Oleh: Ahmad Bayhaki*
Paradigma sinisme telah menjelma fenomena di ranah kesusastraan Indonesia. Dan tampaknya hal tersebut telah menyebar, pula menjamur. Tentu ini amat mengkhawatirkan, sebab perang dingin di kalangan pegiat sastra (sastrawan), kian marak terjadi tanpa adanya titik temu yang pasti.
Salah satu hal yang menjadi titik tolaknya, ialah sesuatu yang barangkali bisa dibilang remeh, yakni popularitas. Patut disayangkan jika popularitas harus menjadi pisau bermata dua. Di sisi pertama baik, sedang yang kedua malah menimbulkan konflik. Maka kemudian, apa yang salah jika ada seorang sastrawan di antara kita meraih popularitasnya?
Popularitas di kalangan sastrawan sendiri, merupakan suatu akibat yang di antara penyebabnya adalah kerap dimuat di berbagai media; menerbitkan beberapa buku; memenangi sayembara-sayembara kepenulisan; termasuk pula diundang ke acara-acara sastra berkelas: baik sebagai narasumber, maupun tidak.
Dari sekian banyak realitas sinisme di kalangan sastrawan yang terjadi, ada sebuah kenyataan miris yang dialami salah seorang sastrawan kita. Sastrawan kita itu––tentu kurang etis jika saya cantumkan namanya di sini––yang dikarenakan dirinya mulai menapaki jenjang popularitas, menjadi buah bibir yang berujung cibiran, bahkan cemoohan di kalangan sastrawan lain. Hal itu terjadi di mana saja dan kapan saja tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Bisa di kedai kopi, bisa juga di ruang-ruang diskusi suatu komunitas. Boleh jadi menjelang senja; pun di tengah malam yang dingin, yang itu sebenarnya hanyalah berakar pada sinisme itu sendiri.
Pada gilirannya, disadari atau tidak, paradigma sinisme telah lebih banyak melahirkan pengaruh negatif, yang salah satunya saya temukan di baris per baris esai karangan Anwar Noeris. Dalam esai tersebut, Noeris mengungkapkan kegelisahannya:
“Cukup miris fenomena perbukuan kita, seolah-olah mereka (penulis/sastrawan, pen) tak memiliki tanggung jawab apa-apa setelah bukunya terbit dan sampai di tengah-tengah masyarakat. Mereka berpikir, setelah terbit, ya sudah. Popularitas oke. Dapat uang. Bila fenomena ini tetap menjadi kebiasaan di negara kita ini, maka tinggal menunggu ajal dunia kesusastraan kita akan terkubur dan hancur dengan ulah penulisnya sendiri (Suara Merdeka, 26 April 2015).”
Menurut Noeris, dewasa ini dinamika sastra di Indonesia tak lebih hanya sebatas produk konsumsi, hiburan remeh-temeh, dan sumber informasi yang cepat basi. Ia seolah menyesalkan tindakan para sastrawan pemula yang kebelet menerbitkan bukunya. Sebab, menurutnya, terbitnya buku tersebut semata hanya kesia-siaan. Tentu, hal itu apabila tanpa disertai proses yang sungguh dan berdarah-darah. Bahkan, secara implisit, dapat dilihat bahwa Noeris berasumsi hal tersebut dapat memicu kemerosotan dalam ranah kesusastraan.
Sebagai salah seorang penikmat kesusastraan di negeri ini, saya merasa kurang sependapat dengan apa yang telah dikemukakan Noeris dalam esai tersebut. Setidaknya ada tiga poin yang melatari keberatan saya atas esensi esai itu. Pertama. Noeris terkesan menafikan pentingnya buku. Dalam artian, ia semata-mata hanya memandang sisi negatif dan mengesampingkan sisi positifnya. Sebuah buku, terlepas dari baik atau tidaknya di mata pembaca, tetaplah merupakan produk utama kesusastraan.
Maka bayangkan, betapa ringkihnya suatu ranah kesusastraan tanpa bisa melahirkan buku. Pula, akan ditakar dari segi apakah kemajuannya, lagi-lagi tanpa buku? Selain melalui media cetak (koran), tentunya buku juga merupakan sarana bagi seorang sastrawan/penulis untuk berinteraksi dengan pembaca. Terlebih lagi, adakah perbedaan antara media cetak (koran) dengan buku dari segi substansi?
Kedua. Noeris seolah menggeneralisasi bahwa setiap sastrawan/penulis pemula niscaya akan melahirkan karya yang tak lain hanyalah sampah. Dengan kata lain, Noeris tidak menghendaki adanya regenerasi kesusastraan di Indonesia. Namun begitu, seiring waktu, bukankah hal inilah yang justru akan memicu kemerosotan itu sendiri?
Maka, biarkanlah mereka para penulis pemula (muda) berproses, berekspresi, dan bahkan menuai kegagalan. Siapa yang bisa memastikan bahwa di kemudian hari mereka dapat berhasil mendaki puncak tertinggi di ranah kesusastraan? Untuk itu, meski sejarah pernah mencatat kegagalannya, toh itu tidak akan menjadi suatu masalah.
Ketiga. Noeris tampak terlampau pesimistis memandang kemajuan kesusastraan Indonesia, dan terlampau khawatir kesusastraan kita akan digilas oleh perkembangan zaman. Ia seolah alpa bahwa sebenarnya itulah indikator atas tangguh atau tidaknya kesusastraan di negeri ini.
Pada gilirannya, apabila ditelisik lebih dalam lagi, maka akan semakin jelaslah bahwa sekian asumsi yang dituangkan Noeris dalam esainya, tak lain hanyalah noktah kecil yang ditimbulkan oleh paradigma sinisme. Sesegera mungkin, seorang sastrawan harus bisa melepaskan dan membuang jauh-jauh paradigma ini. Salah satu misi kesusastraan ialah Humanisme. Ketika paradigma sinisme masih dipelihara, maka gugurlah misi yang amat mulia tersebut.
Betapa akan sangat mengkhawatirkannya seorang sastrawan yang dalam kesehariannya hanya disibukkan dengan menilai dan menilai. Padahal, belum tentu dirinya lebih berkualitas. Mengapakah tak ia habiskan saja waktu untuk menjelajahi berbagai literatur yang ada, yang tentunya akan lebih bermanfaat terhadap dirinya, daripada memusingkan diri tanpa menghasilkan suatu karya berharga?***
Ahmad Bayhaki, Mahasiswa Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagian cerita pendeknya telah dimuat di sejumlah media massa lokal dan nasional. Aktif di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta dan #KampusFiksi Yogyakarta. Kini tinggal di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'arie Yogyakarta.
Paradigma sinisme telah menjelma fenomena di ranah kesusastraan Indonesia. Dan tampaknya hal tersebut telah menyebar, pula menjamur. Tentu ini amat mengkhawatirkan, sebab perang dingin di kalangan pegiat sastra (sastrawan), kian marak terjadi tanpa adanya titik temu yang pasti.
Sumber Gambar: indonesiasastra.com |
Salah satu hal yang menjadi titik tolaknya, ialah sesuatu yang barangkali bisa dibilang remeh, yakni popularitas. Patut disayangkan jika popularitas harus menjadi pisau bermata dua. Di sisi pertama baik, sedang yang kedua malah menimbulkan konflik. Maka kemudian, apa yang salah jika ada seorang sastrawan di antara kita meraih popularitasnya?
Popularitas di kalangan sastrawan sendiri, merupakan suatu akibat yang di antara penyebabnya adalah kerap dimuat di berbagai media; menerbitkan beberapa buku; memenangi sayembara-sayembara kepenulisan; termasuk pula diundang ke acara-acara sastra berkelas: baik sebagai narasumber, maupun tidak.
Dari sekian banyak realitas sinisme di kalangan sastrawan yang terjadi, ada sebuah kenyataan miris yang dialami salah seorang sastrawan kita. Sastrawan kita itu––tentu kurang etis jika saya cantumkan namanya di sini––yang dikarenakan dirinya mulai menapaki jenjang popularitas, menjadi buah bibir yang berujung cibiran, bahkan cemoohan di kalangan sastrawan lain. Hal itu terjadi di mana saja dan kapan saja tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Bisa di kedai kopi, bisa juga di ruang-ruang diskusi suatu komunitas. Boleh jadi menjelang senja; pun di tengah malam yang dingin, yang itu sebenarnya hanyalah berakar pada sinisme itu sendiri.
Pada gilirannya, disadari atau tidak, paradigma sinisme telah lebih banyak melahirkan pengaruh negatif, yang salah satunya saya temukan di baris per baris esai karangan Anwar Noeris. Dalam esai tersebut, Noeris mengungkapkan kegelisahannya:
“Cukup miris fenomena perbukuan kita, seolah-olah mereka (penulis/sastrawan, pen) tak memiliki tanggung jawab apa-apa setelah bukunya terbit dan sampai di tengah-tengah masyarakat. Mereka berpikir, setelah terbit, ya sudah. Popularitas oke. Dapat uang. Bila fenomena ini tetap menjadi kebiasaan di negara kita ini, maka tinggal menunggu ajal dunia kesusastraan kita akan terkubur dan hancur dengan ulah penulisnya sendiri (Suara Merdeka, 26 April 2015).”
Menurut Noeris, dewasa ini dinamika sastra di Indonesia tak lebih hanya sebatas produk konsumsi, hiburan remeh-temeh, dan sumber informasi yang cepat basi. Ia seolah menyesalkan tindakan para sastrawan pemula yang kebelet menerbitkan bukunya. Sebab, menurutnya, terbitnya buku tersebut semata hanya kesia-siaan. Tentu, hal itu apabila tanpa disertai proses yang sungguh dan berdarah-darah. Bahkan, secara implisit, dapat dilihat bahwa Noeris berasumsi hal tersebut dapat memicu kemerosotan dalam ranah kesusastraan.
Sebagai salah seorang penikmat kesusastraan di negeri ini, saya merasa kurang sependapat dengan apa yang telah dikemukakan Noeris dalam esai tersebut. Setidaknya ada tiga poin yang melatari keberatan saya atas esensi esai itu. Pertama. Noeris terkesan menafikan pentingnya buku. Dalam artian, ia semata-mata hanya memandang sisi negatif dan mengesampingkan sisi positifnya. Sebuah buku, terlepas dari baik atau tidaknya di mata pembaca, tetaplah merupakan produk utama kesusastraan.
Sumber Gambar: photobucket.com |
Maka bayangkan, betapa ringkihnya suatu ranah kesusastraan tanpa bisa melahirkan buku. Pula, akan ditakar dari segi apakah kemajuannya, lagi-lagi tanpa buku? Selain melalui media cetak (koran), tentunya buku juga merupakan sarana bagi seorang sastrawan/penulis untuk berinteraksi dengan pembaca. Terlebih lagi, adakah perbedaan antara media cetak (koran) dengan buku dari segi substansi?
Kedua. Noeris seolah menggeneralisasi bahwa setiap sastrawan/penulis pemula niscaya akan melahirkan karya yang tak lain hanyalah sampah. Dengan kata lain, Noeris tidak menghendaki adanya regenerasi kesusastraan di Indonesia. Namun begitu, seiring waktu, bukankah hal inilah yang justru akan memicu kemerosotan itu sendiri?
Maka, biarkanlah mereka para penulis pemula (muda) berproses, berekspresi, dan bahkan menuai kegagalan. Siapa yang bisa memastikan bahwa di kemudian hari mereka dapat berhasil mendaki puncak tertinggi di ranah kesusastraan? Untuk itu, meski sejarah pernah mencatat kegagalannya, toh itu tidak akan menjadi suatu masalah.
Ketiga. Noeris tampak terlampau pesimistis memandang kemajuan kesusastraan Indonesia, dan terlampau khawatir kesusastraan kita akan digilas oleh perkembangan zaman. Ia seolah alpa bahwa sebenarnya itulah indikator atas tangguh atau tidaknya kesusastraan di negeri ini.
Pada gilirannya, apabila ditelisik lebih dalam lagi, maka akan semakin jelaslah bahwa sekian asumsi yang dituangkan Noeris dalam esainya, tak lain hanyalah noktah kecil yang ditimbulkan oleh paradigma sinisme. Sesegera mungkin, seorang sastrawan harus bisa melepaskan dan membuang jauh-jauh paradigma ini. Salah satu misi kesusastraan ialah Humanisme. Ketika paradigma sinisme masih dipelihara, maka gugurlah misi yang amat mulia tersebut.
Betapa akan sangat mengkhawatirkannya seorang sastrawan yang dalam kesehariannya hanya disibukkan dengan menilai dan menilai. Padahal, belum tentu dirinya lebih berkualitas. Mengapakah tak ia habiskan saja waktu untuk menjelajahi berbagai literatur yang ada, yang tentunya akan lebih bermanfaat terhadap dirinya, daripada memusingkan diri tanpa menghasilkan suatu karya berharga?***
Ahmad Bayhaki, Mahasiswa Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagian cerita pendeknya telah dimuat di sejumlah media massa lokal dan nasional. Aktif di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta dan #KampusFiksi Yogyakarta. Kini tinggal di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'arie Yogyakarta.
0 comments :
Post a Comment