Home » » Puisi-Puisi Mohammad Ali Tsabit

Puisi-Puisi Mohammad Ali Tsabit

Diposkan oleh damar pada Tuesday, June 9, 2015 | 6:08 PM

DI KAMAR EDI

hidupmu adalah batang-batang keris dan batu-batu mulia
bermandikan wangi melati, sedap malam, dan malaikat subuh

puisi
Sumber Gambar: jogjanews.com
dzikir bergemuruh mengucapkan riwayat
hatiku sepi, sukmamu pedih menampung arwah sejarah

walau cakar waktu mencengkram hujan
dingin akan tetap saling cakar dengan kemarau

seperti doa pencinta yang berlayar di samudera malam
engkau moksa berlinang-linang air mata

sebab katamu “kamar tidak hanya untuk menggantung pakaian,
menjauh dari keramaian atau sesekali menembang kembang mimpi”

maka jangan hanya berdiam diri
menunggu udara membisikkan sorga dan neraka


yogyakarta, 26032015



SABDA KAMPUNG HALAMAN

akulah tanah yang diberkati leluhur itu
memanjang antara Jenang dan Batang-Batang

kemarau dan hujan memeluk tubuh waktu
engkau dan aku saling tikam dengan jarak. saling memburu
seperti tawa dan amarah yang pernah engkau garis dipundakku

aku yang hafal cara engkau menanam benih airmata  di sela akar pohon kelapa
tak pernah berdusta pada selain pohon tempat engkau bersabda:
bagaimana engkau mengirim getar lewat dingin yang dipikul angin

dan matahari gemetar di atas plafon
menghitung-hitung hari serta kepulangan yang tak rampung direncanakan


kutub/yogyakarta, 19052015


CABEYAN NO. 42
ini dingin. dingin angin pantai selatan
dan subuh menetas dari lubuk lautan
matahari
Sumber Gambar: mustangcorps.com

matahari terbit dari balik bilik bagai camar
tubuhpun terbakar. segala macam angan terkapar

aku tulis puisi atau diri dari lipatan baju dalam lemari yang terlupakan
“datanglah engkau yang pernah pergi. tampakkan padaku tubuh pagi”

selagi kenari menembang sebuah kesedihan yang
menderu berabad-abad dalam sangkar kekasihnya

ini dingin membangunkan ingin
membangkitkan aroma tanah yang basah

sampai-sampai lumut tumbuh menghijaui halaman
beranda, sandal, fosil, serta akar pohonan
—ini tanda kasih tak sampai

dan tiba-tiba di hari yang digenangi dingin
roh nenek moyang berduyun-duyun dari selatan
membersihkan rumput yang meninggi di halaman


kutub/yogyakarta, 20052015


ROKAT TASE’

bulan kalut di penanggalan
ikanikan berenang menjahui malam

angin bertiup lamban. dari segara sampansampan
menggulung layar ke semak fajar

kemarau dan hujan terlempar ke tepian
mengubur dirinya di balik pasir hitam

kami berbaris membasahi diri di pantai
menyulut sedupa di atas kulit kelapa. membaca mantra di antara cemara

siang-malam kami mabuk menabuh gendang
menyanyikan sunyi-sepi di lautan

Sandoruarae ghur cak-cak
Sandoruarae ghur  jhem

ombak menggila. kami pun berlayar
dengan bunte’ membawa bermacam ancaka

:nasi kuning berkafan daun pisang, dua ayam jagoan,
dan kepala kambing yang dipenggal—kami larung ke punggung lautan
semoga roh nenek moyang senang


kutub/yogyakarta, 2015


MENGENAG AKHIR SEBUAH KAMIS

di kota ini, malam dan hari lesat ke dasar secangkir kopi
yang dicatat oleh waktu timbul-tenggelam bagai nyeri
benar, kenangan gampang kita temukan di tiap tegukan dan obrolan

dan dari kamis yang dimakamkan tanpa nisan
wajah bapak dan ibu kerap berziarah sepanjang perjalanan
mengunjungi tahun-tahun berguguran

sedap luban dan wewangian alam kerap datang bergantian
kala ruh telah sampai di depan beranda
dan al-fatiha begitu hangat dibakaran kulit kelapa:
di situ musim labuh dua benua dianggap telah tiba

kemudian jika kota ini tak menyimpan hakikat dari sepi
semacam kamis yang tak terjadi di sini
atau seperti bedug yang ditabuh sesudah adzan
segala yang pernah datang kemudian pergi kapan akan bersua kembali?


yogyakarta, 28042015


KATHARSIS

sabda itu berasala dari
seorang Samos di Ioni yang terasing hingga Kroton

dua puluh abad silam kesunyian menyimpan dalam-dalam
tentang sebuah ajaran dan awal mula kehidupan

“jiwa adalah suci, berada di luar diri dan tak mati!”
namun hukum tak selamanya perih dan menakutkan, bukan?
“ia akhirnya terkurung dalam diri”

di dalalm diri jiwapun bersemadi
mengingat dosa-dosanya tempo hari

barangkali supaya dewa dapat mengerti bila mati nanti
ia ingin meninggalkan diri
dan tak ingin kembali berada di bawah bayang-bayang
matahari, bulan, bintang, tumbuhan, dan manusia lagi


kutub/yogyakarta, 31052015


DALAM HENING LONCENG
lonceng
Sumber Gambar: beritasatu.com

lonceng berdentang dari dasar liang
lengkingnya sampai dan
memporak-porandakan lapisan langit-langit badan
di antara kelembutan suarasuara angin
aku bangkit dari berbagai kemabukan
dan menyalangkan separuh ingatan
jauh kerimbarimba, mengejarngejar impian
yang dierami kerinduan

terkadang dentang lonceng yang kerap mengirimkan kegalauan itu
lengkingnya bermula; entah turun dari ketinggian mana
hingga aku dipaksa menghayati sebuah riwayat panjang
asalmuasal aku dilahirkan

dengan segala kejernihan pikiran
aku pun mengkristalkan sebiji keyakinan
bahwa segala kloneng lonceng yang kudengar
adalah tekateki yang mesti dijawab dengan penuh cinta


kutub/yogyakarta, 201114



BERSEPEDA

kukayuh tungkai mimpi itu, berpeluh—berpuluh kilometer. antara kelokan dan simpang jalan kota. berkalikali kusimpan wajah rinduku. menoleh ke belakang, melirik kegelisahan yang dirumuskan orangorang—hanya sebentar. buruburu kembali kuluruskan pandangan pada aspal yang hitam. menjauhi matahari yang kian meninggihi badan.

diamdiam kuperhatikan waktu di saku baju. sambil membayangkan arus sungai dalam botol mengaliri kekeringan. kekeringan yang tumbuh sebagaimana kenangan merawat ingatan. siapa tau di ujung timur jalan itu aku kembali bisa lebih cepat sampai memutuskan kerinduan.

kutub/yogyakarta, 100914


SEDANG MALAM HUJAN

karena malam hujan adalah waktu tepat untuk mengembalikan diri pada kenangan. kutulis puisiku dengan dayadaya. saat langit hitam dan hujan itu tengah menyatakan denyut dirinya ke dalam diriku. meski setiap kemungkinan kerap membuat diriku terpental di antaranya.

dan aku sadar akan sebuah kehilangan. seperti kepastian yang ditetapkan jarijari takdir; bahwa adakalanya masingmasing manusia mesti meninggalkan dirinya dan kembali pada yang punya. pun puisi adakalnya mesti meninggalkan raganya dan berpulang pada kampung halamannya.

dan aku yang tengah berlindung dari musim kebodohan—sekaligus dari masa kehilangan itu. ke mana harus berlayar dan merapatkan sampansampan. supaya yang telah menjadi niat tak terlambat diwasiatkan. karena tuhan juga menurunkan malam tak sepanjang nafas di badan.

jenangger, 04022015


DALAM SEBUAH MONOLOG

sekian waktu sudah aku istirah di dalam engkau. untuk senantiasa mengisyaratkanmu sebuah ruang dan lorong panjang untuk engkau berjalan. entah kemana? mungkinkah ke belantara raya; tempat segala kenikmatan serta kesengsaraan beranak pinak—entah menjadi apa ia?

aku pun juga kerap mengarahkan ke dalam dirimu. setiap kekuatan yang bertemu denganku dari negerinegeri jauh. supaya engkau benar serta tak sepihak memilihkan diriku cinta.

tapi mengapa sampai waktu teramat perkasa dan kini mengeras bagai air—engkau masih saja tak bisa menentukan satu cinta pada sebuah jalan kebenaran?

kutub/yogyakarta, 16012015 


Mohammad Ali Tsabit, lahir di Sumenep. Karya-karyanya berupa puisi dan esai di muat di beberapa media massa. Sebagai mahasiswa  jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ia aktif di bersastra dan berkesenian di berbagai komunitas di antaranya: Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY), Jejak Imaji, dan Teater 42. Saat ini tinggal di Jl. Parangtritis KM 7,5 Cabeyan Sewon Bantul.


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment