Oleh: Muhammad Muhibbuddin
Jika ada orang masih memandang bahwa filsafat itu barang mewah dan hanya diperdebatkan di ruang-ruang kuliah, maka pandangan orang seperti itu jelas sudah out of date. Begitu juga ketika ada orang yang memandang teori-teori filsafat hanya menyoroti masalah-masalah besar yang njlimet, rumit, muter-muter, dan sepintas nampak membingungkan, atau bahkan “menyebalkan”, maka pandangan seperti itu kayaknya tidak sepenuhnya benar.
Gak percaya?. Lihat saja fenomena sederhana di sebuah angkringan, di kawasan Krapyak ini. Di malam Minggu (2/ 5/2015), pukul 00.00 WIB, tiga anak muda sedang berbincang-bincang serius tapi santai, dan santai tapi serius, di sebuah lepekan angkringan. Dengan ditemani rokok, kopi dan beberapa makanan tradisional, seperti gorengan, lumpia, sate siput, sate bakso dll, mereka nampak asyik bercerita soal filsafat.
Awalnya mereka tidak secara sengaja membincang filsafat, melainkan membincang persoalan yang sangat remeh dan biasa saja: cinta. Tapi kemudian tema itu merembet ke ranah filsafat. Salah satu dari mereka, sebut saja X, mempunyai masalah klasik: jatuh cinta pada seorang cewek, sebut saja V. Tapi anehnya X tidak mempunyai keberanian sedikitpun untuk mengungkapkan cintanya itu kepada V. Inilah masalahnya. Sederhana kannn???.. Tapi, masalah sepele ini benar-benar menguras energi si X. Setiap saat dirinya tidak mampu menahan amukan api cinta yang melalap jiwanya itu. Akhirnya ketika di angkringan Krapyak tersebut dia pun curhat kepada dua temannya, yang juga masih sama-sama jomblo, sebut saja Y dan Z.
Begitu besar cinta X terhadap V. Saking besarnya----sebagaimana yang diceritakan sendiri kepada Y dan Z----- dia sampai tidak bisa tidur, dan nafsu makannya turun drastis. Akhirnya belakangan badannya nampak kuruuuusss. Masih beruntung, di dalam pikirannya tidak terlintas niat buruk untuk kendat.
Setiap hari, kerja X hanya ngerokok dan melamun sambil minum kopi hitam pahit, seperti yang dia lakukan pada malam Jum’at itu. Begitu saja kerjanya. Tak ada yang lain. Sebab, ketika dirinya hendak melakukan sesuatu, misalnya membaca buku, maka yang terbayang lagi-lagi adalah wajah si V, sehingga konsentrasinya melayang jauh ke arah V, bukan pada isi buku itu. Kok bisa begitu ya?. Entahlah.!
“Benar-benar kalap aku”, begitulah keluh X kepada dua temannnya di malam yang mulai memasuki pagi itu .
Persoalan yang kemudian disodorkan oleh X kepada dua temannya itu adalah: Apakah, perasaan cinta yang begitu bergemuruh di dalam hatinya itu berpengaruh kepada V?. Apakah gejolak cinta yang meledak-ledak di dalam jiwanya itu mempunyai daya resonansi alias nyetrum dengan jiwa si V.?. Ketika X mempunyai rasa cinta yang begitu dahsyat terhadap V, apakah perasaan yang sama juga dialami V terhadap X?. Ketika X merindukan V dengan begitu dahsyatnya, pada saat yang sama, apakah V juga merindukan X?. Ataukah perasaan dan gejolak cinta itu hanya ada di dalam hati X saja dan sama sekali tidak nyetrum terhadap si V?. Persoalan inilah yang kemudian menyeret perbincangan mereka ke alam filsafat.
“Tidak”! jawab Z. “ Perasaanmu itu tidak akan berdampak apa-apa terhadap V, kecuali kalau kau ungkapkan kepadanya”, lanjutnya.
“Apa alasanmu Z, kok kau bisa sampai pada kesimpulan seperti itu?”, sergah Y yang sejak tadi asyik memenuhi mulutnya dengan gorengan.
“ Bisa jadi toh Z, V juga terpengaruh oleh getaran perasaan X.... Dalam perspektif fenomenologi dijelaskan bahwa keberadaan obyek itu sangat tergantung dengan kesadaran subyek. Subyek dan obyek, dunia perasaan dengan dunia material, saling berdialog dan berhubungan. Dari sinilah kemudian, bisa jadi, perasaan X dengan keberadaan V, sangat terkait dan saling nyetrum,” lanjut Y.
“Tapi kenyataannya, V tetap biasa-biasa saja Y...dia kayaknya tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapku...perasaanku nampak tidak nyetrum ke perasaannya. Sebab, sejak pertama aku jatuh cinta kepada V, sampai detik ini, di mana aku selalu merindukannya, nampak tidak ada perubahan sikap apa-apa di dalam dirinya”, X menimpali. “Meski hatiku bergemuruh begitu dahsyat, V tetap cuek-cuek saja.....meski aku tidak enak makan, V tetap saja enak makan”, tambah X.
“Aku berbeda denganmu Y”, jawab Z, yang sejak tadi ingin meneruskan obrolannya.
“Bagiku, masalah jatuh cintanya X terhadap V ini tidak bisa dipahami lewat fenomenologi”, kata Z selanjutnya.
“ Lalu, kau pahami lewat apa”?, tanya Y sambil mengarahkan pandangannya pada Z.
“Kasusnya X terhadap V ini lebih tepat dipahami lewat perspektif realisme”, kata Z.
“Dalam realisme ditegaskan bahwa yang namanya realitas itu independen...keberadaannya tidak bergantung pada pengetahuan, pikiran atau perasaan subyek...keberadaan V akan tetap seperti itu, tidak akan terpengaruh sedikitpun oleh perasaan atau pikiran X yang bergemuruh itu.....Kecuali kalau perasaan itu diungkapkan, maka itu lain lagi”, lanjut Z.
“Dari sinilah kemudian kelompok realis membuat garis yang tegas antara dunia kenyataan (ontologi) dengan dunia pikiran (epistemologi). Katakanlah V itu dunia kenyataan, dan anggaplah perasaan X itu dunia pikiran. Dalam hal ini, keberadaan V tidak terberikan oleh perasaan X, melainkan ada secara otonom dan terpisah dengan perasaan X.... Kenyataan dengan perasaan: beda!.” Tegas Z mantab.
“Maka bisa dipahami tentang sikap V yang biasa-biasa saja dan bahkan cuek terhadap X itu, meski perasaan cinta X kepadanya begitu bergemuruh bagaikan petir yang menyambar-nyambar”, imbuh Z.
Namun, pendapat Z itu tidak memuaskan bagi Y. Dan perdebatan pun berlangsung semakin lama. Sementara si shohibul masalah, X, hanya bisa melihat kedua temannya yang berdebat itu sambil menampilkan wajah murungnya akibat tak kuat menahan rasa cinta yang membakar hatinya.
“ Kalau pendapatmu seperti itu, bagaimana kamu menjelaskan munculnya rasa cinta X terhadap V?. Bukankah rasa cintanya X terhadap V itu sejatinya karena dialog atau aksi saling mempengaruhi antara kesadarannya dengan keberadaan V sendiri?. Bagaimana dua dunia itu kau katakan terpisah dan tidak saling mempengaruhi?" tanya Y dengan nada agak tinggi.
“Tidak mungkin, rasa cinta itu muncul kalau tidak ada pertautan kesadaran di antara keduanya”, imbuh Y.
Pertanyaan Z itu langsung dijawab Z. “ Begini Y, masalah jatuh cintanya X terhadap V itu bisa terjadi bukan karena aksi saling pengaruh mempengaruhi atau interaksi kesadaran antara subyek dengan obyek, antara perasaan X dengan keberadaan V....Sekali lagi, perasaan atau pikiran X tidak berpengaruh apa-apa terhadap V.....Tetapi, rasa cinta X itu muncul sebagai hasil pengaruh keberadaan V sendiri yang bersinggungan secara fisik dengan X. Kondisi sosial yang terbangun di luar diri X dan menjadi arena persinggungan antara X dan V, itulah kemudian menentukan kesadaran X, yang berupa jatuh cintanya X terhadap V. Singkatnya, jiwa dan perasaan X yang justru terpengaruh dan terkondisikan oleh struktur realitas di luar dirinya, yakni V itu sendiri, bukan sebaliknya”, jawab Z.
“Dari situlah kemudian realisme kritis itu sealur dengan konsep materialisme dialektikanya Marx. Dalam logika Marxisme dijelaskan bahwa kesadaran-lah yang dipengaruhi oleh struktur atau kondisi sosial dan bukan sebaliknya”, pungkas Z saat jarum jam sudah menunjuk angka 3.00 di pagi buta itu.
Busyetttt! bicara cinta ujung-ujungnya ke Karl Marx.
Muhammad Muhibbuddin, orang kecil yang tidak pernah surut bercita-cita menjadi orang kaya sedunia. Sekarang tinggal di Krapyak Yogyakarta
Sumber Gambar: olx.biz.id |
Jika ada orang masih memandang bahwa filsafat itu barang mewah dan hanya diperdebatkan di ruang-ruang kuliah, maka pandangan orang seperti itu jelas sudah out of date. Begitu juga ketika ada orang yang memandang teori-teori filsafat hanya menyoroti masalah-masalah besar yang njlimet, rumit, muter-muter, dan sepintas nampak membingungkan, atau bahkan “menyebalkan”, maka pandangan seperti itu kayaknya tidak sepenuhnya benar.
Gak percaya?. Lihat saja fenomena sederhana di sebuah angkringan, di kawasan Krapyak ini. Di malam Minggu (2/ 5/2015), pukul 00.00 WIB, tiga anak muda sedang berbincang-bincang serius tapi santai, dan santai tapi serius, di sebuah lepekan angkringan. Dengan ditemani rokok, kopi dan beberapa makanan tradisional, seperti gorengan, lumpia, sate siput, sate bakso dll, mereka nampak asyik bercerita soal filsafat.
Awalnya mereka tidak secara sengaja membincang filsafat, melainkan membincang persoalan yang sangat remeh dan biasa saja: cinta. Tapi kemudian tema itu merembet ke ranah filsafat. Salah satu dari mereka, sebut saja X, mempunyai masalah klasik: jatuh cinta pada seorang cewek, sebut saja V. Tapi anehnya X tidak mempunyai keberanian sedikitpun untuk mengungkapkan cintanya itu kepada V. Inilah masalahnya. Sederhana kannn???.. Tapi, masalah sepele ini benar-benar menguras energi si X. Setiap saat dirinya tidak mampu menahan amukan api cinta yang melalap jiwanya itu. Akhirnya ketika di angkringan Krapyak tersebut dia pun curhat kepada dua temannya, yang juga masih sama-sama jomblo, sebut saja Y dan Z.
Begitu besar cinta X terhadap V. Saking besarnya----sebagaimana yang diceritakan sendiri kepada Y dan Z----- dia sampai tidak bisa tidur, dan nafsu makannya turun drastis. Akhirnya belakangan badannya nampak kuruuuusss. Masih beruntung, di dalam pikirannya tidak terlintas niat buruk untuk kendat.
Setiap hari, kerja X hanya ngerokok dan melamun sambil minum kopi hitam pahit, seperti yang dia lakukan pada malam Jum’at itu. Begitu saja kerjanya. Tak ada yang lain. Sebab, ketika dirinya hendak melakukan sesuatu, misalnya membaca buku, maka yang terbayang lagi-lagi adalah wajah si V, sehingga konsentrasinya melayang jauh ke arah V, bukan pada isi buku itu. Kok bisa begitu ya?. Entahlah.!
“Benar-benar kalap aku”, begitulah keluh X kepada dua temannnya di malam yang mulai memasuki pagi itu .
Persoalan yang kemudian disodorkan oleh X kepada dua temannya itu adalah: Apakah, perasaan cinta yang begitu bergemuruh di dalam hatinya itu berpengaruh kepada V?. Apakah gejolak cinta yang meledak-ledak di dalam jiwanya itu mempunyai daya resonansi alias nyetrum dengan jiwa si V.?. Ketika X mempunyai rasa cinta yang begitu dahsyat terhadap V, apakah perasaan yang sama juga dialami V terhadap X?. Ketika X merindukan V dengan begitu dahsyatnya, pada saat yang sama, apakah V juga merindukan X?. Ataukah perasaan dan gejolak cinta itu hanya ada di dalam hati X saja dan sama sekali tidak nyetrum terhadap si V?. Persoalan inilah yang kemudian menyeret perbincangan mereka ke alam filsafat.
Sumber Gambar: astrycraft.wordpress.com |
“Tidak”! jawab Z. “ Perasaanmu itu tidak akan berdampak apa-apa terhadap V, kecuali kalau kau ungkapkan kepadanya”, lanjutnya.
“Apa alasanmu Z, kok kau bisa sampai pada kesimpulan seperti itu?”, sergah Y yang sejak tadi asyik memenuhi mulutnya dengan gorengan.
“ Bisa jadi toh Z, V juga terpengaruh oleh getaran perasaan X.... Dalam perspektif fenomenologi dijelaskan bahwa keberadaan obyek itu sangat tergantung dengan kesadaran subyek. Subyek dan obyek, dunia perasaan dengan dunia material, saling berdialog dan berhubungan. Dari sinilah kemudian, bisa jadi, perasaan X dengan keberadaan V, sangat terkait dan saling nyetrum,” lanjut Y.
“Tapi kenyataannya, V tetap biasa-biasa saja Y...dia kayaknya tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapku...perasaanku nampak tidak nyetrum ke perasaannya. Sebab, sejak pertama aku jatuh cinta kepada V, sampai detik ini, di mana aku selalu merindukannya, nampak tidak ada perubahan sikap apa-apa di dalam dirinya”, X menimpali. “Meski hatiku bergemuruh begitu dahsyat, V tetap cuek-cuek saja.....meski aku tidak enak makan, V tetap saja enak makan”, tambah X.
“Aku berbeda denganmu Y”, jawab Z, yang sejak tadi ingin meneruskan obrolannya.
“Bagiku, masalah jatuh cintanya X terhadap V ini tidak bisa dipahami lewat fenomenologi”, kata Z selanjutnya.
“ Lalu, kau pahami lewat apa”?, tanya Y sambil mengarahkan pandangannya pada Z.
“Kasusnya X terhadap V ini lebih tepat dipahami lewat perspektif realisme”, kata Z.
“Dalam realisme ditegaskan bahwa yang namanya realitas itu independen...keberadaannya tidak bergantung pada pengetahuan, pikiran atau perasaan subyek...keberadaan V akan tetap seperti itu, tidak akan terpengaruh sedikitpun oleh perasaan atau pikiran X yang bergemuruh itu.....Kecuali kalau perasaan itu diungkapkan, maka itu lain lagi”, lanjut Z.
“Dari sinilah kemudian kelompok realis membuat garis yang tegas antara dunia kenyataan (ontologi) dengan dunia pikiran (epistemologi). Katakanlah V itu dunia kenyataan, dan anggaplah perasaan X itu dunia pikiran. Dalam hal ini, keberadaan V tidak terberikan oleh perasaan X, melainkan ada secara otonom dan terpisah dengan perasaan X.... Kenyataan dengan perasaan: beda!.” Tegas Z mantab.
Sumber Gambar: kaskus.id |
“Maka bisa dipahami tentang sikap V yang biasa-biasa saja dan bahkan cuek terhadap X itu, meski perasaan cinta X kepadanya begitu bergemuruh bagaikan petir yang menyambar-nyambar”, imbuh Z.
Namun, pendapat Z itu tidak memuaskan bagi Y. Dan perdebatan pun berlangsung semakin lama. Sementara si shohibul masalah, X, hanya bisa melihat kedua temannya yang berdebat itu sambil menampilkan wajah murungnya akibat tak kuat menahan rasa cinta yang membakar hatinya.
“ Kalau pendapatmu seperti itu, bagaimana kamu menjelaskan munculnya rasa cinta X terhadap V?. Bukankah rasa cintanya X terhadap V itu sejatinya karena dialog atau aksi saling mempengaruhi antara kesadarannya dengan keberadaan V sendiri?. Bagaimana dua dunia itu kau katakan terpisah dan tidak saling mempengaruhi?" tanya Y dengan nada agak tinggi.
“Tidak mungkin, rasa cinta itu muncul kalau tidak ada pertautan kesadaran di antara keduanya”, imbuh Y.
Pertanyaan Z itu langsung dijawab Z. “ Begini Y, masalah jatuh cintanya X terhadap V itu bisa terjadi bukan karena aksi saling pengaruh mempengaruhi atau interaksi kesadaran antara subyek dengan obyek, antara perasaan X dengan keberadaan V....Sekali lagi, perasaan atau pikiran X tidak berpengaruh apa-apa terhadap V.....Tetapi, rasa cinta X itu muncul sebagai hasil pengaruh keberadaan V sendiri yang bersinggungan secara fisik dengan X. Kondisi sosial yang terbangun di luar diri X dan menjadi arena persinggungan antara X dan V, itulah kemudian menentukan kesadaran X, yang berupa jatuh cintanya X terhadap V. Singkatnya, jiwa dan perasaan X yang justru terpengaruh dan terkondisikan oleh struktur realitas di luar dirinya, yakni V itu sendiri, bukan sebaliknya”, jawab Z.
“Dari situlah kemudian realisme kritis itu sealur dengan konsep materialisme dialektikanya Marx. Dalam logika Marxisme dijelaskan bahwa kesadaran-lah yang dipengaruhi oleh struktur atau kondisi sosial dan bukan sebaliknya”, pungkas Z saat jarum jam sudah menunjuk angka 3.00 di pagi buta itu.
Busyetttt! bicara cinta ujung-ujungnya ke Karl Marx.
Muhammad Muhibbuddin, orang kecil yang tidak pernah surut bercita-cita menjadi orang kaya sedunia. Sekarang tinggal di Krapyak Yogyakarta
0 comments :
Post a Comment