Oleh: Abdul Waid
Sebelum timah panas itu menghampiri jantung, pelukis itu masih meliuk-liukkan ujung kuasnya seraya menumpahkan segala kegelisahannya di atas kanvas. Perpaduan antara nalar seninya yang cukup tajam dan perasaannya yang mencekam ketika menunggu butir peluru menerobos dada kirinya, melahirkan ragam lukisan yang sarat makna, menyentuh sanubari, menggugah nurani.
Pelukis itu bernama Myuran Sukumaran (1981-2015), satu diantara delapan terpidana mati yang dieksekusi pada 29 April 2015 yang lalu. Sepuluh tahun silam, ia ditangkap karena menyelundupkan heroin seberat 8,3 kilogram. Takdir merenggang nyawa di depan regu tembak pun menghinggapi dirinya.
Satu diantara sederet karyanya yang digarap di tengah ditik-detik menjelang mautnya adalah lukisan Merah Putih—ada yang menyebut Merah Putih Berdarah—dengan asosiasi darah yang menetes. Lukisan ini hanya terdiri dari dua warna; merah dan putih. Warna merah berada di atas putih sebagaimana laiknya bendera bangsa kita. (Baca juga: Facebook dan Jati Diri Penulis)
Orang mungkin mengira tak ada hal yang istimewa dari lukisan ini. Anak TK pun bisa menggarap lukisan bendera merah putih. Hanya sekadar membuat kotak persegi panjang, dibumbuhi warna merah dan putih, jadilah lukisan bendera. Selesai!
Tapi, tidak seenteng itu melirik lukisan Myuran ini. Lukisan ini sangat kokoh dalam pola ungkapan filosofis, pilihan obyek, konsep, serta pesan filosofis yang tersirat di dalamnya. Pesan filosofis itu dimulai dari akar makna bendera negeri kita yang tidak cukup sekadar dipahami dengan merah bermakna berani, dan putih bermakna suci.
Seturut penelusuran sejarah lahirnya negeri ini, bendera merah putih berasal dari kerajaan Majapahit yang memiliki bendera Gula Kelapa. Tri Utomo mengungkapkan dalam Berburu di Hutan Makna (2014), falsafah hidup yang diajarkan buah kelapa sebagaimana diteguhkan kerajaan Majapahit adalah, warna Merah (Nira Gula Merah) dan warna Putih (Santan Kelapa) tidak hanya mengajarkan keberanian, tetapi juga keluhuran budi, kebersamaan, kesucian (Tri Utomo, 2014; 176).
Kerajaan Mataram Kuno juga telah mewariskan pelajaran bersatunya nur Ibu (Merah) dan nur Rama (Putih) dalam tindak tanduk manusia, mahluk yang paling berbudaya. Keberanian (Merah) tak bisa mendominasi kesucian (Putih). Demikian pun sebaliknya. Jika muatan keberanian mengotori kesucian dalam prilaku seseorang—termasuk prilaku dan keputusan bangsa—maka ruhnya akan kering kerontang.
Oleh karena itu, Dwi Warna (Merah Putih) dalam bendera pusaka menegasikan sikap bangsa yang berani karena suci, berani karena luhur, berani karena adil, dan berani karena keberanian itu juga didedahkan dalam perkara-perkara lain yang memang mengundang keberanian.
Di ranah itulah lukisan Myuran Sukumaran mulai berbicara. Dalam lukisan Bendera Merah Putih, warna merah menetesi warna putih yang ada di bawahnya. Tetesan itu bukan kebetulan karena kelunturan cat minyak warna merah. Tetesan itu sengaja dibuat oleh pelukisnya. Warna putih pun menjadi kotor oleh hadirnya percik-percik warna merah yang menyerupai darah. Tetesan cat minyak warna merah dalam warna putih—seharusnya warna putih dalam bendera bersih dari warna lain—mengaduk-aduk persepsi melalui bahasa metafora untuk mendedahkan sengkarut sektor penegakan hukum kita.
Kekuatan simbolik dalam lukisan itu menggugah kesadaran bahwa negeri ini acap kali bernyali (baca: berani) untuk menegakkan hukum dalam suatu kasus, tetapi takut dalam kasus lain. Akibatnya, kesucian ruh penegakan hukum itu dikotori oleh keberanian itu sendiri.
Cerita tentang aparat penegak hukum yang sangat berani menindak seorang nenek tua yang keriput dan tua renta, namun minder ketika berhadapan dengan kalangan pelanggar hukum yang berdasi, atau tentang pisau hukum yang tajam pada orang jelata dan tumpul pada anak menteri, adalah bukti bahwa warna putih sebagai simbol kesucian tidak menjadi pondasi warna merah sebagai simbol keberanian.
Keberanian dan ketegasan pemerintah Indonesia mengeksekusi mati para terpidana mati narkotika namun tidak dibarengi dengan keberanian menyibak sederet kasus yang menyeret orang-orang penting di negeri ini menjadi titik tekan dalam lukisan Myuran ini. Melalui bahasa reflektif dan kiyasan, Myuran berbagi sebuah harapan akan penegakan hukum yang berani, namun tetap adil dan suci.
Di satu sisi, lewat lukisannya, Myuran mengakui bahwa dirinya salah karena telah menyelundupkan heroin seberat 8,3 kilogram dan pantas dieksekusi mati. Tetapi, keberanian pemerintah Indonesia mengeksekusi dirinya akan mengotori filososi kesucian penegakan hukum jika masih ada ewuh pakewuh dan tebang pilih dalam penegakan hukum. Ruh hukum pun menjadi senyap.
Sejenak mari kta belajar dari Sayyidina Umar Bin Khattab ketika menjabat sebagai Khalifah kedua di muka bumi. Beliau terkenal sangat berani dan tegas dalam menegakkan hukum. Tetapi, keberanian itu ditunjukkan kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Bahkan, anak kandungnya sendiri yang bernama Abu Syahmah juga dijatuhi hukuman cambuk ketika melakukan perzinahan. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa Abu Syahmah sampai menghembuskan nafas terakhir akibat hukuman cambuk yang dilakukan oleh Umar, ayahnya. Ini menandakan bahwa keberanian (Merah) tidak mendominasi kesucian (Putih), dan kesucian (Putih) menjadi landasan utama keberanian (Merah).
Memang, masih ada beberapa lukisan yang digarap Myuran Sukumaran. Yaitu, lukisan wajahnya sendiri yang diburamkan dengan garis-garis vertikal berjudul “Self Portrait Beneath the Shadow”. Dua lukisan lainnya tentang potret diri Myuran dengan kaki ditekuk ke depan berjudul “Self Portrait. A Strange Day”, serta “Self Postrait After a New Arrival” dengan bayangan hitam di sekitar kepala.
Jika ditelisik dengan cermat, dalam lukisan-lukisannya, sama sekali tidak muncul ungkapan protes dari seorang Myuran terhadap eksekusi mati dirinya. Ia bahkan menerimanya sebagai sebuah risiko dari perbuatannya. Hal itu terlihat dari sebuah lukisan yang menggambarkan dirinya dengan warna latar hitam. Di lukisan itu, Myuran tampak pasrah. Ada sebuah lubang cukup besar di bagian dada sebelah kiri seolah bekas tembus peluru tajam.
Yang dipinta oleh Myuran lewat ekspresi seninya hanyalah kemurahan hati pemerintah Indonesia, pengampunan, keringanan hukuman, sebab dirinya telah berubah dan menjadi orang baik. Permohonan itu digambarkan dari lukisan tentang dirinya dalam posisi seperti janin yang diberi judul “Self Portrait after our New Arrivals. A Bad Sleep Last Night”. Lukisan itu seakan hendak memberi kabar bahwa Myuran telah berubah 180 derajat: bertaubat, tidak terpengaruh oleh narkotika lagi pun tidak mengedarkanya, dan telah memulai hidup baru sebagaimana janin yang baru lahir ke dunia.
Jika tidak diberi pengampunan, Myuran memohon sebuah keberanian penegakan hukum yang berlandaskan kesucian (keadilan). Setiap hukum harus ditegakkan dengan kesucian, keluhuran, keadilan, sebagaimana warna putih sebagai simbolnya.
Pungkasnya, Myuran membuat lukisan yang menunjukkan hitung mundur menuju kematiannya dengan judul “Self Portrait 72 hours just started” (potret diri 72 jam baru saja dimulai). Dan, ketika waktu baru menginjak tanggal 29 April 2015, ia pun menghadap Tuhannya. Selamat jalan, Myuran. Kami akan belajar dari karya-karyamu. Semoga kau tenang bersama-Nya.
Abdul Waid, bergiat di Penerbit Diva Press Yogyakarta, Dosen di Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen
Sumber Gambar: www.kompas.com |
Sebelum timah panas itu menghampiri jantung, pelukis itu masih meliuk-liukkan ujung kuasnya seraya menumpahkan segala kegelisahannya di atas kanvas. Perpaduan antara nalar seninya yang cukup tajam dan perasaannya yang mencekam ketika menunggu butir peluru menerobos dada kirinya, melahirkan ragam lukisan yang sarat makna, menyentuh sanubari, menggugah nurani.
Pelukis itu bernama Myuran Sukumaran (1981-2015), satu diantara delapan terpidana mati yang dieksekusi pada 29 April 2015 yang lalu. Sepuluh tahun silam, ia ditangkap karena menyelundupkan heroin seberat 8,3 kilogram. Takdir merenggang nyawa di depan regu tembak pun menghinggapi dirinya.
Satu diantara sederet karyanya yang digarap di tengah ditik-detik menjelang mautnya adalah lukisan Merah Putih—ada yang menyebut Merah Putih Berdarah—dengan asosiasi darah yang menetes. Lukisan ini hanya terdiri dari dua warna; merah dan putih. Warna merah berada di atas putih sebagaimana laiknya bendera bangsa kita. (Baca juga: Facebook dan Jati Diri Penulis)
Orang mungkin mengira tak ada hal yang istimewa dari lukisan ini. Anak TK pun bisa menggarap lukisan bendera merah putih. Hanya sekadar membuat kotak persegi panjang, dibumbuhi warna merah dan putih, jadilah lukisan bendera. Selesai!
Tapi, tidak seenteng itu melirik lukisan Myuran ini. Lukisan ini sangat kokoh dalam pola ungkapan filosofis, pilihan obyek, konsep, serta pesan filosofis yang tersirat di dalamnya. Pesan filosofis itu dimulai dari akar makna bendera negeri kita yang tidak cukup sekadar dipahami dengan merah bermakna berani, dan putih bermakna suci.
Seturut penelusuran sejarah lahirnya negeri ini, bendera merah putih berasal dari kerajaan Majapahit yang memiliki bendera Gula Kelapa. Tri Utomo mengungkapkan dalam Berburu di Hutan Makna (2014), falsafah hidup yang diajarkan buah kelapa sebagaimana diteguhkan kerajaan Majapahit adalah, warna Merah (Nira Gula Merah) dan warna Putih (Santan Kelapa) tidak hanya mengajarkan keberanian, tetapi juga keluhuran budi, kebersamaan, kesucian (Tri Utomo, 2014; 176).
Kerajaan Mataram Kuno juga telah mewariskan pelajaran bersatunya nur Ibu (Merah) dan nur Rama (Putih) dalam tindak tanduk manusia, mahluk yang paling berbudaya. Keberanian (Merah) tak bisa mendominasi kesucian (Putih). Demikian pun sebaliknya. Jika muatan keberanian mengotori kesucian dalam prilaku seseorang—termasuk prilaku dan keputusan bangsa—maka ruhnya akan kering kerontang.
Oleh karena itu, Dwi Warna (Merah Putih) dalam bendera pusaka menegasikan sikap bangsa yang berani karena suci, berani karena luhur, berani karena adil, dan berani karena keberanian itu juga didedahkan dalam perkara-perkara lain yang memang mengundang keberanian.
Di ranah itulah lukisan Myuran Sukumaran mulai berbicara. Dalam lukisan Bendera Merah Putih, warna merah menetesi warna putih yang ada di bawahnya. Tetesan itu bukan kebetulan karena kelunturan cat minyak warna merah. Tetesan itu sengaja dibuat oleh pelukisnya. Warna putih pun menjadi kotor oleh hadirnya percik-percik warna merah yang menyerupai darah. Tetesan cat minyak warna merah dalam warna putih—seharusnya warna putih dalam bendera bersih dari warna lain—mengaduk-aduk persepsi melalui bahasa metafora untuk mendedahkan sengkarut sektor penegakan hukum kita.
Kekuatan simbolik dalam lukisan itu menggugah kesadaran bahwa negeri ini acap kali bernyali (baca: berani) untuk menegakkan hukum dalam suatu kasus, tetapi takut dalam kasus lain. Akibatnya, kesucian ruh penegakan hukum itu dikotori oleh keberanian itu sendiri.
Cerita tentang aparat penegak hukum yang sangat berani menindak seorang nenek tua yang keriput dan tua renta, namun minder ketika berhadapan dengan kalangan pelanggar hukum yang berdasi, atau tentang pisau hukum yang tajam pada orang jelata dan tumpul pada anak menteri, adalah bukti bahwa warna putih sebagai simbol kesucian tidak menjadi pondasi warna merah sebagai simbol keberanian.
Keberanian dan ketegasan pemerintah Indonesia mengeksekusi mati para terpidana mati narkotika namun tidak dibarengi dengan keberanian menyibak sederet kasus yang menyeret orang-orang penting di negeri ini menjadi titik tekan dalam lukisan Myuran ini. Melalui bahasa reflektif dan kiyasan, Myuran berbagi sebuah harapan akan penegakan hukum yang berani, namun tetap adil dan suci.
Di satu sisi, lewat lukisannya, Myuran mengakui bahwa dirinya salah karena telah menyelundupkan heroin seberat 8,3 kilogram dan pantas dieksekusi mati. Tetapi, keberanian pemerintah Indonesia mengeksekusi dirinya akan mengotori filososi kesucian penegakan hukum jika masih ada ewuh pakewuh dan tebang pilih dalam penegakan hukum. Ruh hukum pun menjadi senyap.
Sejenak mari kta belajar dari Sayyidina Umar Bin Khattab ketika menjabat sebagai Khalifah kedua di muka bumi. Beliau terkenal sangat berani dan tegas dalam menegakkan hukum. Tetapi, keberanian itu ditunjukkan kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Bahkan, anak kandungnya sendiri yang bernama Abu Syahmah juga dijatuhi hukuman cambuk ketika melakukan perzinahan. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa Abu Syahmah sampai menghembuskan nafas terakhir akibat hukuman cambuk yang dilakukan oleh Umar, ayahnya. Ini menandakan bahwa keberanian (Merah) tidak mendominasi kesucian (Putih), dan kesucian (Putih) menjadi landasan utama keberanian (Merah).
Memang, masih ada beberapa lukisan yang digarap Myuran Sukumaran. Yaitu, lukisan wajahnya sendiri yang diburamkan dengan garis-garis vertikal berjudul “Self Portrait Beneath the Shadow”. Dua lukisan lainnya tentang potret diri Myuran dengan kaki ditekuk ke depan berjudul “Self Portrait. A Strange Day”, serta “Self Postrait After a New Arrival” dengan bayangan hitam di sekitar kepala.
Jika ditelisik dengan cermat, dalam lukisan-lukisannya, sama sekali tidak muncul ungkapan protes dari seorang Myuran terhadap eksekusi mati dirinya. Ia bahkan menerimanya sebagai sebuah risiko dari perbuatannya. Hal itu terlihat dari sebuah lukisan yang menggambarkan dirinya dengan warna latar hitam. Di lukisan itu, Myuran tampak pasrah. Ada sebuah lubang cukup besar di bagian dada sebelah kiri seolah bekas tembus peluru tajam.
Yang dipinta oleh Myuran lewat ekspresi seninya hanyalah kemurahan hati pemerintah Indonesia, pengampunan, keringanan hukuman, sebab dirinya telah berubah dan menjadi orang baik. Permohonan itu digambarkan dari lukisan tentang dirinya dalam posisi seperti janin yang diberi judul “Self Portrait after our New Arrivals. A Bad Sleep Last Night”. Lukisan itu seakan hendak memberi kabar bahwa Myuran telah berubah 180 derajat: bertaubat, tidak terpengaruh oleh narkotika lagi pun tidak mengedarkanya, dan telah memulai hidup baru sebagaimana janin yang baru lahir ke dunia.
Jika tidak diberi pengampunan, Myuran memohon sebuah keberanian penegakan hukum yang berlandaskan kesucian (keadilan). Setiap hukum harus ditegakkan dengan kesucian, keluhuran, keadilan, sebagaimana warna putih sebagai simbolnya.
Pungkasnya, Myuran membuat lukisan yang menunjukkan hitung mundur menuju kematiannya dengan judul “Self Portrait 72 hours just started” (potret diri 72 jam baru saja dimulai). Dan, ketika waktu baru menginjak tanggal 29 April 2015, ia pun menghadap Tuhannya. Selamat jalan, Myuran. Kami akan belajar dari karya-karyamu. Semoga kau tenang bersama-Nya.
Abdul Waid, bergiat di Penerbit Diva Press Yogyakarta, Dosen di Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen
0 comments :
Post a Comment