Oleh: Nur Sholikhin
"Syi’ah Bukan Islam" dengan tagline Bahaya Syi’ah Mengancam Aqidah dan Stabilitas Bangsa. Lalu poster bertuliskan "Syiah Kafir" juga sudah merebak di masyarakat, khususnya Yogyakarta. Bukan hanya di satu tempat, melainkan di berbagai jalan, depan masjid, gedung-gedung, poster yang menyudutkan kaum syiah sudah dapat ditemui oleh semua kalangan. Poster ini seakan menolak keras kepada kaum Syi’ah untuk hidup di bangsa ini.
Hidup di dalam negara yang mempunyai paham demokrasi memang mempunyai kebebasan berpendapat. Semua kalangan bebas beropini untuk menyuarakan pendapatnya. Namun hidup dalam demokrasi juga ada aturannya. Bebas bukan tanpa batas, kebebasan diatur oleh undang-undang dan norma masyarakat.
"Syi’ah Bukan Islam" dengan tagline Bahaya Syi’ah Mengancam Aqidah dan Stabilitas Bangsa. Lalu poster bertuliskan "Syiah Kafir" juga sudah merebak di masyarakat, khususnya Yogyakarta. Bukan hanya di satu tempat, melainkan di berbagai jalan, depan masjid, gedung-gedung, poster yang menyudutkan kaum syiah sudah dapat ditemui oleh semua kalangan. Poster ini seakan menolak keras kepada kaum Syi’ah untuk hidup di bangsa ini.
Sumber Gambar: ejajufri.wordpress.com |
Hidup di dalam negara yang mempunyai paham demokrasi memang mempunyai kebebasan berpendapat. Semua kalangan bebas beropini untuk menyuarakan pendapatnya. Namun hidup dalam demokrasi juga ada aturannya. Bebas bukan tanpa batas, kebebasan diatur oleh undang-undang dan norma masyarakat.
Kebebasan dalam hubungan bermasyarakat sudah diatur dalam landasan kita, Pancasila. Inilah yang membatasi kebebasan seseorang. Bahwa hidup di bangsa ini mempunyai Tuhan yang Esa, menciptakan keadilan, persatuan, kemanusiaan, permusyawaratan, dan lain sebagainya. Nilai-nilai di dalam Pancasila itulah yang mengatur kebebasan orang bermasyarakat.
Persoalan poster “Syiah Bukan Islam” seharusnya perlu dikaji ulang. Bukan dikaji melalui ideologi ataupun benar salahnya. Soal benar ataupun salah, kafir ataupun shaleh itu merupakan hak Tuhan untuk menentukannya. Manusia dalam beragama memang mempunyai rambu-rambu ataupun batasan. Setiap kelompok mempunyai rambu-rambu ataupun batasan, baik itu Sunni ataupun Syi’ah. Sedangkan kalau di Indonesia, setiap ormas mempunyai rambu-rambu dan ukuran mana yang saleh dan mana yang tidak.
Rambu-rambu ataupun batasan kalau dalam Islam kita kenal dengan syariat. Syariat merupakan hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Syariat ini mempunyai beberapa tafsiran dari berbagai aliran, baik Syi’ah ataupun Sunni. Kali ini, penulis tidak membahas soal ideologi Sunni Syi’ah, melainkan membahas soal hidup bermasayarakat dan bernegara.
Agama Sebagai Alat Transportasi
Kebanyakan kelompok-kelompok dalam agama memandang kebenaran agama berdasarkan sudut pandang kelompoknya sendiri. Tidak heran jika ada satu kelompok mengkafirkan kelompok lain, saling membid’ahkan, menyesat-sesatkan. Fenomena tersebut bukan hal baru lagi di kalangan umat beragama, namun menjadi persoalan yang urgen dan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Fenomena tersebut tiada henti menimbulkan konflik. Hal ini perlu adanya pemahaman tentang agama secara menyeluruh, bahwa kelompok agama (termasuk Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah, dan lain-lain) menjadi alat transportasi kita menuju yang hakiki yaitu Tuhan. (Baca juga: NU dan Jihad Lingkungan Hidup)
Sumber Gambar: kompasiana.com |
Kenapa penulis menganalogikan sebagai alat transportasi? Secara substansial menurut pemahaman penulis, bahwa tiap orang mempunyai kendaraan untuk mencapai tujuan. Terserah, orang mau memakai kendaraan apapun yang penting sesuai dengan peraturan yang ada dalam kendaraan tersebut. Pastinya berbeda peraturan yang terdapat di pesawat dengan peraturan di bus, kereta ataupun kendaraan lainnya. Soal seseorang ingin naik kendaraan apa itu terserah orang tersebut, orang lain tidak boleh memaksanya, tapi soal menyarankan itu sah-sah saja.
Begitu juga soal agama. Ideologi ataupun organisasi kemasyarakatan (ormas) layaknya kendaraan menuju suatu yang hakiki dalam hidup. Seseorang mau menaiki ideologi ataupun ormas apapun pada hakikatnya yang dituju adalah sama. Tujuannya sama, namun jalan atau kendaraannya lah yang berbeda. Dalam kendaraan yang ditumpangi seseorang, atau saat seseorang mengikuti salah satu ormas pasti ada rambu-rambu atau istilah pada umumnya dalam agama Islam adalah Syariat. Memang dalam Al-Qur’an dan Hadits sudah ada rambu-rambu, tetapi tiap kelompok mempunyai penafsiran yang berbeda-beda. Inilah mengapa ada perbedaan dalam tiap kelompok dalam Islam. Kalau di Indonesia, Muhammadiyah menentang adanya bid’ah, sedangkan menurut Nahdlatul Ulama’, bid’ah dibagi menjadi dua, ada bid’ah khasanah dan dhalalah. Bid’ah khasanah tidak menjadi persoalan untuk dijalankan, seperti adanya baju, songkok, sarung, dan lain sebagainya.
Timbulnya konflik antar ormas ataupun ideologi itu disebabkan peraturan yang ada di dalam kelompoknya ingin juga diterapkan pada kelompok lain. Adil bukan? Jelas dalam kacamata kebebasan beragama ini tidak sesuai. Penulis berpandangan, bahwa orang yang sampai pada tujuan yang hakiki itu adalah orang yang benar-benar mengikuti aturan yang ada di dalam kelompoknya, tanpa melecehkan atau mengganggu kelompok lain.
Kalaupun ada kelompok yang dianggap “sesat” oleh mayoritas pemeluk agama, maka selayaknya dirundingkan bersama-sama. Tradisi diskusi dengan baik yang dijelaskan dalam Al-Qur’an saat ini menjadi mengikis. Tanpa mengetahui seluk-beluk kelompok baru tersebut, terkadang mayoritas menjust bahwa kelompok tersebut sesat, kafir dan lain sebagainya dengan berlandaskan referensi ataupun sejarah.
Multikulturalisme
Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai multikultural. Nilai-nilai multikultural dalam Islam ini sangat cocok dengan kondisi bangsa Indonesia yang juga masyarakat sangat multikultural. Meskipun demikian, masih banyak umat Islam yang belum menjadikan nilai-nilai multikulturalisme sebagai pijakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Nawiruddin dan Andang: 2014).
Jika multikulturalisme dijadikan sebagai pijakan dalam kehidupan bermasyarakat, maka kita dengan mudah menerima dan mengakui adanya eksistensi berbagai entitas, baik entitas agama, budaya, etnis, adat-istiadat, dan lain sebagainya. Orang yang mempunyai pemahaman seperti itu, maka akan dengan mudah menyikapi kelompok-kelompok lain. Kita juga akan mudah duduk bareng dengan agama atau kelompok lain.
Nilai-nilai Islam yang menunjukkan multikulturalisme sangatlah banyak. Walaupun istilah multikulturalisme tidak disebutkan secara eksplisit, nilai-nilai multikulturalisme diuraikan dalam ayat l-Qur’an. Islam selalu mengajarkan kepada pemeluknya untuk menyebarkan kedamaian. Islam juga mengakui adanya kesetaraan di antara manusia.
Islam juga mengajarkan keadilan kepada pemeluknya. Islam mengharuskan umatnya untuk bersikap adil dalam semua aspek kehidupan meskipun kepada keluarga sendiri. Nilai-nilai multikulturalisme dalam Islam juga terimplikasikan anjuran untuk saling tolong-menolong kepada sesama manusia meskipun kepada non Muslim selama mereka tidak memusuhi. Nawawiruddin (2014) juga menyatakan bahwa Islam mengajarkan titik temu antar agama.
Nur Sholikhin, aktivis Gusdurian Yogyakarta, dan PU LPM Paradigma FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 comments :
Post a Comment