Oleh : Sofyan RH. Zaid*
“Sastrawan dipandang sebagai orang yang mempunyai kreatifitas berbahasa lebih dibanding dengan anggota masyarakat lainnya.”
Brown dan Yule, 1986
Dalam Strategi Kebudayaan, C.A. van Peursen (1976) membuat tiga bagan kebudayaan: Pertama, Mitis adalah sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuataan gaib di sekitarnya, seperti kekuasaan dewa dan alam semesta. Kedua, Ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi merasa terkepung oleh kekuatan kekuasaan, namun berada bebas di luar mitis dan ingin meneliti segala ikhwal. Ketiga, Fungsionil adalah sikap manusia dan alam pikiran yang semakin tampak dalam manusia modern. Tidak lagi terpesona dengan lingkungan (mitis) dan membuat jarak dengan apa yang ditelitinya (ontologis). Itulah sebabnya Peursen kemudian juga menulis; “manusia modern hendaklah dijadikan sadar tentang kebudayaannya.”
Modernisasi memang membawa kemajuan besar, namun juga menciptakan kemunduran, kata Adonis, misalnya pada kebudayaan. Bertemunya modernisme dengan kebudayaan melahirkan kebudayaan baru yang tidak berjenis kelamin. Itulah kenapa Pramoedya bilang: manusia modern adalah manusia yang perlahan meninggalkan identitasnya sendiri secara sadar atau pun mabuk. Namun modernisme tidak bisa disalahkan sepenuhnya, sebab modernisme adalah keniscayaan yang tidak bisa dilawan, pahit Erich Fromm.
Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan pun mengalami pergeseran sebab adanya pergesekan dengan bahasa modern, yakni bahasa asing. Sementara sebuah negara wajib mempunyai bahasa nasional sebagai identitas kebangsaan. Sebab bahasa mencerminkan kebesaran sebuah bangsa. Misalnya Bahasa Indonesia yang lahirnya ditandai pada tanggal 28 Oktober tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda pada kalimat ke-3 berbunyi “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, Menjoenjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.” Kemudian tercantum pada UUD 45, Bab XV, Pasal 36, bahwa Bahasa Negara Republik Indonesia ialah Bahasa Indonesia yang memiliki 4 fungsi utama: bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar pendidikan, bahasa penghubung tingkat nasional, bahasa pengembang Ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun belakangan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia dan pemersatu bangsa mulai kehilangan fungsinya. Kebanggaan kita kepada Bahasa Indonesia perlahan pupus. Tentu ini sebuah kecelakaan, sebab bangsa yang kehilangan bahasa (dari buku-bukunya) adalah bangsa yang menuju kehancuran, kata Milan Kundera. Artinya sudah saatnya kita melawan lupa, mengingat kembali sejarah dan Sumpah Pemuda.
Nah, di sinilah letak pentingnya sastra mengambil peran sebagai juru selamat, dengan terus hidup menebar cinta Bahasa Indonesia dalam keluarga, pergaulan dan pendidikan, atau setidaknya dimulai dari diri kita sendiri sebagai Indonesia. Dan kita pastikan tesis C.A. van Peursen di atas tidak sepenuhnya benar, sebab sastra –bagi Ajip Rosidi- salah satu fungsinya adalah menjaga bahasa sebagai alat ungkap, meski kemudian juga menghancurkannya untuk menemukan bahasa yang baru: kemanusiaan, ketika bahasa sudah menjadi alat kekuasaan.
2015
Sofyan RH Zaid, Penyair dan Editor di Tazkia, kini tinggal di Bekasi.
Sumber Gambar: kopikeliling.com |
“Sastrawan dipandang sebagai orang yang mempunyai kreatifitas berbahasa lebih dibanding dengan anggota masyarakat lainnya.”
Brown dan Yule, 1986
Dalam Strategi Kebudayaan, C.A. van Peursen (1976) membuat tiga bagan kebudayaan: Pertama, Mitis adalah sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuataan gaib di sekitarnya, seperti kekuasaan dewa dan alam semesta. Kedua, Ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi merasa terkepung oleh kekuatan kekuasaan, namun berada bebas di luar mitis dan ingin meneliti segala ikhwal. Ketiga, Fungsionil adalah sikap manusia dan alam pikiran yang semakin tampak dalam manusia modern. Tidak lagi terpesona dengan lingkungan (mitis) dan membuat jarak dengan apa yang ditelitinya (ontologis). Itulah sebabnya Peursen kemudian juga menulis; “manusia modern hendaklah dijadikan sadar tentang kebudayaannya.”
Modernisasi memang membawa kemajuan besar, namun juga menciptakan kemunduran, kata Adonis, misalnya pada kebudayaan. Bertemunya modernisme dengan kebudayaan melahirkan kebudayaan baru yang tidak berjenis kelamin. Itulah kenapa Pramoedya bilang: manusia modern adalah manusia yang perlahan meninggalkan identitasnya sendiri secara sadar atau pun mabuk. Namun modernisme tidak bisa disalahkan sepenuhnya, sebab modernisme adalah keniscayaan yang tidak bisa dilawan, pahit Erich Fromm.
Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan pun mengalami pergeseran sebab adanya pergesekan dengan bahasa modern, yakni bahasa asing. Sementara sebuah negara wajib mempunyai bahasa nasional sebagai identitas kebangsaan. Sebab bahasa mencerminkan kebesaran sebuah bangsa. Misalnya Bahasa Indonesia yang lahirnya ditandai pada tanggal 28 Oktober tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda pada kalimat ke-3 berbunyi “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, Menjoenjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.” Kemudian tercantum pada UUD 45, Bab XV, Pasal 36, bahwa Bahasa Negara Republik Indonesia ialah Bahasa Indonesia yang memiliki 4 fungsi utama: bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar pendidikan, bahasa penghubung tingkat nasional, bahasa pengembang Ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun belakangan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia dan pemersatu bangsa mulai kehilangan fungsinya. Kebanggaan kita kepada Bahasa Indonesia perlahan pupus. Tentu ini sebuah kecelakaan, sebab bangsa yang kehilangan bahasa (dari buku-bukunya) adalah bangsa yang menuju kehancuran, kata Milan Kundera. Artinya sudah saatnya kita melawan lupa, mengingat kembali sejarah dan Sumpah Pemuda.
Sumber Gambar:olvyandraariesta.blogspot.com |
Nah, di sinilah letak pentingnya sastra mengambil peran sebagai juru selamat, dengan terus hidup menebar cinta Bahasa Indonesia dalam keluarga, pergaulan dan pendidikan, atau setidaknya dimulai dari diri kita sendiri sebagai Indonesia. Dan kita pastikan tesis C.A. van Peursen di atas tidak sepenuhnya benar, sebab sastra –bagi Ajip Rosidi- salah satu fungsinya adalah menjaga bahasa sebagai alat ungkap, meski kemudian juga menghancurkannya untuk menemukan bahasa yang baru: kemanusiaan, ketika bahasa sudah menjadi alat kekuasaan.
2015
Sofyan RH Zaid, Penyair dan Editor di Tazkia, kini tinggal di Bekasi.
0 comments :
Post a Comment