Sumber Gambar: kuaskanvas.com |
Orang-orang Yunani percaya kalau untuk memahami alphabet, mereka harus bisa membaca dan menulis, sehingga gagasan-gagasan akan muncul dan dari situ mereka akan memasuki dunia intelektual.
Namun di sini saya tidak bermaksud membahas sejarah intelektual secara detail dan mendalam. Saya hanya ingin mengajak generasi muda untuk suka mebaca dan menulis, sebab inilah yang menjadi titik lemah dari generasi sekarang, di mana perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat semua serba instan dan menjadikan generasi pemalas.
Buku dan segala yang berhubungan dengannya. Hampir telah di tinggalkan dan tidak jarang, buku dijadikan sebagai sebuah pelengkap saja dalam mengarungi ilmu pengetahuan, seperti: sekolah, kuliah, menghadiri diskusi dll. Kebanyakan dari mereka lebih tertarik mendapatkan ilmu pengetahuan melalui gadget ketimbang membaca langsung dari buku aslinya.
Persoalan ini yang saya kira sebagai penyebab pertama matinya budaya literer di kalangan anak muda. Meskipun masih banyak yang beranggapan kalau budaya literer pada saat ini masih hidup, namun bisa kita lihat bagaimana hidupnya budaya literer itu sendiri pada saat ini.
Saya tidak bermaksud mengatakan kalau karya dari generasi saat ini tidak bermutu dan tidak menarik untuk dibaca dan dikaji, namun ini lebih kepada sejauh mana orang itu berusaha menghasilkan karya yang bagus dan menarik. Sebab sebuah karya yang bagus dan menarik tidak di ukur dari seberapa lama orang itu menulis namun seberapa banyak dia membaca dan menulis.
Generasi sekarang ingin cepat terkenal dan menjadi orang besar, sehingga apapun akan mereka lakukan walau itu tidak mendukung untuk menghasilkan karya yang berkualitas. Mereka (generasi muda) berlomba-lomba menghasilkan karya yang banyak sehingga bisa disebut sebagai penulis dan penyair, mereka tak peduli apa yang mereka tulis, yang penting nulis dan di baca banyak orang.
Tidakkah kita belajar pada sejarah orang-orang besar yang melahirkan karya-karya berkualitas dan memberi sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Kita lihat saja bagaimana Karl Max menjalani hidup sehari-hari hingga dia menjadi orang besar dan melahirkan karya besar pula.
Konon, dalam beberapa sumber literasi yang saya temukan. Sosok berjenggot lebat ini memiliki agenda tersendiri tiap harinya: agenda membaca buku. Sekitar bangun pukul tujuh dengan kebiasaan meminum kopi pahit, lalu tanpa basa-basi dengan sinar matahari ia langsung masuk ruang belajar, menutup pintu dan duduk memegang buku. Setiap hari agenda semacam itu Karl Max lakukan, tak peduli hidupnya monoton, sebab membaca adalah ibadah baginya. Max tak terkonsep waktu, ia membaca buku siang malam. Mencumbui buku, memandangi buku, tidur dengan buku, ber-tubuh buku, ber-kekasih buku.
Sumber Gambar: alicdn.com |
Itulah Max. Begitulah sejarah hidup Max dengan buku. Mengenal Max termasuk mengnal buku apalagi Membaca Max adalah membaca buku yang melimpah pengetahuannya. Lalu ini yang kemudian menghasilkan pemikiran-pemikiran mencengangkan Max, membuka sejarah dunia, dan mebuat gerah kapitalisme yang ditopang oleh karya “Das Kapital” yang berjilid-jilid itu.
Terbitnya fajar pencerahan bagi harapan-harapan baru, munculnya statemen revolusi mental dari pemimpin baru, tentunya momen demikian terfokus pada para generasi muda (walau tidak sepenuhnya), para pelajar—para mahasiswa yang memiliki peran vital dalam bayang-bayang Negara maju dan sejahtera. Para generasi muda saat ini adalah hamparan alam semesta yang menumbuhkan bibit-bibit pengetahuan yang multiguna, yang berlindung di bawah bendera yan sama--satu tujuan satu arah langkah menuju Indonesia baru; indonesia yang maju dari segala sisi kehidupan dan pengetahuan. Namun benarkah seperti itu generasi muda saat ini?
Satu-satunya memahami keadaan generasi muda Indonesia adalah dengan realitas, di mana fakta lapangan dapat ditangkap rasio sebagai kebenaran. Para generasi saat ini bisa dibilang generasi yang buta dan pikun terhadap buku, ironisnya para pelajar/mahasiswa tidak bisa bersembunyi dengan keapatisannya terhadap buku. Mereka menjadi sangat pragmatis dengan memasuki lembaga pendidikan yang akrab di sebut institusi/universitas itu, mereka memandang sekolah hanya untuk mendapatkan ijazah setelah itu lalu kerja dan hidup sudah sejahtera. Ini fakta, semua para generasi muda yang memasuki lembaga pendidikan adalah demi sebuah ijazah, demi sebuah pekerjaan. Bukan untuk ilmu pengetahuan, bukan untuk mengenal buku.
Fenomena ini bukan fiktif. Dan memang ideologi pragmatis yang terlanjur dibangun adalah mengenai pandangan mereka tentang kepentingan ijazah semata. Ijazah melibihi pengetahuan, ijazah melebihi buku. Tak ayal kemudian jika masyarakat Indonesia berwatak robot, yang ingin diperintah terus oleh sistem pekerjaan.
Maka kondisi ini sangat mudah dimafhumi, sebagaimana penjelasan Radhar Panca Dahana dalam esai 1980-annya, bahwa generasi yang kemudian hari juga disebut sebagai ”generasi X” ini hidup dan berkembang dalam realitas politik, sosial, dan kultural yang penuh tekanan karena otoritarianisme rezim Orde Baru. Sebagaimana kerap juga ia nyatakan dalam esai Generasi Digital 2012, bukan korupsi Rp 150 triliun atau kekerasan politik-militer Soeharto yang generasi ini sesalkan, melainkan hancur dan rusaknya daya khayal atau imajinasi remaja dan anak muda karena indoktrinasi dan teror mental yang dipraktikkan rezim. Maka tidak salah kalau pada saat ini anak-anak muda sering di katakana sebagai generasi instan dan pemalas.
Alunk Estohank, mahasiswa di Universitas Hasyim Asy’arie Institute, Cabeyan Sewon Bantul.
0 comments :
Post a Comment