hidupmu adalah batang-batang keris dan batu-batu mulia
bermandikan wangi melati, sedap malam, dan malaikat subuh
Sumber Gambar: jogjanews.com |
hatiku sepi, sukmamu pedih menampung arwah sejarah
walau cakar waktu mencengkram hujan
dingin akan tetap saling cakar dengan kemarau
seperti doa pencinta yang berlayar di samudera malam
engkau moksa berlinang-linang air mata
sebab katamu “kamar tidak hanya untuk menggantung pakaian,
menjauh dari keramaian atau sesekali menembang kembang mimpi”
maka jangan hanya berdiam diri
menunggu udara membisikkan sorga dan neraka
yogyakarta, 26032015
SABDA KAMPUNG HALAMAN
akulah tanah yang diberkati leluhur itu
memanjang antara Jenang dan Batang-Batang
kemarau dan hujan memeluk tubuh waktu
engkau dan aku saling tikam dengan jarak. saling memburu
seperti tawa dan amarah yang pernah engkau garis dipundakku
aku yang hafal cara engkau menanam benih airmata di sela akar pohon kelapa
tak pernah berdusta pada selain pohon tempat engkau bersabda:
bagaimana engkau mengirim getar lewat dingin yang dipikul angin
dan matahari gemetar di atas plafon
menghitung-hitung hari serta kepulangan yang tak rampung direncanakan
kutub/yogyakarta, 19052015
CABEYAN NO. 42
ini dingin. dingin angin pantai selatan
dan subuh menetas dari lubuk lautan
Sumber Gambar: mustangcorps.com |
matahari terbit dari balik bilik bagai camar
tubuhpun terbakar. segala macam angan terkapar
aku tulis puisi atau diri dari lipatan baju dalam lemari yang terlupakan
“datanglah engkau yang pernah pergi. tampakkan padaku tubuh pagi”
selagi kenari menembang sebuah kesedihan yang
menderu berabad-abad dalam sangkar kekasihnya
ini dingin membangunkan ingin
membangkitkan aroma tanah yang basah
sampai-sampai lumut tumbuh menghijaui halaman
beranda, sandal, fosil, serta akar pohonan
—ini tanda kasih tak sampai
dan tiba-tiba di hari yang digenangi dingin
roh nenek moyang berduyun-duyun dari selatan
membersihkan rumput yang meninggi di halaman
kutub/yogyakarta, 20052015
ROKAT TASE’
bulan kalut di penanggalan
ikanikan berenang menjahui malam
angin bertiup lamban. dari segara sampansampan
menggulung layar ke semak fajar
kemarau dan hujan terlempar ke tepian
mengubur dirinya di balik pasir hitam
kami berbaris membasahi diri di pantai
menyulut sedupa di atas kulit kelapa. membaca mantra di antara cemara
siang-malam kami mabuk menabuh gendang
menyanyikan sunyi-sepi di lautan
Sandoruarae ghur cak-cak
Sandoruarae ghur jhem
ombak menggila. kami pun berlayar
dengan bunte’ membawa bermacam ancaka
:nasi kuning berkafan daun pisang, dua ayam jagoan,
dan kepala kambing yang dipenggal—kami larung ke punggung lautan
semoga roh nenek moyang senang
kutub/yogyakarta, 2015
MENGENAG AKHIR SEBUAH KAMIS
di kota ini, malam dan hari lesat ke dasar secangkir kopi
yang dicatat oleh waktu timbul-tenggelam bagai nyeri
benar, kenangan gampang kita temukan di tiap tegukan dan obrolan
dan dari kamis yang dimakamkan tanpa nisan
wajah bapak dan ibu kerap berziarah sepanjang perjalanan
mengunjungi tahun-tahun berguguran
sedap luban dan wewangian alam kerap datang bergantian
kala ruh telah sampai di depan beranda
dan al-fatiha begitu hangat dibakaran kulit kelapa:
di situ musim labuh dua benua dianggap telah tiba
kemudian jika kota ini tak menyimpan hakikat dari sepi
semacam kamis yang tak terjadi di sini
atau seperti bedug yang ditabuh sesudah adzan
segala yang pernah datang kemudian pergi kapan akan bersua kembali?
yogyakarta, 28042015
KATHARSIS
sabda itu berasala dari
seorang Samos di Ioni yang terasing hingga Kroton
dua puluh abad silam kesunyian menyimpan dalam-dalam
tentang sebuah ajaran dan awal mula kehidupan
“jiwa adalah suci, berada di luar diri dan tak mati!”
namun hukum tak selamanya perih dan menakutkan, bukan?
“ia akhirnya terkurung dalam diri”
di dalalm diri jiwapun bersemadi
mengingat dosa-dosanya tempo hari
barangkali supaya dewa dapat mengerti bila mati nanti
ia ingin meninggalkan diri
dan tak ingin kembali berada di bawah bayang-bayang
matahari, bulan, bintang, tumbuhan, dan manusia lagi
kutub/yogyakarta, 31052015
DALAM HENING LONCENG
Sumber Gambar: beritasatu.com |
lonceng berdentang dari dasar liang
lengkingnya sampai dan
memporak-porandakan lapisan langit-langit badan
di antara kelembutan suarasuara angin
aku bangkit dari berbagai kemabukan
dan menyalangkan separuh ingatan
jauh kerimbarimba, mengejarngejar impian
yang dierami kerinduan
terkadang dentang lonceng yang kerap mengirimkan kegalauan itu
lengkingnya bermula; entah turun dari ketinggian mana
hingga aku dipaksa menghayati sebuah riwayat panjang
asalmuasal aku dilahirkan
dengan segala kejernihan pikiran
aku pun mengkristalkan sebiji keyakinan
bahwa segala kloneng lonceng yang kudengar
adalah tekateki yang mesti dijawab dengan penuh cinta
kutub/yogyakarta, 201114
BERSEPEDA
kukayuh tungkai mimpi itu, berpeluh—berpuluh kilometer. antara kelokan dan simpang jalan kota. berkalikali kusimpan wajah rinduku. menoleh ke belakang, melirik kegelisahan yang dirumuskan orangorang—hanya sebentar. buruburu kembali kuluruskan pandangan pada aspal yang hitam. menjauhi matahari yang kian meninggihi badan.
diamdiam kuperhatikan waktu di saku baju. sambil membayangkan arus sungai dalam botol mengaliri kekeringan. kekeringan yang tumbuh sebagaimana kenangan merawat ingatan. siapa tau di ujung timur jalan itu aku kembali bisa lebih cepat sampai memutuskan kerinduan.
kutub/yogyakarta, 100914
SEDANG MALAM HUJAN
karena malam hujan adalah waktu tepat untuk mengembalikan diri pada kenangan. kutulis puisiku dengan dayadaya. saat langit hitam dan hujan itu tengah menyatakan denyut dirinya ke dalam diriku. meski setiap kemungkinan kerap membuat diriku terpental di antaranya.
dan aku sadar akan sebuah kehilangan. seperti kepastian yang ditetapkan jarijari takdir; bahwa adakalanya masingmasing manusia mesti meninggalkan dirinya dan kembali pada yang punya. pun puisi adakalnya mesti meninggalkan raganya dan berpulang pada kampung halamannya.
dan aku yang tengah berlindung dari musim kebodohan—sekaligus dari masa kehilangan itu. ke mana harus berlayar dan merapatkan sampansampan. supaya yang telah menjadi niat tak terlambat diwasiatkan. karena tuhan juga menurunkan malam tak sepanjang nafas di badan.
jenangger, 04022015
DALAM SEBUAH MONOLOG
sekian waktu sudah aku istirah di dalam engkau. untuk senantiasa mengisyaratkanmu sebuah ruang dan lorong panjang untuk engkau berjalan. entah kemana? mungkinkah ke belantara raya; tempat segala kenikmatan serta kesengsaraan beranak pinak—entah menjadi apa ia?
aku pun juga kerap mengarahkan ke dalam dirimu. setiap kekuatan yang bertemu denganku dari negerinegeri jauh. supaya engkau benar serta tak sepihak memilihkan diriku cinta.
tapi mengapa sampai waktu teramat perkasa dan kini mengeras bagai air—engkau masih saja tak bisa menentukan satu cinta pada sebuah jalan kebenaran?
kutub/yogyakarta, 16012015
Mohammad Ali Tsabit, lahir di Sumenep. Karya-karyanya berupa puisi dan esai di muat di beberapa media massa. Sebagai mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ia aktif di bersastra dan berkesenian di berbagai komunitas di antaranya: Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY), Jejak Imaji, dan Teater 42. Saat ini tinggal di Jl. Parangtritis KM 7,5 Cabeyan Sewon Bantul.
0 comments :
Post a Comment