Cerpen : Rachem Siyaeza
Lelaki itu datang dengan sarung usang melingkar erat di pinggang. Songkoknya yang juga usang, terpasang miring di kepala. Kulitnya yang sangat gelap, tampak begitu kusam. Di tangan kanan lelaki itu, siap-siaga parang penggal yang sangat mengkilat, tentu sangat tajam.
Konon, parang itu diasah pada batu yang didapatkan lelaki itu dari bertapa di Phujuk Polay—sebuah pekuburan dengan keangkeran termasyur di kampung kami. Lelaki itu akan segera melaksanakan tugasnya yang mulia. Dilihat dari cara berjalan dan caranya menyungging bibir, rasanya lelaki itu sudah siap lahir-batin untuk menunaikan tugas.
Di batang pohon nyiur, sape jeghir mulutnya mengema-ngema. Aku menduga-duga sapi itu takut, khawatir, bulu kuduknya berdiri, dan mungkin sekali sapi itu ingin lari, ingin meghindar dari kematian yang sebentar lagi akan datang menjemputnya. Namun apa daya, tali lehernya kuat mencengkram. Sapi itu tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong dirinya sendiri dari ancaman kematian.
Sape jeghir didekati oleh Alwi, lelaki itu. Alwi mengangguk-anggukkan kepalanya sekaligus mengerutkan dahi, semacam memikirkan sesuatu. Setahuku, sudah sejak dari dua hari yang lalu, Alwi melanglang buana ke berbagai perkampungan untuk menyembelih sapi. Sudah lebih dari belasan sapi takluk di tangannya dalam dua hari. Kali ini tugasnya cukup ringan, hanya satu sapi.
Menjelang lebaran, seperti juga lebaran-lebaran yang telah lalu, Alwilah yang kami panggil untuk menyembelih sapi kami. Sapi itu, jika sudah selesai disembelih dan dipotong-potong dagingnya akan dibagikan pada orang-orang yang sebelumnya telah mengumpulkan sejumlah uang sedikit demi sedikit dalam acara mingguan Kompolan Daging yang khusus diadakan untuk urusan daging lebaran. Dan, untuk orang-orang di kampung kami, daging sapi menyangkut hajat hidup orang banyak—terutama momentum lebaran.
Bersama orang-orang, aku bergidik ngeri dan hampir bersamaan kami mundur beberapa langkah saat Alwi mulai menyentuh sapi. Alwi akan segera menunaikan tugas.
Salah seorang maju mendekati Alwi sambil menyodorkan tambang berukuran sedang. Tentu maksud orang itu, agar Alwi mengikat keempat kaki sapi sebelum disembelih. Alwi menolak tambang yang disodorkan padanya. Alwi memutuskan tak akan mengikat keempat kaki sapi.
“Tak perlu diikat!” katanya mantap.
Beberapa orang hampir serempak mengajukan protes.
“Diikat saja, Wi, biar sapinya tidak ngamuk ke mana-mana? Sapi besar susah matinya, Wi!” kata salah satu orang, yang menyaksikan penyembelihan.
“Seahli-ahlinya kau, Wi, kau akan kalap juga kalau enteng begitu,” kata yang lain menyambung.
“Sape jhegir biasanya leter, Wi, selalu ingin kawin. Bisa menyeruduk nanti.” Yang lainnya lagi menyambung dengan nada khawatir.
“Tak usah!” kata Alwi menanggapi semua komentar itu dengan sengir bibir ringan seolah-olah mengatakan: kau meremehkan aku, Kek!? Awas!
Sulit dipercaya memang, menyembelih sapi yang besar tanpa diikat keempat kakinya. Bisa-bisa sapi akan menyeruduk sembarangan, menghantam apa saja sebelum kemudian menghembuskan ajal secara bergelimpang dengan leher berlubang dan mengalir darah.
“Terserah katamulah, Kek, cuma jangan terlalu sombong!” kata seseorang yang lain bernada tak setuju dengan tindakan Alwi yang mau menyembelih sapi tanpa mengikat keempat kaki hewan itu.
Alwi mengarahkan parang ke leher sapi yang nafasnya ngas-engus dari tadi tanpa dibantu oleh siapa pun. Entahlah, aneh, sapi itu tak memberontak sama sekali saat parang melibas lehernya yang bergelambir. Malah seperti memberikan dirinya bulat-bulat ke Alwi, macam perempuan yang kena guna-guna.
Darah muncrat dari leher sapi. Alwi membuang nafas lega, lalu menggaruk-garuk dahinya yang mungkin tidak gatal sambil mendongakkan wajah ke orang-orang. Mungkin mau menunjukkan wibawa dan kesombongannya sebagai tukang jagal.
Sapi itu roboh bergelimpang di tanah. Alwi segera memotong tali yang mengikat leher sapi dengan parangnya yang berlumurah darah. Lalu, Alwi mendekati sapi hendak menyentuh kepalanya. Orang-orang yang menyaksikan mulai mendekat untuk memastikan ketakpercayaannya bahwa Alwi bisa menyembelih sape jhegir tanpa diikat keempat kaki si sapi. Aku juga ingin tahu. Kuambil langkah mendekat.
Namun, mata sapi kulihat berkedip-kedip. Ajal belum datang menjemput. Malaikat maut terlambat datang. Sapi lalu mengema seketika dengan keras. Sapi itu bangkit dari ketergelimpangannya. Orang-orang ambil langkah mundur. Sapi itu berdiri dan seketika bergerak cepat, mengarahkan tanduk semaunya. Sapi itu mengamuk. Orang-orang berlari terbirit-birit. Alwi lari lintang-pukang sampai songkoknya terlempar entah ke mana. Aku sendiri terseok-seok menghindar.
Sapi itu menyeruduk, mengamuk, membuat kami ketar-ketik—kami yang sudah tak sabar menunggu pembagian daging. Orang-orang berlarian berhambur ke mana saja asal selamat dari serudukan sapi. Aku, yang juga tak sabar ingin segera menerima daging biar Ibu di rumah yang sedang menyiapkan bumbu-bumbu segera menanganinya, akhirnya menyembunyikan diri di balik pohon kelapa bersama sebagian orang.
Aku mengatur nafas. Kulihat orang-orang yang bisa kulihat. Saat kulihat ke sebelah kiriku, ternyata ada Alwi, ia sedang terengah-engah. Ia tampak khawatir sekaligus takut. Orang-orang mulai menampakkan gelagat tak nyaman. Sementara sapi telah menyeruduk tembok sebuah warung rujak—yang tentu saja warung itu tutup karena masih bulan puasa.
Seperti menyaksikan sebuah pagelaran yang menarik perhatian—takut tapi membuat penasaran—kami sama-sama tak peduli satu sama lain selain hanya mempedulikan diri sendiri yang takut kena seruduk sapi. Mereka tak mau ketinggalan melihat sapi yang mengamuk dengan tetap berusaha menghindar dari serangan sapi.
Aku masih di tempat persembunyiaan saat kulihat di sebelah kiriku wajah Alwi pucat pasi. Alwi berdiri mematung. Ia sepertinya tak tahu apa yang mesti dilakukan. Sementara sapi semakin hebat menyeruduk, darahnya berceceran di tanah dan tembok warung yang kena seruduk. Beberapa pohon pisang di sisi warung roboh dibuatnya. Di sekitar warung, ranting-ranting jambu mete dan bunga-bunganya yang mulai menampakkan buah, berserakan, yang kena serang rusak parah seperti tak bisa diharapkan dapat menjadi buah karena sudah lepas-lepas dari tangkainya.
Kini, kulihat seolah wajah Alwi membiru. Tentu lelaki itu menahan rasa malunya karena peristiwa yang seharusnya terjadi di luar rencana. Seharusnya sapi langsung mati, kuduga begitu mungkin batin Alwi. Runtuh sudah kediriannya, tak ‘kan dielu-elukan lagi sebagai penyembelih sapi handal, sebagai tukang jagal termasyhur.
Sebagian orang menatap Alwi yang bagai tak bisa bergerak itu. Menatapnya dengan tatapan menertawakan: kena kau, Kek!
Matahari yang panas baru beranjak dari atas kepala.
Tiba-tiba sapi yang tak kunjung menemui ajal itu—yang sudah banyak mengeluarkan darah dari lehernya—menyeruduk gedeg tak jauh dari pohon mete yang ranting-ranting rendahnya sudah tak bisa diharapkan dapat menjadi buah itu. Oh! Orang-orang hampir bersamaan berteriak “Oh!”, termasuk juga Alwi. Aku juga tak mau ketinggalan, “Oh!”
***
Gedeg yang kena seruduk sapi itu adalah penghalang orang yang akan buang hajat. Gedeg itu cukup aneh letaknya, mengingat kurang jauh dari warung rujak. Di dalam gedeg yang pintu masuknya hanya seadanya itu—orang yang akan buang hajat tinggal merundukkan separuh badan. Lalu diteruskan dengan ambil posisi jongkok dan tentu harus segera cepat-cepat memencet hidung mengalihkan pernapasan ke mulut—satu lubang seukuran lubang WC terlihat di tanah. Iya, itu memang WC—WC tradisional orang kampung—yang kami sebut kakos. Hebatnya, jika orang tidak jijik—dengan tetap menutup hidung tentu—tumpukan hajat bisa dilihat dari atas dan bentuknya seperti bubur kecoklatan. Di tempat itulah kami menyelesaikan urusan hajat.
Kaki kanan depan sapi masuk ke lubang itu. Orang-orang semakin bilang “Oh!”, sangat cepat sekali seperti berwirid. Sementara salah satu kaki sapi sudah masuk lubang itu, ternyata lubang itu pecah seketika seiring sapi mulai tak bergerak. Sesaat kemudian, sepertinya sapi berhenti bergerak. Akhirnya malaikat maut datang juga, mungkin. Sapi itu tercebur ke kumpulan hajat orang banyak.
Sapi itu—yang dagingnya merupakan hajat orang banyak demi merayakan hari kemenangan lebaran besok—telah masuk ke tempat hajat hampir semua orang di kampung kami. Hajat mulia kami yang melekat pada sapi bertemu dan bersatu padu dengan hajat kami di dalam kakos. Dan, siapapun tak akan pernah bilang bahwa di dalam kakos itu adalah hajat mulia.
***
Lebaran memang ditunggu-tunggu, tentu. Dan akan lebih ditunggu-tunggu lagi manakala persiapan menunggu “kembali ke fitri” itu sudah final. Jajan untuk menyuguhi para tamu sudah siap, pakaian baru sudah tinggal ambil di lemari, dan yang terakhir—ini maha penting bagi orang-orang kampung kami—memiliki daging sapi.
Bagi mereka yang ikut Kompolan Daging, akan memperoleh daging setelah sapi yang disembelih dipotong-potong. Dan sekarang, seafdholnya, kami mestinya telah bisa menerima jatah daging sapi dan kami bisa langsung memasaknya dan bahkan bisa menyantapnya di buka puasa terakhir andai saja tidak terjadi peristiwa Hajat bertemu hajat itu (pada bagian ini aku menuliskan hajat yang pertama—hajat lebaran kami—dengan H kapital, kawan, untuk menunjukkan padamu bahwa itu mulia).
“Kualat itu Alwi!” Beberap orang mengumpat.
Sementara lelaki tukang jagal sapi itu, berusaha menebus rasa malunya di sana, di bawah pohon jambu mete itu. Kulihat, warna wajah Alwi biru-gelap keungu-unguan. Warna wajahnya itu bisa dikatakan adalah ungkapan dari perasaannya yang berkecamuk: harga diri yang rontok, malu, jijik, ngeri, mentalnya ciut dan entah apa lagi yang bersilasak di batin lelaki itu.
Dengan warna wajahnya itu ia turun ke lubang tempat sapi tercebur. Tak terbayangkan, betapa beraninya lelaki itu, ia turun ke tempat hajat orang banyak yang sudah membusuk.
Orang-orang yang tadinya menjauh menyelamatkan diri dari serudukan sapi—yang tak tega melihat Alwi sendirian hendak mengangkat tubuh sapi malang itu dari tempat hajat orang banyak itu—mendekat. Dengan tangan kiri memencet hidung, mereka menahan jijik—yang mungkin juga hajatnya ada di lubang itu—mengulurkan tangan pada Alwi yang bergulat dengan sapi mati di kakos.
Pada akhirnya, orang-orang bahu-membahu mengangkat sapi dari kubangan hajat itu. Tali tambang yang sedianya mau dipakai untuk mengikat keempat kaki sapi tadi sebelum disembelih, diulurkan ke Alwi.
Beberapa kayu panjang dan bambu didatangkan sebagai alat bantu mengangkat sapi. Aku tak mengikuti orang-orang itu. Perutku yang dari tadi mual bertambah mual dan ingin muntah. Air mataku tak bisa kutahan gara-gara bergelut dengan rasa mual yang membuncah. Bau hajat menyebar ke mana-mana. Lalat-lalat berhamburan.
Tubuh Alwi yang terlihat hanya kepala, sementara tubuh ke bawah dari kepala, Masya Allah, tenggelam ke hajat orang banyak. Jelas-jelas Alwi mau muntah.
Sementara itu, kulihat, orang-orang yang tidak terlibat dengan pengangkatan sapi dari kakos itu merengutkan wajahnya. Ada yang sambil menahan kecewa sekaligus kasihan pada Alwi, pulang dengan tangan hampa karena mungkin hatinya tak mengijinkan untuk menerima daging sapi yang telah lebih dulu masuk ke pembuangan justu sebelum masuk ke dalam perut. Ada yang bertahan menunggu, toh nanti juga akan dibersihkan, ini sudah menjadi suratan—begitu mungkin batin mereka.
Kedua kubu yang saling berseberangan itu, hampir semuanya mual-mual. Bahkan ada yang sudah muntah meski hanya berbentuk air. Karuan saja, pahitlah mulut mereka yang muntah. Perut tak ada isinya karena memang waktu itu masih hari puasa—puasa terakhir. Andai aku tahu akan begini jadinya, pasti aku menolak perintah Ibu untuk mengantikan Ayah mengambil jatah daging sapi yang disembelih Alwi itu.
Dengan susah payah—dengan kekuatan seadanya yang dikuat-kuatkan dan didorong rasa amat-sangat malu—Alwi, dibantu orang-orang akhirnya bisa mengangkat sapi dari tumpukan hajat orang banyak itu.
Kulihat, warna wajah Alwi semakin membiru, semakin menggelap dan semakin keungu-unguan.
Rasa-rasanya tak akan kembali ke warna aslinya yang hitam berminyak dan kusam.
***
“Sudah selesai, Cong. Kok lama?” kata Ibu sesaat setelah aku menyodorkan plastik hitam berisi daging sapi padanya.
“Tak apa-apa, Bu,” jawabku sekenanya.
Ibuku yang tidak tahu menahu soal peristiwa Hajat bertemu hajat itu, langsung sigap memulai acara dapur yakni masak-memasak daging sapi yang telah kuberikan itu. Aku tak menemukan kalimat yang tepat untuk memberitahu. Akhirnya kuambil prinsip, bahwa Ibu tahu atau tidak soal sapi yang tercebur ke kakos itu sama tidak pentingnya. Toh sapi sudah dicuci, menghabiskan sepuluh So Klin ukuran satu kilo gram.
Dan langkah terbaik selanjutnya adalah, sebaiknya aku tidur saja. Biar setelah bangun nanti tahu-tahu buka puasa telah tiba.
Aku tidur dengan susah payah sampai akhirnya Ibu membangunkanku untuk buka puasa.
“Cong,” kata Ibu, menggerak-gerakkan lenganku. “Sudah saatnya berbuka,” lanjutnya.
Aku langsung ke dapur dari kamar.
Di dapur, Ayah yang sepertinya baru datang dari kebun, mulai makan. Ibu memasang nasi di piring. Adikku yang hanya berpuasa setengah hari juga ikut berbuka.
“Itu, Cong, daging sapinya. Sengaja Ibu masak beberapa potong untuk buka puasa,” kata Ibu sembari menunjuk daging sapi di atas piring yang berkuah kecoklatan, perpaduan warna antara kecap dan bumbu.
“Untunglah Ayahmu selalu ikut Kompolan Daging, Cong. Jadinya, sempurnalah besok kita lebaran. Hajat keluarga telah tertunaikan dengan daging sapi.”
Ibu memasang daging di piringnya yang telah berisi nasi. Ibu makan. Lahap.
“Empuk sekali dagingnya, Cong, enak.”
“Iya, empuk sekali.” Ayahku menambahi.
“Enak. Nyam-nyam-nyam,” kata adikku, mulutnya belepotan kuah daging.
“Hmmm. Enak, Bhing.” Ayah dan Ibu bersamaan bilang itu pada adikku.
Di dalam perutku, seperti ada sesuatu yang bergerak, menyodok-nyodok ke atas. Di dalam kepalaku, terbayang hajat orang banyak tempat sapi berkubang siang tadi—yang berwarna kecoklatan itu, seperti warna daging yang terhidang di depanku.
“Kenapa Kakak tak makan, Bu?” tanya adikku, sambil mengunyah daging.
“Lho. Makan, Cong,” perintah Ayah, juga sambil mengunyah daging.
“Makan, Cong, enak,” kata Ibu, juga dalam posisi sama dengan adik dan Ayahku: mengunyah daging.
“Iya, Bu,” kataku pelan.
Sesuatu dalam perutku bergerak semakin kencang. Kepalaku pening. Aku hendak muntah tapi masih bisa kutahan. Mulutku terasa pahit. Kedua tangan kutaruh di perut. Sambil menahan muntah, kulihat ketiga keluargaku yang makan lahap itu, semua menghentikan makannya tiba-tiba mendapati keadaanku yang begitu. Semua menatapku dengan curiga.
“Jadi lelaki kok leter begitu kau, Cong. Manja. Sudah dicuci bersih ini,” kata Ibu.
Aku mengernyitkan dahi. Ibu mamasangkan nasi ke piring di depanku berikut daging sapi dan kuahnya. Sebelum Ibu selesai memasangkan kuah daging ke piring di depanku, tiba-tiba loudspeaker musallah tak jauh dari rumah kami berbunyi. Berbunyi ganjil dan tak biasanya. Bukan adzan Maghrib yang berkumandang, tapi suara seseorang bergetar dan dapat dengan mudah dikenali siapa pengucapnya.
“Assalamu’alaikum, semuanya. Kepada seluruh warga dan terutama Jama’ah Kompolan Daging, saya, Alwi si tukang jagal, mohon maaf sebesar-besarnya. Tak dinyana, saya memang sungguh keterlaluan. Dan, jangan khawatir, sapi yang sedang kalian santap dalam buka puasa terakhir itu, sudah dicuci sebersih-bersihnya. Saya menjamin. Halal...”
Suara Alwi berganti batuk-batuk panjang setelah mengucapkan itu. Kami menyimak dengan seksama apa yang dikatakan Alwi di loudspeaker. Ayah, Ibu, dan adikku, berhenti mengunyah makanan. Lalu Alwi melanjutkan, “Mulai sekarang, saya menyatakan pangsiun dari jabatan tukang jagal. Harap maklum. Yang Maha Kuasa telah menegur saya dan saya mengerti. Terima kasih. Wassalam.”
Setelah selesai mendengarkan Alwi menyatakan sikap itu, Ayah, Ibu, dan adikku, melanjutkkan santapan hidangan. Aku enggan-engganan menyentuh hidangan di depanku. Dan, di tengah lahapnya keluargaku terhadap hidangan buka puasa daging Kompolan Daging itu, tiba-tiba suana berbuka puasa berubah. Ayah, Ibu dan adikku, muntah di piring masing-masing.
Yogyakarta-Madura, 2010-2014
Catatan :
Sape Jhegir (Madura): sapi perawan/sapi yang belum penah melahirkan
Leter (Madura): centil/genit
Kek (Madura): panggilan sesama lelaki, semacam panggilan “Bung”
Cong/Kacong (Madura): panggilan untuk anak lelaki
Bhing/Cebbhing (Madura): panggilan untuk anak perempuan
*Cerpen ini pernah dipublikasikan di Majalah Advokasia Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Edisi 14 Tahun 2014.
Rachem Siyaeza, lahir di Sumenep dan bermukim di Yogyakarta sejak 2007
Lelaki itu datang dengan sarung usang melingkar erat di pinggang. Songkoknya yang juga usang, terpasang miring di kepala. Kulitnya yang sangat gelap, tampak begitu kusam. Di tangan kanan lelaki itu, siap-siaga parang penggal yang sangat mengkilat, tentu sangat tajam.
Konon, parang itu diasah pada batu yang didapatkan lelaki itu dari bertapa di Phujuk Polay—sebuah pekuburan dengan keangkeran termasyur di kampung kami. Lelaki itu akan segera melaksanakan tugasnya yang mulia. Dilihat dari cara berjalan dan caranya menyungging bibir, rasanya lelaki itu sudah siap lahir-batin untuk menunaikan tugas.
Di batang pohon nyiur, sape jeghir mulutnya mengema-ngema. Aku menduga-duga sapi itu takut, khawatir, bulu kuduknya berdiri, dan mungkin sekali sapi itu ingin lari, ingin meghindar dari kematian yang sebentar lagi akan datang menjemputnya. Namun apa daya, tali lehernya kuat mencengkram. Sapi itu tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong dirinya sendiri dari ancaman kematian.
Sape jeghir didekati oleh Alwi, lelaki itu. Alwi mengangguk-anggukkan kepalanya sekaligus mengerutkan dahi, semacam memikirkan sesuatu. Setahuku, sudah sejak dari dua hari yang lalu, Alwi melanglang buana ke berbagai perkampungan untuk menyembelih sapi. Sudah lebih dari belasan sapi takluk di tangannya dalam dua hari. Kali ini tugasnya cukup ringan, hanya satu sapi.
Menjelang lebaran, seperti juga lebaran-lebaran yang telah lalu, Alwilah yang kami panggil untuk menyembelih sapi kami. Sapi itu, jika sudah selesai disembelih dan dipotong-potong dagingnya akan dibagikan pada orang-orang yang sebelumnya telah mengumpulkan sejumlah uang sedikit demi sedikit dalam acara mingguan Kompolan Daging yang khusus diadakan untuk urusan daging lebaran. Dan, untuk orang-orang di kampung kami, daging sapi menyangkut hajat hidup orang banyak—terutama momentum lebaran.
Bersama orang-orang, aku bergidik ngeri dan hampir bersamaan kami mundur beberapa langkah saat Alwi mulai menyentuh sapi. Alwi akan segera menunaikan tugas.
Salah seorang maju mendekati Alwi sambil menyodorkan tambang berukuran sedang. Tentu maksud orang itu, agar Alwi mengikat keempat kaki sapi sebelum disembelih. Alwi menolak tambang yang disodorkan padanya. Alwi memutuskan tak akan mengikat keempat kaki sapi.
Sumber Gambar: tempo.co |
“Tak perlu diikat!” katanya mantap.
Beberapa orang hampir serempak mengajukan protes.
“Diikat saja, Wi, biar sapinya tidak ngamuk ke mana-mana? Sapi besar susah matinya, Wi!” kata salah satu orang, yang menyaksikan penyembelihan.
“Seahli-ahlinya kau, Wi, kau akan kalap juga kalau enteng begitu,” kata yang lain menyambung.
“Sape jhegir biasanya leter, Wi, selalu ingin kawin. Bisa menyeruduk nanti.” Yang lainnya lagi menyambung dengan nada khawatir.
“Tak usah!” kata Alwi menanggapi semua komentar itu dengan sengir bibir ringan seolah-olah mengatakan: kau meremehkan aku, Kek!? Awas!
Sulit dipercaya memang, menyembelih sapi yang besar tanpa diikat keempat kakinya. Bisa-bisa sapi akan menyeruduk sembarangan, menghantam apa saja sebelum kemudian menghembuskan ajal secara bergelimpang dengan leher berlubang dan mengalir darah.
“Terserah katamulah, Kek, cuma jangan terlalu sombong!” kata seseorang yang lain bernada tak setuju dengan tindakan Alwi yang mau menyembelih sapi tanpa mengikat keempat kaki hewan itu.
Alwi mengarahkan parang ke leher sapi yang nafasnya ngas-engus dari tadi tanpa dibantu oleh siapa pun. Entahlah, aneh, sapi itu tak memberontak sama sekali saat parang melibas lehernya yang bergelambir. Malah seperti memberikan dirinya bulat-bulat ke Alwi, macam perempuan yang kena guna-guna.
Darah muncrat dari leher sapi. Alwi membuang nafas lega, lalu menggaruk-garuk dahinya yang mungkin tidak gatal sambil mendongakkan wajah ke orang-orang. Mungkin mau menunjukkan wibawa dan kesombongannya sebagai tukang jagal.
Sapi itu roboh bergelimpang di tanah. Alwi segera memotong tali yang mengikat leher sapi dengan parangnya yang berlumurah darah. Lalu, Alwi mendekati sapi hendak menyentuh kepalanya. Orang-orang yang menyaksikan mulai mendekat untuk memastikan ketakpercayaannya bahwa Alwi bisa menyembelih sape jhegir tanpa diikat keempat kaki si sapi. Aku juga ingin tahu. Kuambil langkah mendekat.
Namun, mata sapi kulihat berkedip-kedip. Ajal belum datang menjemput. Malaikat maut terlambat datang. Sapi lalu mengema seketika dengan keras. Sapi itu bangkit dari ketergelimpangannya. Orang-orang ambil langkah mundur. Sapi itu berdiri dan seketika bergerak cepat, mengarahkan tanduk semaunya. Sapi itu mengamuk. Orang-orang berlari terbirit-birit. Alwi lari lintang-pukang sampai songkoknya terlempar entah ke mana. Aku sendiri terseok-seok menghindar.
Sapi itu menyeruduk, mengamuk, membuat kami ketar-ketik—kami yang sudah tak sabar menunggu pembagian daging. Orang-orang berlarian berhambur ke mana saja asal selamat dari serudukan sapi. Aku, yang juga tak sabar ingin segera menerima daging biar Ibu di rumah yang sedang menyiapkan bumbu-bumbu segera menanganinya, akhirnya menyembunyikan diri di balik pohon kelapa bersama sebagian orang.
Aku mengatur nafas. Kulihat orang-orang yang bisa kulihat. Saat kulihat ke sebelah kiriku, ternyata ada Alwi, ia sedang terengah-engah. Ia tampak khawatir sekaligus takut. Orang-orang mulai menampakkan gelagat tak nyaman. Sementara sapi telah menyeruduk tembok sebuah warung rujak—yang tentu saja warung itu tutup karena masih bulan puasa.
Seperti menyaksikan sebuah pagelaran yang menarik perhatian—takut tapi membuat penasaran—kami sama-sama tak peduli satu sama lain selain hanya mempedulikan diri sendiri yang takut kena seruduk sapi. Mereka tak mau ketinggalan melihat sapi yang mengamuk dengan tetap berusaha menghindar dari serangan sapi.
Aku masih di tempat persembunyiaan saat kulihat di sebelah kiriku wajah Alwi pucat pasi. Alwi berdiri mematung. Ia sepertinya tak tahu apa yang mesti dilakukan. Sementara sapi semakin hebat menyeruduk, darahnya berceceran di tanah dan tembok warung yang kena seruduk. Beberapa pohon pisang di sisi warung roboh dibuatnya. Di sekitar warung, ranting-ranting jambu mete dan bunga-bunganya yang mulai menampakkan buah, berserakan, yang kena serang rusak parah seperti tak bisa diharapkan dapat menjadi buah karena sudah lepas-lepas dari tangkainya.
Kini, kulihat seolah wajah Alwi membiru. Tentu lelaki itu menahan rasa malunya karena peristiwa yang seharusnya terjadi di luar rencana. Seharusnya sapi langsung mati, kuduga begitu mungkin batin Alwi. Runtuh sudah kediriannya, tak ‘kan dielu-elukan lagi sebagai penyembelih sapi handal, sebagai tukang jagal termasyhur.
Sebagian orang menatap Alwi yang bagai tak bisa bergerak itu. Menatapnya dengan tatapan menertawakan: kena kau, Kek!
Matahari yang panas baru beranjak dari atas kepala.
Tiba-tiba sapi yang tak kunjung menemui ajal itu—yang sudah banyak mengeluarkan darah dari lehernya—menyeruduk gedeg tak jauh dari pohon mete yang ranting-ranting rendahnya sudah tak bisa diharapkan dapat menjadi buah itu. Oh! Orang-orang hampir bersamaan berteriak “Oh!”, termasuk juga Alwi. Aku juga tak mau ketinggalan, “Oh!”
***
Gedeg yang kena seruduk sapi itu adalah penghalang orang yang akan buang hajat. Gedeg itu cukup aneh letaknya, mengingat kurang jauh dari warung rujak. Di dalam gedeg yang pintu masuknya hanya seadanya itu—orang yang akan buang hajat tinggal merundukkan separuh badan. Lalu diteruskan dengan ambil posisi jongkok dan tentu harus segera cepat-cepat memencet hidung mengalihkan pernapasan ke mulut—satu lubang seukuran lubang WC terlihat di tanah. Iya, itu memang WC—WC tradisional orang kampung—yang kami sebut kakos. Hebatnya, jika orang tidak jijik—dengan tetap menutup hidung tentu—tumpukan hajat bisa dilihat dari atas dan bentuknya seperti bubur kecoklatan. Di tempat itulah kami menyelesaikan urusan hajat.
Kaki kanan depan sapi masuk ke lubang itu. Orang-orang semakin bilang “Oh!”, sangat cepat sekali seperti berwirid. Sementara salah satu kaki sapi sudah masuk lubang itu, ternyata lubang itu pecah seketika seiring sapi mulai tak bergerak. Sesaat kemudian, sepertinya sapi berhenti bergerak. Akhirnya malaikat maut datang juga, mungkin. Sapi itu tercebur ke kumpulan hajat orang banyak.
Sapi itu—yang dagingnya merupakan hajat orang banyak demi merayakan hari kemenangan lebaran besok—telah masuk ke tempat hajat hampir semua orang di kampung kami. Hajat mulia kami yang melekat pada sapi bertemu dan bersatu padu dengan hajat kami di dalam kakos. Dan, siapapun tak akan pernah bilang bahwa di dalam kakos itu adalah hajat mulia.
***
Lebaran memang ditunggu-tunggu, tentu. Dan akan lebih ditunggu-tunggu lagi manakala persiapan menunggu “kembali ke fitri” itu sudah final. Jajan untuk menyuguhi para tamu sudah siap, pakaian baru sudah tinggal ambil di lemari, dan yang terakhir—ini maha penting bagi orang-orang kampung kami—memiliki daging sapi.
Sumber Gambar: tempo.co |
Bagi mereka yang ikut Kompolan Daging, akan memperoleh daging setelah sapi yang disembelih dipotong-potong. Dan sekarang, seafdholnya, kami mestinya telah bisa menerima jatah daging sapi dan kami bisa langsung memasaknya dan bahkan bisa menyantapnya di buka puasa terakhir andai saja tidak terjadi peristiwa Hajat bertemu hajat itu (pada bagian ini aku menuliskan hajat yang pertama—hajat lebaran kami—dengan H kapital, kawan, untuk menunjukkan padamu bahwa itu mulia).
“Kualat itu Alwi!” Beberap orang mengumpat.
Sementara lelaki tukang jagal sapi itu, berusaha menebus rasa malunya di sana, di bawah pohon jambu mete itu. Kulihat, warna wajah Alwi biru-gelap keungu-unguan. Warna wajahnya itu bisa dikatakan adalah ungkapan dari perasaannya yang berkecamuk: harga diri yang rontok, malu, jijik, ngeri, mentalnya ciut dan entah apa lagi yang bersilasak di batin lelaki itu.
Dengan warna wajahnya itu ia turun ke lubang tempat sapi tercebur. Tak terbayangkan, betapa beraninya lelaki itu, ia turun ke tempat hajat orang banyak yang sudah membusuk.
Orang-orang yang tadinya menjauh menyelamatkan diri dari serudukan sapi—yang tak tega melihat Alwi sendirian hendak mengangkat tubuh sapi malang itu dari tempat hajat orang banyak itu—mendekat. Dengan tangan kiri memencet hidung, mereka menahan jijik—yang mungkin juga hajatnya ada di lubang itu—mengulurkan tangan pada Alwi yang bergulat dengan sapi mati di kakos.
Pada akhirnya, orang-orang bahu-membahu mengangkat sapi dari kubangan hajat itu. Tali tambang yang sedianya mau dipakai untuk mengikat keempat kaki sapi tadi sebelum disembelih, diulurkan ke Alwi.
Beberapa kayu panjang dan bambu didatangkan sebagai alat bantu mengangkat sapi. Aku tak mengikuti orang-orang itu. Perutku yang dari tadi mual bertambah mual dan ingin muntah. Air mataku tak bisa kutahan gara-gara bergelut dengan rasa mual yang membuncah. Bau hajat menyebar ke mana-mana. Lalat-lalat berhamburan.
Tubuh Alwi yang terlihat hanya kepala, sementara tubuh ke bawah dari kepala, Masya Allah, tenggelam ke hajat orang banyak. Jelas-jelas Alwi mau muntah.
Sementara itu, kulihat, orang-orang yang tidak terlibat dengan pengangkatan sapi dari kakos itu merengutkan wajahnya. Ada yang sambil menahan kecewa sekaligus kasihan pada Alwi, pulang dengan tangan hampa karena mungkin hatinya tak mengijinkan untuk menerima daging sapi yang telah lebih dulu masuk ke pembuangan justu sebelum masuk ke dalam perut. Ada yang bertahan menunggu, toh nanti juga akan dibersihkan, ini sudah menjadi suratan—begitu mungkin batin mereka.
Kedua kubu yang saling berseberangan itu, hampir semuanya mual-mual. Bahkan ada yang sudah muntah meski hanya berbentuk air. Karuan saja, pahitlah mulut mereka yang muntah. Perut tak ada isinya karena memang waktu itu masih hari puasa—puasa terakhir. Andai aku tahu akan begini jadinya, pasti aku menolak perintah Ibu untuk mengantikan Ayah mengambil jatah daging sapi yang disembelih Alwi itu.
Dengan susah payah—dengan kekuatan seadanya yang dikuat-kuatkan dan didorong rasa amat-sangat malu—Alwi, dibantu orang-orang akhirnya bisa mengangkat sapi dari tumpukan hajat orang banyak itu.
Kulihat, warna wajah Alwi semakin membiru, semakin menggelap dan semakin keungu-unguan.
Rasa-rasanya tak akan kembali ke warna aslinya yang hitam berminyak dan kusam.
***
“Sudah selesai, Cong. Kok lama?” kata Ibu sesaat setelah aku menyodorkan plastik hitam berisi daging sapi padanya.
“Tak apa-apa, Bu,” jawabku sekenanya.
Ibuku yang tidak tahu menahu soal peristiwa Hajat bertemu hajat itu, langsung sigap memulai acara dapur yakni masak-memasak daging sapi yang telah kuberikan itu. Aku tak menemukan kalimat yang tepat untuk memberitahu. Akhirnya kuambil prinsip, bahwa Ibu tahu atau tidak soal sapi yang tercebur ke kakos itu sama tidak pentingnya. Toh sapi sudah dicuci, menghabiskan sepuluh So Klin ukuran satu kilo gram.
Dan langkah terbaik selanjutnya adalah, sebaiknya aku tidur saja. Biar setelah bangun nanti tahu-tahu buka puasa telah tiba.
Aku tidur dengan susah payah sampai akhirnya Ibu membangunkanku untuk buka puasa.
“Cong,” kata Ibu, menggerak-gerakkan lenganku. “Sudah saatnya berbuka,” lanjutnya.
Aku langsung ke dapur dari kamar.
Di dapur, Ayah yang sepertinya baru datang dari kebun, mulai makan. Ibu memasang nasi di piring. Adikku yang hanya berpuasa setengah hari juga ikut berbuka.
“Itu, Cong, daging sapinya. Sengaja Ibu masak beberapa potong untuk buka puasa,” kata Ibu sembari menunjuk daging sapi di atas piring yang berkuah kecoklatan, perpaduan warna antara kecap dan bumbu.
“Untunglah Ayahmu selalu ikut Kompolan Daging, Cong. Jadinya, sempurnalah besok kita lebaran. Hajat keluarga telah tertunaikan dengan daging sapi.”
Ibu memasang daging di piringnya yang telah berisi nasi. Ibu makan. Lahap.
“Empuk sekali dagingnya, Cong, enak.”
“Iya, empuk sekali.” Ayahku menambahi.
“Enak. Nyam-nyam-nyam,” kata adikku, mulutnya belepotan kuah daging.
“Hmmm. Enak, Bhing.” Ayah dan Ibu bersamaan bilang itu pada adikku.
Di dalam perutku, seperti ada sesuatu yang bergerak, menyodok-nyodok ke atas. Di dalam kepalaku, terbayang hajat orang banyak tempat sapi berkubang siang tadi—yang berwarna kecoklatan itu, seperti warna daging yang terhidang di depanku.
“Kenapa Kakak tak makan, Bu?” tanya adikku, sambil mengunyah daging.
“Lho. Makan, Cong,” perintah Ayah, juga sambil mengunyah daging.
“Makan, Cong, enak,” kata Ibu, juga dalam posisi sama dengan adik dan Ayahku: mengunyah daging.
“Iya, Bu,” kataku pelan.
Sesuatu dalam perutku bergerak semakin kencang. Kepalaku pening. Aku hendak muntah tapi masih bisa kutahan. Mulutku terasa pahit. Kedua tangan kutaruh di perut. Sambil menahan muntah, kulihat ketiga keluargaku yang makan lahap itu, semua menghentikan makannya tiba-tiba mendapati keadaanku yang begitu. Semua menatapku dengan curiga.
“Jadi lelaki kok leter begitu kau, Cong. Manja. Sudah dicuci bersih ini,” kata Ibu.
Aku mengernyitkan dahi. Ibu mamasangkan nasi ke piring di depanku berikut daging sapi dan kuahnya. Sebelum Ibu selesai memasangkan kuah daging ke piring di depanku, tiba-tiba loudspeaker musallah tak jauh dari rumah kami berbunyi. Berbunyi ganjil dan tak biasanya. Bukan adzan Maghrib yang berkumandang, tapi suara seseorang bergetar dan dapat dengan mudah dikenali siapa pengucapnya.
“Assalamu’alaikum, semuanya. Kepada seluruh warga dan terutama Jama’ah Kompolan Daging, saya, Alwi si tukang jagal, mohon maaf sebesar-besarnya. Tak dinyana, saya memang sungguh keterlaluan. Dan, jangan khawatir, sapi yang sedang kalian santap dalam buka puasa terakhir itu, sudah dicuci sebersih-bersihnya. Saya menjamin. Halal...”
Suara Alwi berganti batuk-batuk panjang setelah mengucapkan itu. Kami menyimak dengan seksama apa yang dikatakan Alwi di loudspeaker. Ayah, Ibu, dan adikku, berhenti mengunyah makanan. Lalu Alwi melanjutkan, “Mulai sekarang, saya menyatakan pangsiun dari jabatan tukang jagal. Harap maklum. Yang Maha Kuasa telah menegur saya dan saya mengerti. Terima kasih. Wassalam.”
Setelah selesai mendengarkan Alwi menyatakan sikap itu, Ayah, Ibu, dan adikku, melanjutkkan santapan hidangan. Aku enggan-engganan menyentuh hidangan di depanku. Dan, di tengah lahapnya keluargaku terhadap hidangan buka puasa daging Kompolan Daging itu, tiba-tiba suana berbuka puasa berubah. Ayah, Ibu dan adikku, muntah di piring masing-masing.
Yogyakarta-Madura, 2010-2014
Catatan :
Sape Jhegir (Madura): sapi perawan/sapi yang belum penah melahirkan
Leter (Madura): centil/genit
Kek (Madura): panggilan sesama lelaki, semacam panggilan “Bung”
Cong/Kacong (Madura): panggilan untuk anak lelaki
Bhing/Cebbhing (Madura): panggilan untuk anak perempuan
*Cerpen ini pernah dipublikasikan di Majalah Advokasia Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Edisi 14 Tahun 2014.
Rachem Siyaeza, lahir di Sumenep dan bermukim di Yogyakarta sejak 2007
0 comments :
Post a Comment