Cerpen : Idras Sardi
Taufiq adalah sahabat sekaligus sepupuku. Ia satu sekolah dengan aku. Setiap hari selalu bercanda tawa. Umurnya tidak jauh berbeda dengan aku, kira-kira satu tahun lebih tua dia. Sepulang dari sekolah, tak jarang aku selalu bermain ke rumahnya. Rumahnya kurang lebihseratus meter sebelah barat rumahku. Dekat, sedekat suara ibu yang memanggilku ketika aku disuruh pulang.
Itu kenangan empat tahun yang lalu bersama sahabatku, Taufiq.Kebersamaan itu mulai jarang semenjak aku mondok. Sekarang, aku tidak selalu bersamanya, sebab Taufiq bekerja sebagai karyawan toko dekat pasar Candi. Taufiq sibuk dengan pekerjaannya, hanya sesekali ketika ada waktu renggang ia sempatkan main ke rumah sebentar. Tapi, walaupun cuman sebentar aku tetap menyambutnya dengan senyumku yang riang dan lalu berkata “Halo, bro!” biasanya dengan jabatan tangan.
Tahun lalu aku pamit sama pak Kiai untuk berhenti mondok dan Kiai-pun mengizinin aku. Satu tahun sudah aku berhenti mondok. Setelah dipikir-pikir aku malu sama orang tuaku, sebab makan kepada orang tuaku, bahkan minta uang pun juga minta kepada orang tuaku. Aku ingin dapat pemasukan sendiri, aku ingin hidup mandiri dan bahkan aku ingin membantu perekonomian orang tuaku.
Pikiran terus berputar, berjalan melalui semak belukar guna mencari alternatif pekerjaan yang pas buat aku. Ini tuntutan bagi aku, berpikir keras dan berdo’a merupakan tindakan yang harus aku kerjakan. Ibu hanya bilang “Iya nak aku coba bicarakan sama bapak dan pamanmu” ketika aku mengadu sama ibu. Keluargaku memang berkehidupan pas-pasan.Bapak seorang buruh petani dan ibu hanya penjual lempok yang dijajakan di pasar Candi.
Beberapa hari kemudian, saya rasa ini adalah hasil dari do’a-do’aku pada Tuhan yang dipanjatkan lima kali setiap hari,ibu menawarkan aku bekerja di Jakarta untuk bekerja sebagai penjaga toko di sana. Memang, dua minggu yang lalu aku mengadu pada ibu tentang gejolak yang aku hadapi. Mendengar kata Jakarta, dalam pikiranku langsung tergambar suasana hiruk pikuk perkotaan. Aku terima tawaran ibu dan langsung tiga hari lagi mau berangkat.
Dua hari kemudian. Semaleman aku mempersiapkan, baju dan celana apa saja yang akan dibawa ke Jakarta,satu persatu dimasukkan kedalam tas. Besok jam tujuh berangkat. Ketika burung peliharaanku berbunyi, aku tidur dan menutup mata. Seketika aku bertemu gadis yang cantik, cantik sekali. Aku terpesona melihatnya. Tubuhnya, wah!indah sekali. Dia juga melihat aku, terus melihat aku dan melihat aku. Burungku berbunyi lagi, aku bangun. Aku dengar burungku berbunyi bersamaan dengan adzan Subuh berkumandang.Saat itu aku bangun dan beranjak menuju ke kamar mandi.
Hari dimana aku mau merantau ke kota Jakarta akhirnya sampai. Tas di punggung, keadaan sudah siap, tangan ibu aku cium. Bismillah, bisik batinku, aku berangkat.
***
Beberapa hari di Jakarta, syukur aku betah dan nyaman. Ternyata bukan satu-satunya toko tempat aku bekerja, banyak saingannya, banyak toko berjajaran. Namun, diantara berjajarannya toko itu, sekilas aku melihat seseorang yang wajah ayu yang dipoles lipstik. Getarannya sampai ke dasar hati.
Aku tidak menghiraukan, ini godaan syetan, batinku. Akan tetapi, pandangan itu tidak dapat ditepis. Toko tempatnya gadis itu bekerja pas di depan toko tempat aku bekerja. Sedikit aku memandang, seketika dia tersenyum tipis. Seolah dia mengerti bahwa dalam tatapanku diselimuti malu yang berjenis malu-malu kucing.
Mulai aku penasaran, siapakah gerangan namanya?
Pikiran beraksi mencari jalan bagaimana bisa kenal dengan dia, dia yang ada di depan toko tempat aku bekerja. Terus merenung. Tiba-tiba, ”Mas-Mas” suara pembeli membuyarkan renunganku. Kembali merenung setelah selesai melayani pembeli itu. Apakah aku harus menyamar sebagai pembeli ke tokonya, aku malu. Kalau malu adakah cara lain selain itu. Bingung, bingung, dan bingung, akhirnya walaupun sedikit malu aku mencoba menyamar sebagai pembeli.
“Beli Rokok Mbak”. Sedikit senyum keluar dari bibirku sambil tanganku mengasi uang kepadanya. Dia juga ikut tersenyum tipis sambil lalu bertanya“rokok apa mas?”.
“Rokok Surya”. Jawabku.
“Siapa namamu?”. Dia menanyakan namaku sembari memberikan rokok. Di laur dugaan, tidak menyangka dia akan menanyakan namaku duluan.
“Fadlail”. Diam. Kemudian aku teruskan lagi “Kalau Mbak?”.
Dibalik barang dagangan yang bergelantungan, dia menjawab “Aku Gita”.
Akhirnya obrolan terus berlangsung lama hingga akhirnya sempat bertukaran nomer handpone. Tak jarang senyum manis keluar dari bibirnya disela-sela perbincangannya. Tangannya lenggak-lenggok mengikuti irama pembicaraannya. Aku tidak menduga akan sepanjang ini obrolannya. Ternyata dia tipe orang yang baik hati. Tidak cuwek, selalu tanpak ramah.
Ketika dia tersenyum, aku membalasnya dengan senyum juga. Kurang lebih tiga puluh menit, aku mengakhiri obrolan itu dan aku pamit untuk kembali ke toko tempat aku bekerja. Dia mengiyakan, mempersilahkan aku.
Dalam obrolan itu aku dapat banyak informasi tentang dia. Ternyata dia juga berasal dari Sumenep. Bahkan termasuk tetangga desaku. Tidak menyangka!
***
Dua bulan tidak kerasa, rasanya baru dua hari. Senang sekali ada di Jakarta. Apalagi ketika menerima senyum dari Gita setiap pagi waktu sama-sama membuka warungnya. Tuhan memang merencanakan, tapi yang mengherankan, mengapa toko Gita tepat ada di depan toko aku.
“Selamat pagi sayang...” Dia SMS aku. Aku melihat kepadanya dengan senyuman yang memikat.
Memang, sekitar satu bulanan aku dan dia menjalin hubungan yang spesial.Kini aku ngerasa nyaman menjalaninya. Dia selalu memperhatikan makanku, shalatku, dan kesehatanku. Dia benar-benar merasa memiliki aku. Mungkin sekali dimiliki bagi dia tidak akan dilepas lagi.
Hubungan terus dijalaninya dengan kedamaian. Dalam pikiranku Gitalah satu-satunya perempuan yang pantas menjadi pendamping hidupku. Aku ingin meneruskan hubungan ini sampai kepelaminan. Mungkin kata orang dia tidak pantas bagi aku sabab dia lebih tua dari pada aku. Tetapi aku tidak peduli, wongaku yang akan menjalaninya mengapa orang lain yang keberatan. Memang umurku 21 satu tahun, sedangkan dia sudah 37 tahun.
Perbedaan umur menurutku tidak dapat memisahkan cinta yang suci. Umur hanyalah ukuran masa hidup di dunia. Jadi tidak ada hubungannya dengan cinta. Disamping itu, mengapa dengan umur yang berbeda jauh harus dipermasalahkan, toh aku nyaman di sampingnya, aku senang di sampingnya. Artinya perbedaan umur itu bukan masalah dalam hubungan aku dan dia.
Langkah aku untuk menuju kepelaminan semakin mantap. Aku merencanakannya bersama. Sesekali tergambar diwajahnya senyum kebahagiaan sebab keseriusaanku dalam hubungan itu. Malam itu aku dan dia merencanakan bersama dalam tokoku. Aku duduk bersama sambil sesekali bercanda tawa. Hingga malam mencapai puncaknya, aku tetap bersamanya. Posisi semakin dekat, kepalanya mulai diletakkan di dadaku. Dia memegang tanganku, aku hanya menatapnya dalam-dalam. Malam tambah larut, selarut aku dalam pelukannya.
Kalau semuanya lancar, seminggu lagi rencana akad nikah itu akan dilangsungkan. Tetapi sebelum itu rencana itu harus aku bicarakan dulu samakeluargaku, terutama ibu dan bapakku. Memang Gita bilang sama aku bahwa dia sudah mempunyai dua anak di kampungnya. Entah mengapa, kabar itu bukan mengurangi rasa cinta aku.Bahkan menambah dalam rasa cinta itu.
Tak terasa pagi tiba, mataku dibuka, aku tetap dalam pelukan Gita.Tak begitu lama Gita juga bangun.
Akhirnya kita sama-sama bangun. Adzan Subuh berkumandang memecah kesunyian pagi.Gita pamit mau pulang ke tokonya.Aku langsung ke kamar mandi membasuh muka dan mengambil wudlu’.Tak lama, aku mulai shalat.Dalam shalat pikiranku tergambar wajah Gita.Ingat susunan rencana yang tadi malam direncanakan.“betapa senangnya aku” pikirku.
***
Dua hari kemudian.Handphoneku diambil, langsung kekontak mencari nama “My Mother”. Setelah itu, aku klik call. Tak berapa lama terdengar suara di seberang sana yang begitu lembut dan halus.
“Hallo”. Suara ibu.
“Assalamu’alaikum bu”.
“Wa’alaikumsalam”.
Perbincangan dengan ibu aku mulai.Pertama-tama aku menanyakan kabar.Terus ke perbincangan soal pertanian bapak.Aku tidak langsung pada inti atau maksud tujuanku telepon.Mencari siasat bagaimana ibu langsung menyetujui permintaanku. Lama perbincangan itu, kurang lebih lima belas menit, dan akhirnya aku bilang maksud aku telepon.
“Bu, aku minta persetujuan ibu”.Kataku, gugup.
“Ya, persetujuan apanak?”.
“Aku mau menikah bu”.Sahutku pelan.
Ibu merestui asalkan wanita pilihanku wanita yang shalihah.Aku juga bilang bahwa wanita itu juga wanita Madura, tetangga desaku. Aku juga minta sama ibu, cukup aku yang melamar sama wanita pilihanku itu. Tidak ada acara ini dan itu sebagaimana budaya Madura.Mendengar penuturanku yang seperti itu, ibu kedengaran sedikit keberatan.Tetapi setelah dijelaskan dengan sejelas mungkin olehku, akhirnya ibu nurut dan menyerahkan kepada aku semuanya.
Mendengar keputusan yang seperti itu, aku ingin rasanya meloncat-loncat.Aku sangat senang, melihat dunia seperti melihat bulan purnama yang penuh cahaya.Handphone diambil, mengetik huruf demi huruf meminta Gita datang ke tokoku.Ingin rasanya aku berteriak, memberi tahu seluruh dunia bahwa aku benar-benar senang.Tak lama kemudian Gita datang dan masuk ke dalam toko.Langsung aku peluk sekencang mungkin, namun Gita berlaga bingung, cepat-cepat aku bilang bahwa hubungan ini direstui oleh ibu.Tiba-tiba Gita tersenyum sembari memelukku erat.
***
Di Jakarta, hari Kamis, tanggal 6 Desember 2012, jam 8 pagi, aku melangsungkan akad nikah. Aku memberi kabar kepada seluruh keluargaku di kampung bahwa aku sudah menjadi seorang suami, suami dari seorang Gita Puspita.Banyak teman-teman di Jakarta yang memberi ucapan “selamat menempuh hidup baru” kepada aku.Setelah akad nikah, dan teman-teman semua sudah pulang, aku masuk ke dalam toko.Pada siang itu toko ditutup.
Di dalam toko, Sedikit Gita melempar senyum.Ia menghampiriku, memegang tanganku dan menciumnya dalam-dalam. Kemudian aku pegang kedua pipinya, aku kecup keningnya.Suasana amat romantis dan mesra.
“Sayang, shalat dulu”.Suaranya lembut.
Aku jawab dengan anggukan dan langsung ke kamar mandi mengambil wudlu’.Tak lama kemudian kita shalat, aku yang menjadi imamnya. Kurang lebih lima menit, shalat selesai, kemudian aku langsung berbaring di atas kasur yang ada di sebelah sajadah. Gita menghampiriku, aku laksanakan tugasku sebagai suami.
Detik berganti menit dan menit pun berganti jam, hari-hari dilalui dengan sakinah.Adanya Gita di sisiku, energiku bertambah dalam mengarungi hidup.Hidup seakan penuh dengan butir-butir guliran keindahan dalam setiap langkah.Kini kita bersatu memadu cinta yang suci, saling mendukung untuk mewujudkan keluarga yang damai, penuh cinta, dan berselimut kasih sayang.
Tak terasa dua bulan kita jalani bersama.Siang itu aku beres-beres barang dagangan dalam toko.Sedangkan Gita membersihkan lantai.Tak lama Handphone Gita berdering, Gita menjawabnya.Setelah bicara panjang lebar, akhirnya perbincangan itu diakhiri. Gita mengadu kepada aku bahwa ia menerima telepon tadi dari ibunya.
“Gimana ini yang, anakku di rumah ada yang melamar”.Katanya dengan nada minta pendapatku.
“Anakmu sekarang umurnya berapa?”. Dua bulan perkawinan, baru kali ini menanyakan umur anak Gita, istriku.
“Sembilan belas tahun”.Sahutnya pelan.
Mendengar itu aku sulit menelan air liurku.Jadi, perbedaannya dengan umurku amat sangat tipis, aku 21 tahun sedangkan anak Gita 19 tahun.Sedikit tertegun, hingga akhirnya Gita membuyarkan.
“Gimana?”.
“Kamu serahkan saja semuanya kepada ibumu, kalau menurut ibumu lelaki yang melamar Lilis, anakmu, itu baik, sudah terima saja”.Jawabku.
Kemudian Gita terlihat mengangguk setuju.Handphonenya diambil, ia mengikuti saranku, ia menelepon ibunya di Madura. Ia menyerahkan semua urusan tentang anaknya kepada ibunya. Di lain tempat, aku masih belum yakin bahwa anak Gita sudah berumur 19 tahun.
***
Seminggu setelah itu anaknya menikah dengan lelaki yang melamarnya. Di sisi lain artinya aku sudah mempunyai menantu. Geli rasanya. Setelah dipikir-pikir,tidak pas rasanya seorang mertua tidak mengetahui nama menantunya. Sebab itu aku menanyakan nama menantuku sama Gita.
“Namanya Taufik yang”.Jawabnya.
Aku kaget, sungguh kaget.Aku coba bertanya lagi tentang Taufik.Jiwaku gelisah, takut Taufik sahabat sekaligus saudaraku di rumah itu. Gita kemudian menjawab bahwa Taufik itu juga anak Totosan, sama dengan aku desanya. Aku tambah khawatir.Setelah itu, aku bertanya lagi Taufik anaknya siapa. Dengan santai ia menjawab, Taufik itu anaknya bapak Busyro. Tubuhku bagaikan disambar petir.“Yang benar saja” gumam hatiku.Busyro itu saudara ibuku.
Handphoneku berdering, dengan cepat aku jawab. Terdengar suara ibu di seberang sana. Ibu menanyakan profil istriku. Aku jawab dengan jujur tentang istriku. Setelah aku jelaskan semuanya, telepon putus tanpa pamit. Tak lama kemudian handphoneku berdering lagi, aku jawab, terdengar di seberang sana suara adikku. Ia bilang bahwa ibu tidak sadarkan diri setelah mendengar berita ini. Tanpa sadar handphoneku jatuh dari tanganku.“Taufik, kau sekarang menantuku” gumam jiwaku.
Catatan:
· Lempok: Masakan has Madura yang terbuat dari singkong.
Idras Sardi, Alumnus pondok pesantren Nasy-atul Muta'allimin, Gapura, Sumenep. Aktif menulis cerpen dan artikel di sejumlah media lokal dan nasional. Kini sedang melanjutkan studinya di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Sumber Gambar: masterbama.blogspot.com |
Taufiq adalah sahabat sekaligus sepupuku. Ia satu sekolah dengan aku. Setiap hari selalu bercanda tawa. Umurnya tidak jauh berbeda dengan aku, kira-kira satu tahun lebih tua dia. Sepulang dari sekolah, tak jarang aku selalu bermain ke rumahnya. Rumahnya kurang lebihseratus meter sebelah barat rumahku. Dekat, sedekat suara ibu yang memanggilku ketika aku disuruh pulang.
Itu kenangan empat tahun yang lalu bersama sahabatku, Taufiq.Kebersamaan itu mulai jarang semenjak aku mondok. Sekarang, aku tidak selalu bersamanya, sebab Taufiq bekerja sebagai karyawan toko dekat pasar Candi. Taufiq sibuk dengan pekerjaannya, hanya sesekali ketika ada waktu renggang ia sempatkan main ke rumah sebentar. Tapi, walaupun cuman sebentar aku tetap menyambutnya dengan senyumku yang riang dan lalu berkata “Halo, bro!” biasanya dengan jabatan tangan.
Tahun lalu aku pamit sama pak Kiai untuk berhenti mondok dan Kiai-pun mengizinin aku. Satu tahun sudah aku berhenti mondok. Setelah dipikir-pikir aku malu sama orang tuaku, sebab makan kepada orang tuaku, bahkan minta uang pun juga minta kepada orang tuaku. Aku ingin dapat pemasukan sendiri, aku ingin hidup mandiri dan bahkan aku ingin membantu perekonomian orang tuaku.
Pikiran terus berputar, berjalan melalui semak belukar guna mencari alternatif pekerjaan yang pas buat aku. Ini tuntutan bagi aku, berpikir keras dan berdo’a merupakan tindakan yang harus aku kerjakan. Ibu hanya bilang “Iya nak aku coba bicarakan sama bapak dan pamanmu” ketika aku mengadu sama ibu. Keluargaku memang berkehidupan pas-pasan.Bapak seorang buruh petani dan ibu hanya penjual lempok yang dijajakan di pasar Candi.
Beberapa hari kemudian, saya rasa ini adalah hasil dari do’a-do’aku pada Tuhan yang dipanjatkan lima kali setiap hari,ibu menawarkan aku bekerja di Jakarta untuk bekerja sebagai penjaga toko di sana. Memang, dua minggu yang lalu aku mengadu pada ibu tentang gejolak yang aku hadapi. Mendengar kata Jakarta, dalam pikiranku langsung tergambar suasana hiruk pikuk perkotaan. Aku terima tawaran ibu dan langsung tiga hari lagi mau berangkat.
Dua hari kemudian. Semaleman aku mempersiapkan, baju dan celana apa saja yang akan dibawa ke Jakarta,satu persatu dimasukkan kedalam tas. Besok jam tujuh berangkat. Ketika burung peliharaanku berbunyi, aku tidur dan menutup mata. Seketika aku bertemu gadis yang cantik, cantik sekali. Aku terpesona melihatnya. Tubuhnya, wah!indah sekali. Dia juga melihat aku, terus melihat aku dan melihat aku. Burungku berbunyi lagi, aku bangun. Aku dengar burungku berbunyi bersamaan dengan adzan Subuh berkumandang.Saat itu aku bangun dan beranjak menuju ke kamar mandi.
Hari dimana aku mau merantau ke kota Jakarta akhirnya sampai. Tas di punggung, keadaan sudah siap, tangan ibu aku cium. Bismillah, bisik batinku, aku berangkat.
***
Beberapa hari di Jakarta, syukur aku betah dan nyaman. Ternyata bukan satu-satunya toko tempat aku bekerja, banyak saingannya, banyak toko berjajaran. Namun, diantara berjajarannya toko itu, sekilas aku melihat seseorang yang wajah ayu yang dipoles lipstik. Getarannya sampai ke dasar hati.
Aku tidak menghiraukan, ini godaan syetan, batinku. Akan tetapi, pandangan itu tidak dapat ditepis. Toko tempatnya gadis itu bekerja pas di depan toko tempat aku bekerja. Sedikit aku memandang, seketika dia tersenyum tipis. Seolah dia mengerti bahwa dalam tatapanku diselimuti malu yang berjenis malu-malu kucing.
Mulai aku penasaran, siapakah gerangan namanya?
Pikiran beraksi mencari jalan bagaimana bisa kenal dengan dia, dia yang ada di depan toko tempat aku bekerja. Terus merenung. Tiba-tiba, ”Mas-Mas” suara pembeli membuyarkan renunganku. Kembali merenung setelah selesai melayani pembeli itu. Apakah aku harus menyamar sebagai pembeli ke tokonya, aku malu. Kalau malu adakah cara lain selain itu. Bingung, bingung, dan bingung, akhirnya walaupun sedikit malu aku mencoba menyamar sebagai pembeli.
“Beli Rokok Mbak”. Sedikit senyum keluar dari bibirku sambil tanganku mengasi uang kepadanya. Dia juga ikut tersenyum tipis sambil lalu bertanya“rokok apa mas?”.
“Rokok Surya”. Jawabku.
Sumber Gambar: abatasa.co.id |
“Siapa namamu?”. Dia menanyakan namaku sembari memberikan rokok. Di laur dugaan, tidak menyangka dia akan menanyakan namaku duluan.
“Fadlail”. Diam. Kemudian aku teruskan lagi “Kalau Mbak?”.
Dibalik barang dagangan yang bergelantungan, dia menjawab “Aku Gita”.
Akhirnya obrolan terus berlangsung lama hingga akhirnya sempat bertukaran nomer handpone. Tak jarang senyum manis keluar dari bibirnya disela-sela perbincangannya. Tangannya lenggak-lenggok mengikuti irama pembicaraannya. Aku tidak menduga akan sepanjang ini obrolannya. Ternyata dia tipe orang yang baik hati. Tidak cuwek, selalu tanpak ramah.
Ketika dia tersenyum, aku membalasnya dengan senyum juga. Kurang lebih tiga puluh menit, aku mengakhiri obrolan itu dan aku pamit untuk kembali ke toko tempat aku bekerja. Dia mengiyakan, mempersilahkan aku.
Dalam obrolan itu aku dapat banyak informasi tentang dia. Ternyata dia juga berasal dari Sumenep. Bahkan termasuk tetangga desaku. Tidak menyangka!
***
Dua bulan tidak kerasa, rasanya baru dua hari. Senang sekali ada di Jakarta. Apalagi ketika menerima senyum dari Gita setiap pagi waktu sama-sama membuka warungnya. Tuhan memang merencanakan, tapi yang mengherankan, mengapa toko Gita tepat ada di depan toko aku.
“Selamat pagi sayang...” Dia SMS aku. Aku melihat kepadanya dengan senyuman yang memikat.
Memang, sekitar satu bulanan aku dan dia menjalin hubungan yang spesial.Kini aku ngerasa nyaman menjalaninya. Dia selalu memperhatikan makanku, shalatku, dan kesehatanku. Dia benar-benar merasa memiliki aku. Mungkin sekali dimiliki bagi dia tidak akan dilepas lagi.
Hubungan terus dijalaninya dengan kedamaian. Dalam pikiranku Gitalah satu-satunya perempuan yang pantas menjadi pendamping hidupku. Aku ingin meneruskan hubungan ini sampai kepelaminan. Mungkin kata orang dia tidak pantas bagi aku sabab dia lebih tua dari pada aku. Tetapi aku tidak peduli, wongaku yang akan menjalaninya mengapa orang lain yang keberatan. Memang umurku 21 satu tahun, sedangkan dia sudah 37 tahun.
Perbedaan umur menurutku tidak dapat memisahkan cinta yang suci. Umur hanyalah ukuran masa hidup di dunia. Jadi tidak ada hubungannya dengan cinta. Disamping itu, mengapa dengan umur yang berbeda jauh harus dipermasalahkan, toh aku nyaman di sampingnya, aku senang di sampingnya. Artinya perbedaan umur itu bukan masalah dalam hubungan aku dan dia.
Langkah aku untuk menuju kepelaminan semakin mantap. Aku merencanakannya bersama. Sesekali tergambar diwajahnya senyum kebahagiaan sebab keseriusaanku dalam hubungan itu. Malam itu aku dan dia merencanakan bersama dalam tokoku. Aku duduk bersama sambil sesekali bercanda tawa. Hingga malam mencapai puncaknya, aku tetap bersamanya. Posisi semakin dekat, kepalanya mulai diletakkan di dadaku. Dia memegang tanganku, aku hanya menatapnya dalam-dalam. Malam tambah larut, selarut aku dalam pelukannya.
Kalau semuanya lancar, seminggu lagi rencana akad nikah itu akan dilangsungkan. Tetapi sebelum itu rencana itu harus aku bicarakan dulu samakeluargaku, terutama ibu dan bapakku. Memang Gita bilang sama aku bahwa dia sudah mempunyai dua anak di kampungnya. Entah mengapa, kabar itu bukan mengurangi rasa cinta aku.Bahkan menambah dalam rasa cinta itu.
Tak terasa pagi tiba, mataku dibuka, aku tetap dalam pelukan Gita.Tak begitu lama Gita juga bangun.
Akhirnya kita sama-sama bangun. Adzan Subuh berkumandang memecah kesunyian pagi.Gita pamit mau pulang ke tokonya.Aku langsung ke kamar mandi membasuh muka dan mengambil wudlu’.Tak lama, aku mulai shalat.Dalam shalat pikiranku tergambar wajah Gita.Ingat susunan rencana yang tadi malam direncanakan.“betapa senangnya aku” pikirku.
***
Dua hari kemudian.Handphoneku diambil, langsung kekontak mencari nama “My Mother”. Setelah itu, aku klik call. Tak berapa lama terdengar suara di seberang sana yang begitu lembut dan halus.
“Hallo”. Suara ibu.
“Assalamu’alaikum bu”.
“Wa’alaikumsalam”.
Perbincangan dengan ibu aku mulai.Pertama-tama aku menanyakan kabar.Terus ke perbincangan soal pertanian bapak.Aku tidak langsung pada inti atau maksud tujuanku telepon.Mencari siasat bagaimana ibu langsung menyetujui permintaanku. Lama perbincangan itu, kurang lebih lima belas menit, dan akhirnya aku bilang maksud aku telepon.
“Bu, aku minta persetujuan ibu”.Kataku, gugup.
“Ya, persetujuan apanak?”.
“Aku mau menikah bu”.Sahutku pelan.
Ibu merestui asalkan wanita pilihanku wanita yang shalihah.Aku juga bilang bahwa wanita itu juga wanita Madura, tetangga desaku. Aku juga minta sama ibu, cukup aku yang melamar sama wanita pilihanku itu. Tidak ada acara ini dan itu sebagaimana budaya Madura.Mendengar penuturanku yang seperti itu, ibu kedengaran sedikit keberatan.Tetapi setelah dijelaskan dengan sejelas mungkin olehku, akhirnya ibu nurut dan menyerahkan kepada aku semuanya.
Mendengar keputusan yang seperti itu, aku ingin rasanya meloncat-loncat.Aku sangat senang, melihat dunia seperti melihat bulan purnama yang penuh cahaya.Handphone diambil, mengetik huruf demi huruf meminta Gita datang ke tokoku.Ingin rasanya aku berteriak, memberi tahu seluruh dunia bahwa aku benar-benar senang.Tak lama kemudian Gita datang dan masuk ke dalam toko.Langsung aku peluk sekencang mungkin, namun Gita berlaga bingung, cepat-cepat aku bilang bahwa hubungan ini direstui oleh ibu.Tiba-tiba Gita tersenyum sembari memelukku erat.
***
Di Jakarta, hari Kamis, tanggal 6 Desember 2012, jam 8 pagi, aku melangsungkan akad nikah. Aku memberi kabar kepada seluruh keluargaku di kampung bahwa aku sudah menjadi seorang suami, suami dari seorang Gita Puspita.Banyak teman-teman di Jakarta yang memberi ucapan “selamat menempuh hidup baru” kepada aku.Setelah akad nikah, dan teman-teman semua sudah pulang, aku masuk ke dalam toko.Pada siang itu toko ditutup.
Sumber Gambar: galerilukisan.blogspot.com |
Di dalam toko, Sedikit Gita melempar senyum.Ia menghampiriku, memegang tanganku dan menciumnya dalam-dalam. Kemudian aku pegang kedua pipinya, aku kecup keningnya.Suasana amat romantis dan mesra.
“Sayang, shalat dulu”.Suaranya lembut.
Aku jawab dengan anggukan dan langsung ke kamar mandi mengambil wudlu’.Tak lama kemudian kita shalat, aku yang menjadi imamnya. Kurang lebih lima menit, shalat selesai, kemudian aku langsung berbaring di atas kasur yang ada di sebelah sajadah. Gita menghampiriku, aku laksanakan tugasku sebagai suami.
Detik berganti menit dan menit pun berganti jam, hari-hari dilalui dengan sakinah.Adanya Gita di sisiku, energiku bertambah dalam mengarungi hidup.Hidup seakan penuh dengan butir-butir guliran keindahan dalam setiap langkah.Kini kita bersatu memadu cinta yang suci, saling mendukung untuk mewujudkan keluarga yang damai, penuh cinta, dan berselimut kasih sayang.
Tak terasa dua bulan kita jalani bersama.Siang itu aku beres-beres barang dagangan dalam toko.Sedangkan Gita membersihkan lantai.Tak lama Handphone Gita berdering, Gita menjawabnya.Setelah bicara panjang lebar, akhirnya perbincangan itu diakhiri. Gita mengadu kepada aku bahwa ia menerima telepon tadi dari ibunya.
“Gimana ini yang, anakku di rumah ada yang melamar”.Katanya dengan nada minta pendapatku.
“Anakmu sekarang umurnya berapa?”. Dua bulan perkawinan, baru kali ini menanyakan umur anak Gita, istriku.
“Sembilan belas tahun”.Sahutnya pelan.
Mendengar itu aku sulit menelan air liurku.Jadi, perbedaannya dengan umurku amat sangat tipis, aku 21 tahun sedangkan anak Gita 19 tahun.Sedikit tertegun, hingga akhirnya Gita membuyarkan.
“Gimana?”.
“Kamu serahkan saja semuanya kepada ibumu, kalau menurut ibumu lelaki yang melamar Lilis, anakmu, itu baik, sudah terima saja”.Jawabku.
Kemudian Gita terlihat mengangguk setuju.Handphonenya diambil, ia mengikuti saranku, ia menelepon ibunya di Madura. Ia menyerahkan semua urusan tentang anaknya kepada ibunya. Di lain tempat, aku masih belum yakin bahwa anak Gita sudah berumur 19 tahun.
***
Seminggu setelah itu anaknya menikah dengan lelaki yang melamarnya. Di sisi lain artinya aku sudah mempunyai menantu. Geli rasanya. Setelah dipikir-pikir,tidak pas rasanya seorang mertua tidak mengetahui nama menantunya. Sebab itu aku menanyakan nama menantuku sama Gita.
“Namanya Taufik yang”.Jawabnya.
Aku kaget, sungguh kaget.Aku coba bertanya lagi tentang Taufik.Jiwaku gelisah, takut Taufik sahabat sekaligus saudaraku di rumah itu. Gita kemudian menjawab bahwa Taufik itu juga anak Totosan, sama dengan aku desanya. Aku tambah khawatir.Setelah itu, aku bertanya lagi Taufik anaknya siapa. Dengan santai ia menjawab, Taufik itu anaknya bapak Busyro. Tubuhku bagaikan disambar petir.“Yang benar saja” gumam hatiku.Busyro itu saudara ibuku.
Handphoneku berdering, dengan cepat aku jawab. Terdengar suara ibu di seberang sana. Ibu menanyakan profil istriku. Aku jawab dengan jujur tentang istriku. Setelah aku jelaskan semuanya, telepon putus tanpa pamit. Tak lama kemudian handphoneku berdering lagi, aku jawab, terdengar di seberang sana suara adikku. Ia bilang bahwa ibu tidak sadarkan diri setelah mendengar berita ini. Tanpa sadar handphoneku jatuh dari tanganku.“Taufik, kau sekarang menantuku” gumam jiwaku.
Catatan:
· Lempok: Masakan has Madura yang terbuat dari singkong.
Idras Sardi, Alumnus pondok pesantren Nasy-atul Muta'allimin, Gapura, Sumenep. Aktif menulis cerpen dan artikel di sejumlah media lokal dan nasional. Kini sedang melanjutkan studinya di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
0 comments :
Post a Comment