Oleh: Masykur Arif Rahman
Perlukah aku bertanya, siapakah engkau sebenarnya, Tuhan?
Salah satu sahabat fb-ku melarangku mempertanyakan Tuhan. Katanya, Tuhan tak perlu dipertanyakan. Cukup diimani saja. Sebab, kau tak akan mampu menalarnya. Demikian pesan inboxnya.
Namun, sahabat fb-ku yang lain mengatakan sebaliknya bahwa aku harus mempertanyakan Tuhan. Katanya,
Tuhan yang tak dipertanyakan adalah Tuhannya orang-orang yang tak berakal. (Baca juga: Negara Sakit)
Karena aku takut dikatakan sebagai orang yang tak berakal, seperti sapi, ayam, dan kuda, misalnya, maka aku memberanikan diri untuk mempertanyakan Tuhan dan sedikit mengacuhkan larangan untuk tidak bertanya tentang Tuhan.
Siapakah Tuhan itu? Seperti apakah wujud-Nya? Apakah Tuhanku dan Tuhanmu sama? Apakah Tuhan itu menciptakan manusia agar saling menghujat, mengafirkan, dan membunuh?
Ternyata, bagiku, bertanya tentang Tuhan itu mengasyikkan. Sangat menghibur dan memenuhi kebutuhan spiritualitas, sebagai salah satu kebutuhan esensial manusia, kata Karen Armstrong. Barangkali, bagi orang lain, bertanya tentang Tuhan akan membuat kepalanya menjadi pusing karena semakin dipertanyakan, Tuhan semakin menampakkan kerahasiaannya.
Walaupun harus kuakui, dari sekian pertanyaanku tentang Tuhan, tidak semuanya terjawab dengan memuaskan. Tuhan selalu menunjukkan misterinya. Karena itu, aku semakin ingin mengetahui-Nya. Walau seandainya Tuhan akan tetap menampakkan misterinya.
Tapi, dari sedikit jawaban yang kuperoleh dari menanyakan Tuhan, paling tidak aku bisa mengerti dan memahami mengapa aku harus mengimani-Nya. Dari sini pula aku bisa mempertanggungjawabkan imanku kepada orang lain.
Kubuka rahasiaku sedikit. Dulu, gara-gara tidak pernah bertanya tentang Tuhan, aku cenderung menjadi orang yang arogan dan sewenang-wenang. Sok tahu tentang Tuhan. Aku akan menyalahkan konsepsimu tentang Tuhan, bahkan mengkafirkanmu–jika pengetahuanmu tentang Tuhan tidak sama dengan yang kuketahui.
Tapi kini, aku insaf bahwa hal tersebut tidak baik bagi keberlangsungan spiritualitasku. Logikanya, kalau sekadar ingin menyalahkan, mengafirkan, dan menyakiti orang lain, aku tidak perlu bertuhan.
Karena itu, sekali lagi aku bertanya tentang Tuhan. Apakah Tuhan itu menciptakan manusia agar saling menghujat, mengafirkan dan membunuh?
Teman fb-ku mengatakan lagi, sekali lagi tidak perlu banyak tanya ini-itu tentang Tuhan. Sebab–jika banyak bertanya–kau akan tersesat. Sudah banyak orang yang tersesat karena bertanya tentang Tuhan.
Teman fb-ku yang satunya menjawab, orang yang tak mau bertanya itulah orang yang mudah tersesat. Coba saja buktikan dengan melakukan perjalanan ke kota yang tak pernah kau singgahi sebelumnya. Lalu, kau cari di kota itu sebuah taman permainan bernama T. Aku yakin kau akan tersesat jika tak bertanya tentang jalan yang menuju ke sana. Demikian juga jika kau tak bertanya tentang Tuhan.
Setelah bertanya tentang Tuhan dari berbagai aspek dan segi, aku baru mengerti, oh, ternyata Tuhan itu begini dan begitu. Aku tidak perlu mengatakan hasil penalaranku tentang Tuhan di sini. Aku takut–jika dijabarkan–akan menjadi teologi yang membuat aku kembali seperti yang dulu, yaitu memaksa orang-orang lain untuk mempercayai teologiku. Atau aku akan dikafirkan oleh orang lain karena telah menyusun teologi yang salah.
Namun, jika engkau memaksaku untuk menjelaskan hasil nalarku tentang Tuhan yang melalui pertanyaan, maka kita harus sepakati dulu bahwa, pertama, tidak ada cemburu dan permusuhan diantara kita–jika hasil nalarku tentang Tuhan berbeda dengan hasil nalarmu. Kedua, akan kujelaskan secara empat mata.
Menurutku, yang penting untuk kujelaskan di sini adalah bahwa aku meraih banyak hal baru setelah selalu bertanya tentang Tuhan. Diantara hal baru tersebut adalah: Pertama, aku menjadi berani berdialog tentang Tuhan. Bukan bertengkar, lho, ya. Kalau ada orang yang mengajak berbagi pengetahuan tentang Tuhan, aku siap melayaninya. Karena aku sudah terbiasa bertanya tentang Tuhan.
Kedua, aku menjadi berani menyanggah orang yang mengatakan bahwa imanku tidak rasional. Bukan bertengkar lagi, lho, ya. Hanya menyanggah sebagaimana dalam diskusi. Sebab aku sudah terbiasa bertanya tentang Tuhan, yang secara tidak langsung, aku juga terbiasa merasionalkan Tuhanku. Jika diketahui bahwa imanku dan imanmu sama-sama rasional maka tidak ada alasan bagi kita untuk saling cemburu dan menyalahkan, apalagi sampai mengafirkan. Cukup kita diskusi saja untuk memperkaya pengetahuan kita tentang Tuhan.
Ketiga, aku menjadi berani untuk mempertanggungjawaban imanku di hadapan orang-oarang ateis. Bukan bertengkar lagi, ya, hanya mempertanggungjawabkan. Biasanya ada orang ateis yang beranggapan bahwa beriman kepada Tuhan itu adalah perbuatan yang tidak rasional dan sia-sia. Karena aku telah mampu merasionalkan Tuhan melalui pertanyaan-pertanyaan tentang-Nya, maka aku berani mempertanggungjawabkan keimananku di hadapan orang ateis yang seperti itu.
Keempat, aku menjadi hidup lebih tenang dalam beragama karena aku sudah tidak berbuat sewenang-wenang dan arogan dalam beragama. Lewat pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan aku memahami bahwa imanku tak jauh beda dengan imanmu. Hanya aku memilih jalan keimanan yang berbeda.
Kelima, aku tidak lagi seperti anak kecil yang selalu ingin dipahami oleh kedua orang tuaku dan orang lain tanpa harus memahami mereka. Lewat pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan aku menjadi mengerti bahwa teologiku tidak perlu dipaksakan untuk dipercayai orang lain. Yang terpenting aku juga memahami teologimu yang berbeda dengan teologiku. Berdamai dengan diri sendiri tentu akan lebih baik.
Dari kelima hal tersebut, aku menjadi mengerti bahwa bertanya tentang Tuhan tidak membuat aku tersesat dan menyesatkan orang lain.
Tuhan, siapakah engkau sebenarnya?
Masykur Arif Rahman, Master di Jurusan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Perlukah aku bertanya, siapakah engkau sebenarnya, Tuhan?
Sumber Gambar: krishbeda.wordpres.com |
Salah satu sahabat fb-ku melarangku mempertanyakan Tuhan. Katanya, Tuhan tak perlu dipertanyakan. Cukup diimani saja. Sebab, kau tak akan mampu menalarnya. Demikian pesan inboxnya.
Namun, sahabat fb-ku yang lain mengatakan sebaliknya bahwa aku harus mempertanyakan Tuhan. Katanya,
Tuhan yang tak dipertanyakan adalah Tuhannya orang-orang yang tak berakal. (Baca juga: Negara Sakit)
Karena aku takut dikatakan sebagai orang yang tak berakal, seperti sapi, ayam, dan kuda, misalnya, maka aku memberanikan diri untuk mempertanyakan Tuhan dan sedikit mengacuhkan larangan untuk tidak bertanya tentang Tuhan.
Siapakah Tuhan itu? Seperti apakah wujud-Nya? Apakah Tuhanku dan Tuhanmu sama? Apakah Tuhan itu menciptakan manusia agar saling menghujat, mengafirkan, dan membunuh?
Ternyata, bagiku, bertanya tentang Tuhan itu mengasyikkan. Sangat menghibur dan memenuhi kebutuhan spiritualitas, sebagai salah satu kebutuhan esensial manusia, kata Karen Armstrong. Barangkali, bagi orang lain, bertanya tentang Tuhan akan membuat kepalanya menjadi pusing karena semakin dipertanyakan, Tuhan semakin menampakkan kerahasiaannya.
Walaupun harus kuakui, dari sekian pertanyaanku tentang Tuhan, tidak semuanya terjawab dengan memuaskan. Tuhan selalu menunjukkan misterinya. Karena itu, aku semakin ingin mengetahui-Nya. Walau seandainya Tuhan akan tetap menampakkan misterinya.
Tapi, dari sedikit jawaban yang kuperoleh dari menanyakan Tuhan, paling tidak aku bisa mengerti dan memahami mengapa aku harus mengimani-Nya. Dari sini pula aku bisa mempertanggungjawabkan imanku kepada orang lain.
Kubuka rahasiaku sedikit. Dulu, gara-gara tidak pernah bertanya tentang Tuhan, aku cenderung menjadi orang yang arogan dan sewenang-wenang. Sok tahu tentang Tuhan. Aku akan menyalahkan konsepsimu tentang Tuhan, bahkan mengkafirkanmu–jika pengetahuanmu tentang Tuhan tidak sama dengan yang kuketahui.
Tapi kini, aku insaf bahwa hal tersebut tidak baik bagi keberlangsungan spiritualitasku. Logikanya, kalau sekadar ingin menyalahkan, mengafirkan, dan menyakiti orang lain, aku tidak perlu bertuhan.
Karena itu, sekali lagi aku bertanya tentang Tuhan. Apakah Tuhan itu menciptakan manusia agar saling menghujat, mengafirkan dan membunuh?
Teman fb-ku mengatakan lagi, sekali lagi tidak perlu banyak tanya ini-itu tentang Tuhan. Sebab–jika banyak bertanya–kau akan tersesat. Sudah banyak orang yang tersesat karena bertanya tentang Tuhan.
Sumber Gambar: idelukisan.wordpress.com |
Teman fb-ku yang satunya menjawab, orang yang tak mau bertanya itulah orang yang mudah tersesat. Coba saja buktikan dengan melakukan perjalanan ke kota yang tak pernah kau singgahi sebelumnya. Lalu, kau cari di kota itu sebuah taman permainan bernama T. Aku yakin kau akan tersesat jika tak bertanya tentang jalan yang menuju ke sana. Demikian juga jika kau tak bertanya tentang Tuhan.
Setelah bertanya tentang Tuhan dari berbagai aspek dan segi, aku baru mengerti, oh, ternyata Tuhan itu begini dan begitu. Aku tidak perlu mengatakan hasil penalaranku tentang Tuhan di sini. Aku takut–jika dijabarkan–akan menjadi teologi yang membuat aku kembali seperti yang dulu, yaitu memaksa orang-orang lain untuk mempercayai teologiku. Atau aku akan dikafirkan oleh orang lain karena telah menyusun teologi yang salah.
Namun, jika engkau memaksaku untuk menjelaskan hasil nalarku tentang Tuhan yang melalui pertanyaan, maka kita harus sepakati dulu bahwa, pertama, tidak ada cemburu dan permusuhan diantara kita–jika hasil nalarku tentang Tuhan berbeda dengan hasil nalarmu. Kedua, akan kujelaskan secara empat mata.
Menurutku, yang penting untuk kujelaskan di sini adalah bahwa aku meraih banyak hal baru setelah selalu bertanya tentang Tuhan. Diantara hal baru tersebut adalah: Pertama, aku menjadi berani berdialog tentang Tuhan. Bukan bertengkar, lho, ya. Kalau ada orang yang mengajak berbagi pengetahuan tentang Tuhan, aku siap melayaninya. Karena aku sudah terbiasa bertanya tentang Tuhan.
Kedua, aku menjadi berani menyanggah orang yang mengatakan bahwa imanku tidak rasional. Bukan bertengkar lagi, lho, ya. Hanya menyanggah sebagaimana dalam diskusi. Sebab aku sudah terbiasa bertanya tentang Tuhan, yang secara tidak langsung, aku juga terbiasa merasionalkan Tuhanku. Jika diketahui bahwa imanku dan imanmu sama-sama rasional maka tidak ada alasan bagi kita untuk saling cemburu dan menyalahkan, apalagi sampai mengafirkan. Cukup kita diskusi saja untuk memperkaya pengetahuan kita tentang Tuhan.
Ketiga, aku menjadi berani untuk mempertanggungjawaban imanku di hadapan orang-oarang ateis. Bukan bertengkar lagi, ya, hanya mempertanggungjawabkan. Biasanya ada orang ateis yang beranggapan bahwa beriman kepada Tuhan itu adalah perbuatan yang tidak rasional dan sia-sia. Karena aku telah mampu merasionalkan Tuhan melalui pertanyaan-pertanyaan tentang-Nya, maka aku berani mempertanggungjawabkan keimananku di hadapan orang ateis yang seperti itu.
Keempat, aku menjadi hidup lebih tenang dalam beragama karena aku sudah tidak berbuat sewenang-wenang dan arogan dalam beragama. Lewat pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan aku memahami bahwa imanku tak jauh beda dengan imanmu. Hanya aku memilih jalan keimanan yang berbeda.
Kelima, aku tidak lagi seperti anak kecil yang selalu ingin dipahami oleh kedua orang tuaku dan orang lain tanpa harus memahami mereka. Lewat pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan aku menjadi mengerti bahwa teologiku tidak perlu dipaksakan untuk dipercayai orang lain. Yang terpenting aku juga memahami teologimu yang berbeda dengan teologiku. Berdamai dengan diri sendiri tentu akan lebih baik.
Dari kelima hal tersebut, aku menjadi mengerti bahwa bertanya tentang Tuhan tidak membuat aku tersesat dan menyesatkan orang lain.
Tuhan, siapakah engkau sebenarnya?
Masykur Arif Rahman, Master di Jurusan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 comments :
Post a Comment