Home » » Memikirkan Kembali Subkultur Extreme-Metal Indonesia

Memikirkan Kembali Subkultur Extreme-Metal Indonesia

Diposkan oleh damar pada Wednesday, June 3, 2015 | 11:50 PM

Oleh: Ridwan Munawwar Galuhwiraksa
Metal
Sumber Gambar: photobucket.com

Salah satu lanskap dari peta sosial masyarakat kita yang masih belum banyak diperbincangkan dan dikaji oleh tradisi riset dan keilmuan kita adalah subkultur musik extreme-metal-underground. Beberapa variannya yang bisa disebut di sini adalah; komunitas musik thrash metal, death metal, grindcore, heavy metal, dan gothic metal. Dalam kajian antropologi, karena mayoritas subjek dari subkultur itu adalah anak muda dan remaja, maka subkultur ini sering diidentikan dengan istilah “youth-subculture”.  Dengan banyaknya generasi muda tanah air yang terlibat aktif dalam kehidupan subkultural ini, maka tidak heran Indonesia kini telah menjadi salah satu negara dengan subkultur extreme-metal terbesar di dunia.

Subkultur extreme-metal adalah salah satu varian dari subkultur anak muda. Subkultur anak muda merupakan salah satu bagian yang unik dan krusial dari kebudayaan populer. Definisi subkultur itu sendiri, dalam pandangan antropologi klasik adalah suatu ikatan budaya kecil yang terdapat di dalam satuan kebudayaan masyarakat besar, ikatan dalam ikatan. Jadi subkultur selalu bersifat kolektif. Semua kelompok subkultur itu masing-masing memiliki ciri khas kolektif, pola sosio-kognitif, dan bahasa khas mereka sendiri.

Para pemikir postmodern banyak menafsirkan fenomena subkultur sebagai suatu residu atau hasil dari sisi-sisi negatif kebudayaan modern. Subkultur anak muda biasanya terlahir di perkotaan besar di mana kejamakan sosial tidak bisa diakomodasi dengan baik oleh pranata sosial yang ada. Bambang Q-Anees (2006) menyatakan bahwa budaya populer lahir dari keragaman dalam ruang publik masyarakat yang melingkupinya (Q Anees, Bambang. “Budaya Populer dan Ruang Publik yang Tersamar”, Pikiran Rakyat, 1 Oktober 2006). Ruang publik seringkali tidak bisa mengakomodasi berbagai macam diferensiasi sosial seperti perbedaan agama, ideologi, etnisitas. Karena itu subkultur anak muda biasanya terlahir dari kegelisahan untuk menyikapi kompleksitas dari kenyataan hidup.

Hampir semua varian subkultur musik anak muda terlahir dari dunia Barat.. Subkultur Punk—yang disinyalir banyak kalangan sebagai akar dari pergerakan subkultur anak muda— merupakan suatu pola dan ekspresi resistensi kaum muda dari wilayah kumuh (slum) di kota-kota metropolitan Inggris pada dekade 70-an terhadap kompleksitas problema sosial yang melingkupi kehidupan anak-anak muda itu; diantaranya adalah masalah industrisme dan kapitalisme Inggris yang memuat represi kalangan borjuasi Inggris terhadap kelas pekerja, sampai krisis identitas kebangsaan Inggris. Dalam pandangan Dick Hebdige yang cenderung Marxian , subkultur selalu berposisi di bawah gangguan eksploitasi komersial dari kebudayaan mainstream, atau yang biasa disebut kapitalisme.

Penanda Keretakan Sosial dan Resistensi Simbolik
metal music
Sumber Gambar: metalmusicarchives
 
Resistansi. Satu kata ini seakan menjadi “kata kunci” yang bisa menjelaskan sebuah watak umum dari keberadaan komunitas subkultur anak muda. Subkultur ada untuk melawan. Nuansa dan bentuk resistensi itu diekspresikan secara jelas lewat lirik lagu dan berbagai karya seni ciptaan mereka. Beberapa peneliti subkultur seperti Dario Malkovich dari Yugoslavia dan Amelia Schimdt  memberikan tesis bahwa subkultur umumnya selalu resisten terhadap tiga institusi kekuasaan sosial; Negara, agama dan kapitalisme (Malcovich, Dario, “HardcorePunk as New Generation of Youth Subculture”, www. internationalpsychology.com, 2009). Subkultur juga adalah sebuah bentuk negosiasi dialektis yang mempertanyakan keajegan struktur sosial mainstream dan kebudayaan besar mayoritas (parent culture).

Sebagaimana halnya di negara-negara Barat, kehidupan subkultur extreme-metal di Indonesia pun pada awalnya bermula dari kehidupan kota-kota metropolis, baik itu Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Medan, dan Surabaya, pada sekitar akhir dekade 80-an. Tidak banyak penelitian yang bisa mengungkapkan rasion de’etre (alasan keberadaan) kehidupan subkultural ini secara khusus dan lengkap dalam konteks ke-Indonesia-an. Sedikitnya barangkali diungkap oleh penelitian yang dilakukan Jeremy Wallach dalam “Underground Music and Democratization in Indonesia” (2000) yang berhasil mengemukakan hubungan resistan antara keberadaan subkultur extreme-metal dengan represi Orde Baru. Musik, lirik, grafis dan berbagai unsur lain dalam ‘estetika’ subkultur itu telah menjadi media penyaluran suara kritis publik atas sistem kekuasaan yang lama terbungkam.

Semakin ke sini, kehidupan subkultur extreme-metal Indonesia tersebar di baik kota maupun di desa, dan mungkin imbang secara kuantitas. Semakin banyaknya massa komunitas subkultural ini sesungguhnya menunjukkan semakin banyaknya masalah sosial yang melatar belakanginya. Kontinuitas keberadaan subkultur itu dalam proses putaran sejarah, otomatis memanjangkan arah resistensi subkultur itu pada pelbagai sistem kekuasaan.

Arah resistensi subkultur extreme-metal semakin menunjukkan perlawanan terhadap agama. Bagaimana bentuk resistensi terhadap agama dan nilai apa saja yang diafirmasi untuk melawan agama itu, serta “agama” dalam arti dan sisi apa yang ditolak subjek-subjek dalam subkultur itu, adalah berbeda dalam kasusnya di tiap wilayah dan negara.

Untuk konteks negara Barat, dalam tesis studi sosiologi agama yang berjudul “Commodified Evil’s Wayward Children: Black Metal and Death Metal as Purveyors of an Alternative Forms of Modern Escapism” (2006), Jason Foster mempertanyakan motif-motif yang mendasari subkultur metal dalam penciptaan karya mereka yang dipenuhi dengan cara-pandang-dunia yang negatif (negative worldview). Dalam penelusurannya yang cukup ensiklopedik terhadap berbagai tradisi subkultur extreme-metal di berbagai kawasan Amerika Serikat, kajian Foster cukup mengena mengenai band-band metal yang paling berpengaruh dalam menyuarakan suara yang bernuansa satanik dan anti agama. Foster menyimpulkan bahwa ideologi musik metal hanyalah sebuah eskapisme imajinasi atas tekanan hidup.
metal
Sumber Gambar: spong.com

Untuk konteks ke-Indonesiaan, sesungguhnya banyak sekali ragam karakteristik hubungan subkultur underground dengan agama institusional ini, dan semua itu bergantung pada wilayah geografis di mana komunitas itu ada. Penulis sendiri sempat fokus selama satu tahun mengamati pergerakan subkultur extreme-metal di berbagai wilayah pedesaan di berbagai wilayah di Indonesia, diantaranya Kediri, Jombang, Jogja, Tasikmalaya, dan Madura. Daerah-daerah yang representatif dalam sebagai kota yang memiliki watak sosio-relijius yang kuat, salah satunya dicirikan dengan banyaknya institusi pendidikan keagamaan (pesantren) dan juga sentra organisasi-organisasi keagamaan lainnya. Di daerah-daerah ini ternyata terdapat banyak anak muda yang terlibat sebagai subjek aktif komunitas subkultur extreme-metal. Di balik lirik lagu, tema karya, dan tulisan-tulisan zine mereka, terlihat ada kegelisahan dan kritisisme terhadap berbagai sisi dari ajaran agama, terutama dalam persoalan rasionalitas teologi, pencarian kebenaran, dan represifitas agama institusional serta hipokrisi kalangan aristokrat di dalamnya.

Disadari atau tidak, kehidupan subkultural yang penuh kegelisahan ini memiliki hubungan tertentu dengan dialektika antara tradisi keagamaan vis a vis proses industrialisasi yang memiliki sisi sekularitas tertentu dalam kehidupan kota yang bersangkutan. Keberadaan subkultur  underground merupakan salah satu produk dari keretakan sosial yang ada, baik agama institusional yang tidak bisa mengakomodasi manusia secara penuh,  maupun industrialisasi sekular dan kekuasaan ekonomi yang mengeksklusi golongan tertentu sekaligus juga mengeliminasi golongan lain dan menciptakan efek psikologis berupa deprivasi relatif/kecemburuan sosial.

Dunia subkultur ekstreme-metal adalah sebuah ruang dimana semua hal, semua bentuk ekstrimitas emosional dan fikiran tertumpahkan secara kaotik. Ini mungkin memiliki fungsi positif dalam hal tertentu (memiliki nilai teurapeutik, dll), namun tanpa adanya sebuah pengendalian internal dan orientasi nilai yang positif yang datang dari dalam, kehidupan subkultural hanya akan terjebak menjadi sebuah eskapisme semata.

Ridwan Munawwar Galuhwiraksa, esais dan pekerja budaya, tinggal di Bandung. Saat ini tengah menyiapkan buku penelitian psikologi sosial “Religiusitas Subkultur Extreme-Metal Indonesia”. E-mail: profesorridwan@yahoo.com


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment