Cerpen : Nurul Ilmi El-Banna
Siapa tak kenal Sulastri? Sinden yang tengah naik daun dari kampung kami. Sejak musim kawin tahun lalu ia mulai dikenal sebagi sinden paling ngetop mengalahkan pamor Sumiati, sinden lama. Di musim kawin tahun ini Sulastri menjadi rebutan untuk diundang sebagai hiburan. Di mana-mana orang membicarakan Lastri-nama panggilan orang kampung kami pada sinden yang tak jelas asal muasalnya itu- entah yang tua maupun anak muda.
“Lastri sekarang jadi idola di acara kawinan”
“Ah, masa sih?”
“Iya, betul”
Laki-laki mana yang tidak akan tertarik melihat paras cantik dan tubuhnya yang dibalut kebaya ketat ketika nyinden. Setiap jengkal tubuhnya bisa menyihir para lelaki untuk naik ke atas pentas dan memberikan saweran kepada Lastri sampai kutangnya penuh sesak oleh uang. Seperti biasa, asistennya akan datang tergopoh-gopoh mengambil uang itu dengan muka sumringah.
Sudah menjadi hal biasa bila hampir semua lelaki di kampungku dibuat jatuh hati oleh seorang Sinden, dari golongan mereka yang sudah punya istri maupun yang masih lajang. Tetapi kejadian itu terasa aneh bila menimpa Samsul Arifin, anak Haji Rouf, guru ngaji di kampung kami. Pasalnya dia pernah hidup di lingkungan pesantren selama bertahun-tahun.
Para lelaki, terutama yang sudah beristri sadar bahwa dirinya tak akan sanggup memiliki Lastri. Setelah puas bisa menari dan ngijung bersama lastri di acara kawinan mereka akan pulang dengan kantong kosong yang telah terkuras untuk saweran. Sehingga membuat para istri-istri tak henti membicarakan bagaimana caranya membuat sang suami berpaling dari Lastri dan tidak lagi merelakan uang untuknya.
“Suamiku sering lupa diri kalau sedang saweran, sampai uang belanja pun habis”
“Iya, Yu. Gara-gara sinden uang belanja berkurang”
Bahkan, kabar mengejutkan mulai tersiar. Sejak tiga hari yang lalu orang-orang santer membicarakan kalau Samsul akan segera melamar Lastri. Namun keinginannya itu mendapat penolakan keras dari Haji Rouf.
Semua orang sekampung heran dengan sikap Samsul yang tanpa pikir panjang ingin menjadikan Lastri sebagai istri. Pak Haji bahkan sempat berpikir jangan-jangan Samsul terkena letrek sehingga tak mampu berpikir jernih. Padahal sebelumnya Samsul dikenal sebagai pemuda yang baik dan suka membantu pak Haji mengajar ngaji di surau.
Masalahnya bukan cuma karena Lastri adalah seorang sinden. Tetapi semua orang sudah tahu kalau dia adalah bekas perempuan Dolly yang terbuang akibat penutupan tempat prostitusi itu. Maka tak heran bila pak Haji Rouf dan orang sekampung dibuat tercengang dengan niat Samsul.
“Dia itu bekas Dolly, kok maunya Samsul yang dulu alim mempersunting dia” Kata Bu Jum kepada para pembeli di warungnya.
“Namanya juga jatuh cinta, Buk” Si pembeli menimpali.
Orang-orang kampung kami awalnya tak menerima kedatangan Lastri. Namun karena rasa iba melihat ia tak punya rumah dan keluarga untuk menampungnya warga kampung akhirnya sepakat menerimanya dengan syarat dia tidak boleh melanjutkan pekerjaannya sebagai perempuan malam. Selebihnya karena ia masih keponakan pak RT yang kami segani.
Dahulu, jauh sebelum kedatangan Lastri, para sinden di kampung kami dikenal sebagai sinden Potre Koneng yang mencerminkan paras dan tabiat salah satu putri raja Sumenep. Sinden tak hanya dikenal dengan kecantikannya, namun juga karena kebaikan hati dan keluhuran budinya. Sinden-sinden terdiri dari para anak gadis yang masih perawan, sehingga apabila sang sinden memutuskan untuk bersuami maka ia harus berhenti dari pekerjaannya. Tidak hanya itu sinden Potre Koneng tidak menerima saweran seperti sinden lainnya, mereka hanya mengharapkan bayaran dari tuan rumah. Peraturan tak tertulis itu telah dipatuhi turun temurun.
Semenjak Lastri ikut memproklamirkan diri menjadi sinden hingga dia populer seperti sekarang peraturan itu tak lagi ada yang mengingatnya. Sinden dari kampung kami pun tak lagi dikenal sebagi sinden Potre Koneng.
***
Hari ini Lastri tampil dalam acara pernikahan di rumah Bapak Sono. Seperti biasa para lelaki bergiliran naik ke atas pentas untuk ikut menari sekaligus menumpahkan saweran. Pentas yang tak begitu tinggi bertempat di tengah para tamu membuat siapa saja bisa naik, tak peduli meski sudah berumur tua.
Suasana pesta berlangsung tenang sampai kedatangan Samsul di atas pentas mengundang pembicaraan para tamu di berbagai sudut. Selain ikut menari dan menyawer Samsul sepertinya tak berniat turun pentas seperti kawannya yang lain walaupun bunyi gamelan telah berhenti sejak beberapa menit yang lalu.
Para tamu membicarakan keanehan Samsul dalam kelompok-kelompok kecil, bahkan ada sebagian tamu lelaki menyorakinya. Tidak ada yang berani menyuruh Samsul turun pentas walaupun Lastri dengan tegas menolak ditemani olehnya.
“Samsul, turun!” Suara keras Haji Rouf mengangetkan.
Semua orang ketar-ketir dengan kejadian itu. Tak satupun mampu memandang raut wajah Haji Rouf bila sedang marah.
“Saya akan turun kalau Abah merestui saya untuk melamar Lastri” Jawab Samsul dengan suara sedikit gemetar. Walau bagaimana pun Haji Rouf tetaplah seorang bapak yang dia segani.
“Memalukan sekali sikapmu yang kekanak-kanakan ini, perbuatanmu telah mencoreng nama baikku” Haji Rouf semakin marah melihat perlawanan Samsul. Para tamu yang terdiri dari tetangga dan orang-orang kampung sebelah hanya bisa mengusap dada tanpa bisa melakukan apapun untuk menengahi.
Suasana sangat tegang sampai akhirnya Haji Rouf terpaksa menyeret Samsul untuk pulang sembari memukulnya dengan sehelai sorban.
Lepas peristiwa itu acara tetap dilanjutkan. Bapak Sono sang tuan rumah mulai tersenyum kembali setelah sempat ketakutan kalau-kalau acaranya akan bubar ditinggal para tamu pulang.
Lelaki yang ingin ikut menari menaiki pentas lagi. Tak lupa dengan memamerkan beberapa uang kertas lima ribuan di tangannya, pertanda akan menambah saweran. Wajah Lastri masih agak pucat mengingat peristiwa yang dialaminya. Tetapi dia paksakan untuk tersenyum walau masam.
“Dasar suami-suami tak tau diri, masih saja tergila-gila sama Lastri” Bu Emma mulai bersuara setelah melihat suaminya sedang asyik berjoget di atas pentas.
“Lihat saja suamiku itu, entah berapa banyak uang yang telah dihabiskan untuk saweran” Bu Supiah menimpali sambil melirik ke atas pentas.
Tak hanya dua perempuan itu yang kesal bila melihat suami mereka tengah asyik berjoget dan mengahabiskan banyak uang untuk saweran. Semua istri merasakan hal yang sama. Betapa kesalnya bila mengingat bahwa untuk belanja sehari-hari mereka amat pelit pada istrinya. Sehingga menjadi suatu kewajaran di kampung kami kalau seorang istri ikut bekerja untuk menutup kekurangan uang belanja.
***
Hari-hari telah berlalu, semua orang mungkin telah melupakan peristiwa memalukan tersebut. Tetapi tidak bagi Samsul, kejadian itu membuat dirinya merasa malu untuk menyapa para tetangga, lebih-lebih untuk mengajar ngaji anak-anak.
Namun tak dia pedulikan itu semua, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana cara bisa mempersunting sang pujaan hati. Entah mengapa cintanya pada Sulastri tak dapat pergi. Samsul tak pernah patah semangat membujuk pak Haji agar memberikan restunya. Sayangnya, bukan Haji Rouf namanya, kalau gampang menyerah dan terpedaya oleh bujuk rayu anak muda seperti Samsul.
Dalam setiap acara kawinan Samsul masih menyempatkan hadir dan ikut menari bersama para lelaki yang lain seperti biasa, tak peduli betapa orang-orang senang sekali membicarakan tabiat barunya yang buruk.
Sampai satu peristiwa yang mencengankan datang kembali… Sudah dua hari Samsul tidak pulang ke rumah sejak keberangkatannya ke pesta perkawinan di desa sebelah. Buk Supiah, sebagai orang yang melahirkan Samsul terlihat paling gelisah dibandingkan suaminya. Sedang pak Haji Rouf sendiri tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya dari wajahnya terpancar rasa sesal sekaligus marah. Betapa tidak, Samsul anak satu-satunya tak henti berbuat aneh sejak mencintai Sinden kesohor itu.
Beberapa orang ikut mengkhawatirkan keadaan Samsul dan ikut mencarinya ke tempat-tempat yang biasa ia kunjungi. Orang-orang mengatakan bahwa Samsul memang datang ke pesta kawinan. Namun tetangga tidak ada yang tahu kemana Samsul pergi setelah pesta berakhir. Tuan rumah pun mengatakan tak tahu menahu dengan keberadaan Samsul.
Beberapa orang yang lain mulai berspekulasi mengenai keberadaan pemuda bertubuh agak kurus itu.
“Jangan-jangan Samsul kabur kerena tidak direstui”
“Bagaimana kalau dia kawin lari dengan Lastri?”
“Jangan-jangan Samsul sudah terkena pelet”
Pada akhirnya, Sinden Lastri semakin kesohor dan Samsul tak kalah terkenalnya sebagai tukang tabuh gamelan.
***
Malam semakin larut memasuki masa tuanya. Seorang perempuan usia lanjut mempersiapkan selimut.
“Begitulah ceritanya” Kata Nyai Lastri, istri Haji Samsul pemilik pondok pesantren di desa kami kepada dua orang cucu kembarnya menjelang tidur.
Nurul Ilmi El-Banna, Penulis kelahiran Sumenep, 21 Januari 1993. Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Karyanya terbit di media massa lokal dan nasional seperti Jawa Pos, Media Indonesia, Solopos, Pikiran Rakyat, Indopos dll. Karyanya juga terkumpul dalam beberapa antologi bersama Sebab Cinta (2013) dan Gemuruh Ingatan (2014). Berumah di LPM ARENA UIN SUKA. Email: nurul.ilmi21@gmail.com
Sumber Gambar: wisnujadmika.wordpress.com |
“Lastri sekarang jadi idola di acara kawinan”
“Ah, masa sih?”
“Iya, betul”
Laki-laki mana yang tidak akan tertarik melihat paras cantik dan tubuhnya yang dibalut kebaya ketat ketika nyinden. Setiap jengkal tubuhnya bisa menyihir para lelaki untuk naik ke atas pentas dan memberikan saweran kepada Lastri sampai kutangnya penuh sesak oleh uang. Seperti biasa, asistennya akan datang tergopoh-gopoh mengambil uang itu dengan muka sumringah.
Sudah menjadi hal biasa bila hampir semua lelaki di kampungku dibuat jatuh hati oleh seorang Sinden, dari golongan mereka yang sudah punya istri maupun yang masih lajang. Tetapi kejadian itu terasa aneh bila menimpa Samsul Arifin, anak Haji Rouf, guru ngaji di kampung kami. Pasalnya dia pernah hidup di lingkungan pesantren selama bertahun-tahun.
Para lelaki, terutama yang sudah beristri sadar bahwa dirinya tak akan sanggup memiliki Lastri. Setelah puas bisa menari dan ngijung bersama lastri di acara kawinan mereka akan pulang dengan kantong kosong yang telah terkuras untuk saweran. Sehingga membuat para istri-istri tak henti membicarakan bagaimana caranya membuat sang suami berpaling dari Lastri dan tidak lagi merelakan uang untuknya.
“Suamiku sering lupa diri kalau sedang saweran, sampai uang belanja pun habis”
“Iya, Yu. Gara-gara sinden uang belanja berkurang”
Bahkan, kabar mengejutkan mulai tersiar. Sejak tiga hari yang lalu orang-orang santer membicarakan kalau Samsul akan segera melamar Lastri. Namun keinginannya itu mendapat penolakan keras dari Haji Rouf.
Semua orang sekampung heran dengan sikap Samsul yang tanpa pikir panjang ingin menjadikan Lastri sebagai istri. Pak Haji bahkan sempat berpikir jangan-jangan Samsul terkena letrek sehingga tak mampu berpikir jernih. Padahal sebelumnya Samsul dikenal sebagai pemuda yang baik dan suka membantu pak Haji mengajar ngaji di surau.
Masalahnya bukan cuma karena Lastri adalah seorang sinden. Tetapi semua orang sudah tahu kalau dia adalah bekas perempuan Dolly yang terbuang akibat penutupan tempat prostitusi itu. Maka tak heran bila pak Haji Rouf dan orang sekampung dibuat tercengang dengan niat Samsul.
“Dia itu bekas Dolly, kok maunya Samsul yang dulu alim mempersunting dia” Kata Bu Jum kepada para pembeli di warungnya.
“Namanya juga jatuh cinta, Buk” Si pembeli menimpali.
Sumber Gambar: arissetiawan.etnomusikologi.blogspot.com |
Dahulu, jauh sebelum kedatangan Lastri, para sinden di kampung kami dikenal sebagai sinden Potre Koneng yang mencerminkan paras dan tabiat salah satu putri raja Sumenep. Sinden tak hanya dikenal dengan kecantikannya, namun juga karena kebaikan hati dan keluhuran budinya. Sinden-sinden terdiri dari para anak gadis yang masih perawan, sehingga apabila sang sinden memutuskan untuk bersuami maka ia harus berhenti dari pekerjaannya. Tidak hanya itu sinden Potre Koneng tidak menerima saweran seperti sinden lainnya, mereka hanya mengharapkan bayaran dari tuan rumah. Peraturan tak tertulis itu telah dipatuhi turun temurun.
Semenjak Lastri ikut memproklamirkan diri menjadi sinden hingga dia populer seperti sekarang peraturan itu tak lagi ada yang mengingatnya. Sinden dari kampung kami pun tak lagi dikenal sebagi sinden Potre Koneng.
***
Hari ini Lastri tampil dalam acara pernikahan di rumah Bapak Sono. Seperti biasa para lelaki bergiliran naik ke atas pentas untuk ikut menari sekaligus menumpahkan saweran. Pentas yang tak begitu tinggi bertempat di tengah para tamu membuat siapa saja bisa naik, tak peduli meski sudah berumur tua.
Suasana pesta berlangsung tenang sampai kedatangan Samsul di atas pentas mengundang pembicaraan para tamu di berbagai sudut. Selain ikut menari dan menyawer Samsul sepertinya tak berniat turun pentas seperti kawannya yang lain walaupun bunyi gamelan telah berhenti sejak beberapa menit yang lalu.
Para tamu membicarakan keanehan Samsul dalam kelompok-kelompok kecil, bahkan ada sebagian tamu lelaki menyorakinya. Tidak ada yang berani menyuruh Samsul turun pentas walaupun Lastri dengan tegas menolak ditemani olehnya.
“Samsul, turun!” Suara keras Haji Rouf mengangetkan.
Semua orang ketar-ketir dengan kejadian itu. Tak satupun mampu memandang raut wajah Haji Rouf bila sedang marah.
“Saya akan turun kalau Abah merestui saya untuk melamar Lastri” Jawab Samsul dengan suara sedikit gemetar. Walau bagaimana pun Haji Rouf tetaplah seorang bapak yang dia segani.
“Memalukan sekali sikapmu yang kekanak-kanakan ini, perbuatanmu telah mencoreng nama baikku” Haji Rouf semakin marah melihat perlawanan Samsul. Para tamu yang terdiri dari tetangga dan orang-orang kampung sebelah hanya bisa mengusap dada tanpa bisa melakukan apapun untuk menengahi.
Suasana sangat tegang sampai akhirnya Haji Rouf terpaksa menyeret Samsul untuk pulang sembari memukulnya dengan sehelai sorban.
Lepas peristiwa itu acara tetap dilanjutkan. Bapak Sono sang tuan rumah mulai tersenyum kembali setelah sempat ketakutan kalau-kalau acaranya akan bubar ditinggal para tamu pulang.
Lelaki yang ingin ikut menari menaiki pentas lagi. Tak lupa dengan memamerkan beberapa uang kertas lima ribuan di tangannya, pertanda akan menambah saweran. Wajah Lastri masih agak pucat mengingat peristiwa yang dialaminya. Tetapi dia paksakan untuk tersenyum walau masam.
“Dasar suami-suami tak tau diri, masih saja tergila-gila sama Lastri” Bu Emma mulai bersuara setelah melihat suaminya sedang asyik berjoget di atas pentas.
Sumber Gambar:vemale.com |
Tak hanya dua perempuan itu yang kesal bila melihat suami mereka tengah asyik berjoget dan mengahabiskan banyak uang untuk saweran. Semua istri merasakan hal yang sama. Betapa kesalnya bila mengingat bahwa untuk belanja sehari-hari mereka amat pelit pada istrinya. Sehingga menjadi suatu kewajaran di kampung kami kalau seorang istri ikut bekerja untuk menutup kekurangan uang belanja.
***
Hari-hari telah berlalu, semua orang mungkin telah melupakan peristiwa memalukan tersebut. Tetapi tidak bagi Samsul, kejadian itu membuat dirinya merasa malu untuk menyapa para tetangga, lebih-lebih untuk mengajar ngaji anak-anak.
Namun tak dia pedulikan itu semua, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana cara bisa mempersunting sang pujaan hati. Entah mengapa cintanya pada Sulastri tak dapat pergi. Samsul tak pernah patah semangat membujuk pak Haji agar memberikan restunya. Sayangnya, bukan Haji Rouf namanya, kalau gampang menyerah dan terpedaya oleh bujuk rayu anak muda seperti Samsul.
Dalam setiap acara kawinan Samsul masih menyempatkan hadir dan ikut menari bersama para lelaki yang lain seperti biasa, tak peduli betapa orang-orang senang sekali membicarakan tabiat barunya yang buruk.
Sampai satu peristiwa yang mencengankan datang kembali… Sudah dua hari Samsul tidak pulang ke rumah sejak keberangkatannya ke pesta perkawinan di desa sebelah. Buk Supiah, sebagai orang yang melahirkan Samsul terlihat paling gelisah dibandingkan suaminya. Sedang pak Haji Rouf sendiri tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya dari wajahnya terpancar rasa sesal sekaligus marah. Betapa tidak, Samsul anak satu-satunya tak henti berbuat aneh sejak mencintai Sinden kesohor itu.
Beberapa orang ikut mengkhawatirkan keadaan Samsul dan ikut mencarinya ke tempat-tempat yang biasa ia kunjungi. Orang-orang mengatakan bahwa Samsul memang datang ke pesta kawinan. Namun tetangga tidak ada yang tahu kemana Samsul pergi setelah pesta berakhir. Tuan rumah pun mengatakan tak tahu menahu dengan keberadaan Samsul.
Beberapa orang yang lain mulai berspekulasi mengenai keberadaan pemuda bertubuh agak kurus itu.
“Jangan-jangan Samsul kabur kerena tidak direstui”
“Bagaimana kalau dia kawin lari dengan Lastri?”
“Jangan-jangan Samsul sudah terkena pelet”
Pada akhirnya, Sinden Lastri semakin kesohor dan Samsul tak kalah terkenalnya sebagai tukang tabuh gamelan.
***
Malam semakin larut memasuki masa tuanya. Seorang perempuan usia lanjut mempersiapkan selimut.
“Begitulah ceritanya” Kata Nyai Lastri, istri Haji Samsul pemilik pondok pesantren di desa kami kepada dua orang cucu kembarnya menjelang tidur.
Nurul Ilmi El-Banna, Penulis kelahiran Sumenep, 21 Januari 1993. Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Karyanya terbit di media massa lokal dan nasional seperti Jawa Pos, Media Indonesia, Solopos, Pikiran Rakyat, Indopos dll. Karyanya juga terkumpul dalam beberapa antologi bersama Sebab Cinta (2013) dan Gemuruh Ingatan (2014). Berumah di LPM ARENA UIN SUKA. Email: nurul.ilmi21@gmail.com
0 comments :
Post a Comment