bagi kosmos yang datang dengan beragam bencana, seperti gempa, badai dan kapal tenggelam. Demikianlah maut gentayangan dalam sajak-sajak-sajaknya, semisal De Zee (Lautan).
Sementara di mata Chairil, maut menjadi suatu kesadaran sekaligus perasaan akan datangnya. Berbeda dengan Marsman, Chairil menjadikan maut sebagai alasan untuk menikmati hidup ‘sepuas’ mungkin. Jadi, maut bukan sesuatu yang perlu ditakuti atau pun sebuah ancaman. Misalnya sajak Yang Terampas dan Yang Putus. Di mana Karet yang disebut dalam sajak tersebut, kemudian menjadi daerah pemakamannya.
Selain Chairil, Kriapur juga demikian. Bahkan dianggap meramalkan kematiannya sendiri lewat sajaknya yang berjudul Kupahat Mayatku di Air. Dan Kriapur akhirnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, tenggelam di dasar kali, sebagaimana larik-larik dalam sajaknya yang beku.
Bagaimana dengan Arkitan? Sembilan bulan yang lalu, dia seperti sudah mengabarkan kematiannya. Tepatnya Oktober 2014, Buletin Jejak FSB memuat tiga sajaknya dengan nama Tan Ka. Sajak-sajak yang sekaligus menunjukkan kematangan dan perkembangan proses kreatifnya yang mengagumkan semenjak dia kuliah jurusan Psikologi, UP’45 Jogjakarta (2013), setelah lulus dari Madrasah Miftahul Ulum, Batang-batang, Sumenep.
Sajak-sajaknya di Buletin Jejak begitu memukau dan aneh, berbeda dengan sajak-sajaknya sebelum itu. Secara hermeneutik, ada banyak frase dan larik, -bahkan seluruhnya- yang perlu digaris-bawahi. Misalnya meminjam “pemahaman” Habermas sebagai salah satu tokohnya, sajak Arkitan seperti penerapan proposisi-proposisi kematian ke dalam fakta yang terbentuk secara bebas dan perlahan, di mana perasaan dan pengertian bisa berpadu menjadi satu kenyataan.
Meski Habermas juga menyadari, tidak setiap fakta (misalnya sajak) bisa dipahami secara utuh. Sebab ada beberapa fakta yang memang tidak bisa dinterpretasi. Selalu ada makna yang melebihi kenyataan, khususnya untuk hal-hal yang berada di luar jangkauan pikiran.
Melalui sajak-sajaknya tersebut Arkitan seperti ‘meramal’ kematiannya sendiri jauh-jauh hari, walau tidak ada diksi yang tersurat sebagai idiom kematian, seperti kata kuburan, nisan, kenanga, kegegelapan dan sebagainya. Namun dari sisi metafora yang dipakai mengarah pada kematian: ketidakberdayaan, kelemahan, kepergian, kesunyian, penyerahan dan harapan akan keabadian, dengan pilihan kata yang plastis dalam makna tersirat.
Bagaimana pun kata merupakan suatu kesatuan dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional yang berkomposisi sekaligus bebas. Itulah kenapa menurut Keraf: tidak ada batasan kata dalam semua bahasa di dunia. Kalaupun kata bisa dipilih sebagai diksi dalam sajak, namun kata sebenarnya tidak bisa ditaklukkan sepenuhnya. Kata selalu punya kehendak bebas. Penyair hanya mampu mengendalikan pengertiannya saja berdasarkan maksud yang ingin disampaikan.
Berikut tiga sajak Arkitan, sajak yang menyimpan ‘gema’ -dalam istilah Sadra- dari suara yang jatuh dari langit, sebagai kabar sebelum menjadi realitas di bumi.
SEBUAH PAGI
Terdampar di sebuah pagi.
Laut tak segera surut
dan darat mulai karat.
Tak ada yang mesti pergi
atau kembali. Untuk memaknai
sebuah peristiwa
Berangkat dalam rahasia,
kembali dalam rahasia.
Sebab tak ada mimpi yang perlu diperjuangkan
habis-habisan. Menyesal berlebihan
tiap masa yang busuk kemarin.
Sebab kita cukup mampu
di semua selat bersatu
dengan yang kita cintai.
Madura, 2014
DI HUTAN KATA
Di hutan kata,
aku seekor burung
lupa pohon juga sarang.
Terbang
dari batas ke batas hutan. Mencari riang
hilang dalam sebuah kebebasan.
Jika pun aku harus tertembak
pada sebuah lelah
dengan ketapel anak-anak di pagi tua.
Tak setetes darah dan
sehelai bulu pun kubiar jatuh
tanpa kenangan.
Yogyakarta, 2014
BAKA
Waktu yang terbuang dari ruang
dan ruang yang terbuang dari waktu,
satu dalam diri
kita yang menunda penderitaan
kelelawar hitam terbang ke kelam
tak bakal tua dan binasa
Yogyakarta, 2014
Tentu Arkitan tidak sebanding dengan Marsman, Slauerhoff, Chairil dan Kriapur, namun lewat sajak-sajaknya dia telah menuliskan kematiannya sendiri secara indah dan romantis. Mungkin ini yang dimaksud Saini: “Seorang penyair menulis puisi bukan didorong oleh keinginan karena ia memiliki ide (gagasan), Seorang penyair menulis puisi karena dorongan yang kuat dalam dirinya yakni sebuah dorongan yang meski berulang-ulang ditolaknya, akhirnya menggerakan tangannya untuk menulis.” (Baca juga: Arkitan, Selamat Jalan)
Setelah berulang kali kembali dari pintu kematian, Arkitan akhirnya benar-benar pergi di usianya yang ke-23 tahun sebab penyakit TBC, tepat hari Selasa, 23 Juni 2015 dan hanya kurang sebulan dari tanggal undangan pesta pernikahannya yang sudah tersebar.
Ya, Arkitan yang pendiam itu memang sudah pergi, namun kenangan dan sajak-sajaknya akan tetap tinggal.
24 Juni 2015
"Sajak adalah suara dari bawah sadar." Subagio Sastrowardoyo
Barangkali hampir semua penyair di zamannya pernah menulis sajak tentang kematian. Kematian seakan menjadi tema yang tidak pernah kering. Bahkan Sartre yang menganggap seni sebagai renungan kehidupan, bukan kematian, juga pernah menulis tentang kematian. Di tangan penyair, kematian yang menakutkan, menjadi begitu romantis; tidak ada yang merindukanmu setulus kematian. Dalam karya sastra, kematian menjadi tema, kadang juga menjadi sebuah ramalan kematian penyairnya sendiri. (Baca juga: Selamat Menempuh Kesunyian Puisimu, Arkitan)
Hartojo pernah menulis Maut di Mata Tiga Penyair (1971). Di mata Marsman, maut adalah sesuatu yang individual. Sesuatu yang dia takutkan, karena maut baginya adalah "penikam dari belakang". Begitulah dia menulis maut dalam sajak-sajaknya, seperti Ontmoeting in Het Donker (Perjumpaan dalam Gelap).
Lain lagi di mata Slauerhoff, maut bukan masalah individual, melainkan masalah sosial. Sebuah ancaman bagi kosmos yang datang dengan beragam bencana, seperti gempa, badai dan kapal tenggelam. Demikianlah maut gentayangan dalam sajak-sajak-sajaknya, semisal De Zee (Lautan).
Sementara di mata Chairil, maut menjadi suatu kesadaran sekaligus perasaan akan datangnya. Berbeda dengan Marsman, Chairil menjadikan maut sebagai alasan untuk menikmati hidup ‘sepuas’ mungkin. Jadi, maut bukan sesuatu yang perlu ditakuti atau pun sebuah ancaman. Misalnya sajak Yang Terampas dan Yang Putus. Di mana Karet yang disebut dalam sajak tersebut, kemudian menjadi daerah pemakamannya.
Selain Chairil, Kriapur juga demikian. Bahkan dianggap meramalkan kematiannya sendiri lewat sajaknya yang berjudul Kupahat Mayatku di Air. Dan Kriapur akhirnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, tenggelam di dasar kali, sebagaimana larik-larik dalam sajaknya yang beku.
Bagaimana dengan Arkitan? Sembilan bulan yang lalu, dia seperti sudah mengabarkan kematiannya. Tepatnya Oktober 2014, Buletin Jejak FSB memuat tiga sajaknya dengan nama Tan Ka. Sajak-sajak yang sekaligus menunjukkan kematangan dan perkembangan proses kreatifnya yang mengagumkan semenjak dia kuliah jurusan Psikologi, UP’45 Jogjakarta (2013), setelah lulus dari Madrasah Miftahul Ulum, Batang-batang, Sumenep.
Sajak-sajaknya di Buletin Jejak begitu memukau dan aneh, berbeda dengan sajak-sajaknya sebelum itu. Secara hermeneutik, ada banyak frase dan larik, -bahkan seluruhnya- yang perlu digaris-bawahi. Misalnya meminjam “pemahaman” Habermas sebagai salah satu tokohnya, sajak Arkitan seperti penerapan proposisi-proposisi kematian ke dalam fakta yang terbentuk secara bebas dan perlahan, di mana perasaan dan pengertian bisa berpadu menjadi satu kenyataan.
Meski Habermas juga menyadari, tidak setiap fakta (misalnya sajak) bisa dipahami secara utuh. Sebab ada beberapa fakta yang memang tidak bisa dinterpretasi. Selalu ada makna yang melebihi kenyataan, khususnya untuk hal-hal yang berada di luar jangkauan pikiran.
Melalui sajak-sajaknya tersebut Arkitan seperti ‘meramal’ kematiannya sendiri jauh-jauh hari, walau tidak ada diksi yang tersurat sebagai idiom kematian, seperti kata kuburan, nisan, kenanga, kegegelapan dan sebagainya. Namun dari sisi metafora yang dipakai mengarah pada kematian: ketidakberdayaan, kelemahan, kepergian, kesunyian, penyerahan dan harapan akan keabadian, dengan pilihan kata yang plastis dalam makna tersirat.
Bagaimana pun kata merupakan suatu kesatuan dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional yang berkomposisi sekaligus bebas. Itulah kenapa menurut Keraf: tidak ada batasan kata dalam semua bahasa di dunia. Kalaupun kata bisa dipilih sebagai diksi dalam sajak, namun kata sebenarnya tidak bisa ditaklukkan sepenuhnya. Kata selalu punya kehendak bebas. Penyair hanya mampu mengendalikan pengertiannya saja berdasarkan maksud yang ingin disampaikan.
Berikut tiga sajak Arkitan, sajak yang menyimpan ‘gema’ -dalam istilah Sadra- dari suara yang jatuh dari langit, sebagai kabar sebelum menjadi realitas di bumi.
SEBUAH PAGI
Terdampar di sebuah pagi.
Laut tak segera surut
dan darat mulai karat.
Tak ada yang mesti pergi
atau kembali. Untuk memaknai
sebuah peristiwa
Berangkat dalam rahasia,
kembali dalam rahasia.
Sebab tak ada mimpi yang perlu diperjuangkan
habis-habisan. Menyesal berlebihan
tiap masa yang busuk kemarin.
Sebab kita cukup mampu
di semua selat bersatu
dengan yang kita cintai.
Madura, 2014
DI HUTAN KATA
Di hutan kata,
aku seekor burung
lupa pohon juga sarang.
Terbang
dari batas ke batas hutan. Mencari riang
hilang dalam sebuah kebebasan.
Jika pun aku harus tertembak
pada sebuah lelah
dengan ketapel anak-anak di pagi tua.
Tak setetes darah dan
sehelai bulu pun kubiar jatuh
tanpa kenangan.
Yogyakarta, 2014
BAKA
Waktu yang terbuang dari ruang
dan ruang yang terbuang dari waktu,
satu dalam diri
kita yang menunda penderitaan
kelelawar hitam terbang ke kelam
tak bakal tua dan binasa
Yogyakarta, 2014
Tentu Arkitan tidak sebanding dengan Marsman, Slauerhoff, Chairil dan Kriapur, namun lewat sajak-sajaknya dia telah menuliskan kematiannya sendiri secara indah dan romantis. Mungkin ini yang dimaksud Saini: “Seorang penyair menulis puisi bukan didorong oleh keinginan karena ia memiliki ide (gagasan), Seorang penyair menulis puisi karena dorongan yang kuat dalam dirinya yakni sebuah dorongan yang meski berulang-ulang ditolaknya, akhirnya menggerakan tangannya untuk menulis.” (Baca juga: Arkitan, Selamat Jalan)
Setelah berulang kali kembali dari pintu kematian, Arkitan akhirnya benar-benar pergi di usianya yang ke-23 tahun sebab penyakit TBC, tepat hari Selasa, 23 Juni 2015 dan hanya kurang sebulan dari tanggal undangan pesta pernikahannya yang sudah tersebar.
Ya, Arkitan yang pendiam itu memang sudah pergi, namun kenangan dan sajak-sajaknya akan tetap tinggal.
24 Juni 2015
0 comments :
Post a Comment