Cerpen : Ita Novita Widyastuti
“Titititititititri..., tri..., tri..., triiiwww....”
Konon, ia adalah perempuan. Pada masanya, ia mampu sangat kejam. Terang saja, ibu tiri itu penuh dengki, berusaha melenyapkan nyawa saudari tiri anak kandungnya demi perhiasan. Saat salah mengeksekusi, penyesalan membuat deritanya dalam. Gadis kandungnya terlanjur hanyut ke sungai. Pencariannya pun tak berujung.
Sekarang, ia menjadi si penanda. Suaranya nenujumkan kemalangan bagi jiwa yang hendak tercabut.
“Titititititititri..., tri..., tri..., triiiwww....”
Sayup, suara kedasih terdengar jauh. Di atas dipan persegi panjang, perempuan tua itu asyik mengunyah sirih. Biasanya ia menikmati dengan menggumamkan tetembangan semacam asmarandana, pucung, atau dandanggula. Kali ini, tembangnya berkolaborasi dengan suara burung itu.
“Sigra milir sang gethek sinangga bajul (mengalirlah segera sang rakit dipikul buaya)
Kawan dasa kang njageni (empat puluh penjaganya)
Ing ngarso miwah ing pungkur (di depan juga di belakang)
Sinangga ing kanan kering (tak lupa di kanan kiri)
Sang gethek lampahnya alon (sang rakit pun berjalan pelan)”
Sesekali, diludahkan sirih itu pada kaleng bekas biskuit, lalu ia masukkan kembali ampas sirih ke mulutnya, digosok-gosok pada giginya yang sudah memerah. Beberapa saat kemudian, pandangannya menerawang, sementara mulutnya kembali mendendangkan megatruh. Megat ruh. Mungkin sejenis gelagat, atau firasat.
***
Sudah tiga hari kedasih bertengger di ranting belakang rumah Puji. Ibunya, Mak Nem, sedang sakit. Kata dokter, Mak Nem sakit TBC. Pantas saja batuknya tak berhenti. Seluruh badannya ikut berguncang. Sedangkan, wajahnya kemerahan, namun kembali pucat saat batuknya sejenak berhenti.
Dengan tangkas, Puji menyenderkan tubuh emaknya, lalu meraih gelas di atas meja, bersebelahan dengan amben Mak Nem yang berkasur kapuk pemberian tetangga sebelah. Sebelumnya, kasur itu dipakai Puji. Melihat keadaan Mak Nem semakin buruk, Puji tak tega, lalu memaksa Mak Nem menggunakannya.
Apalagi, sering kali angin menyelinap melalui bolongan-bolongan gedhek yang mulai rapuh. Puji tak mau melihat ibunya yang sudah semakin renta itu kedinginan.
“Mak, minum dulu,” pinta Puji, menyodorkan gelas berisi air hangat ke mulut Mak Nem.
Napas Mak Nem terlihat berat. Ia harus membuka mulut agar napasnya lega. Tangannya yang gemetar menepuk kasur, isyarat agar anaknya itu duduk di sampingnya. Puji taat.
“Puji...” Mak Nem Terengah. Berat. “Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Sekarang, kau sudah dewasa, harus mulai memikirkan hidupmu sendiri. Rasa-rasanya, Emak sudah tidak tahan.”
Puji anak berbakti. Sebagian besar waktunya digunakan untuk merawat Mak Nem dan bekerja. Sudah dua bulan ini ia lebih banyak merawat Mak Nem daripada bekerja. Gadis dua puluh tahun itu sudah izin kepada Bu Narto untuk lebih sering di rumah. Beruntung, majikannya itu sungguh pengertian. Toserbanya dipercayakan kepada dua pegawainya yang lain. Bu Narto memang baik, selalu perhatian kepada semua karyawannya. Gaji tak seberapa tak membuat para karyawan hengkang dari bisnisnya. Itu karena Bu Narto tak pernah rewel dalam hal pekerjaan. Bahkan, sering kali ia berbagi rezeki pada pegawainya, baik makanan atau barang. Karena itu, acap kali Puji merasa terbantu.
“Jangan bilang begitu, Mak. Emak harus kuat. Pasti sembuh,” ujar Puji seraya membetulkan selimut Mak Nem.
“Emak tidak mau terlalu merepotkanmu, Puji. Emak sudah tidak bisa apa-apa, bahkan untuk buang air saja sudah susah. Kau anak Emak satu-satunya dan mandiri. Emak yakin kau bisa hidup sendiri bila Tuhan hendak—”
Kalimat Mak Nem tak rampung. Tak mampu mendengar hal yang diperkirakan akan diucapkan ibunya, lantas Puji memotong, “Andai bisa menawar, biar Puji saja yang menggantikan Emak!”
Batuk Mak Nem kembali menjadi. Nyeri. Dadanya ditekan-tekan dengan kedua tangan. Bahkan, untuk membantah perkataan Puji pun tak sanggup diutarakan. Direbahkan tubuh tuanya itu. Tentu dengan bantuan Puji pula. Ia telan kata yang ingin diucapkan dan lebih memilih mengatupkan mata. Walau begitu, batinnya tak henti merapal doa. Untuknya, pun Puji. Kadang, ia khayalkan suatu hal yang mustahil. Andai bapaknya Puji masih hidup.
Beberapa saat, batuk Mak Nem berhenti. Puji melirik jam dinding. Masih pukul empat lebih sepuluh. Setelah memastikan ibunya tidur, Puji beranjak lewat pintu belakang. Tak sampai lima menit, ia sampai di sebuah kolam ikan di antara persawahan luas yang berada di belakang rumah dan kebunnya. Ini belum setengah lima, pastilah orang yang ditunggu belum tiba.
Puji duduk di bawah pohon sirsak di pinggir kolam dengan kepala penuh dan mata berkabut. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Barulah ia sadar setelah tangan seseorang menepuk pundaknya.
“Ada apa, Puji?” Lelaki itu turut duduk di sebelah Puji.
“Mas, sudah dua bulan ini aku tidak haid.”
Tampak terkejut lelaki itu. Ia tahu benar maksud Puji.
Hening.
Beberapa detik berikutnya, lelaki itu berkata, “Aku belum siap. Bahkan, kuliahku belum lulus.” Dalam benak, terbayang wajah ibu dan bapaknya. Pastilah mereka malu dengan perbuatannya. Apa kata orang-orang nanti?! “Gugurkan saja.”
“Tidak!”
“Aku tidak bisa, Puji. Belum.”
Sudut mata Puji mulai menderas. Lelaki itu malah ngeloyor cepat. Tanpa pamit. Frustrasi.
Masih melekat di benak Puji bagaimana bujang itu meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja saat ia mulai menindih. Perlawanan Puji yang tak seberapa itu justru membuatnya semakin dirundung perasaan salah bila menolak. Wajah rupawan si lelaki semacam teluh yang langsung melumat sisi moral dan merubuhkan tiang-tiang logikanya. Pasrah.
Puji tergugu, hanya berdebat dengan pikirannya sendiri. Bukan hal ringan menghilangkan janin yang bahkan bergerak pun belum mampu. Ia akui, teramat sayang ia pada si jabang bayi. Takkan tega ia meluruhkan darah yang sudah mendaging dalam perutnya. Namun, ia tak bisa bayangkan beban malu yang mereka tanggung. Apalagi, sudah sedemikian lama ibunya menanggung sakit. Dua kemungkinan yang akan ia dapati ketika ibunya tau; bahagia cucunya akan dilahirkan atau sakitnya menjadi karena perbuatan yang sudah lewat batas itu.
Napas Puji mulai tersenggal. Kedua tanggannya mengamit dada, enggan dilepas. Ia tuntaskan sedunya yang semakin menderu. Tak ingin ia terlihat muram di depan emaknya atau siapa pun. Setelah jemu dengan ratap dukanya, ia bertindak seolah tak terjadi apa-apa. Kembali ke sisi Mak Nem yang merasa sekarat.
Malam tak bisa dicegah, larut tak bisa ditangkal.
“Titititititititri..., tri..., tri..., triiiwww....”
Kedasih masih berlagu. Memantra. Memberi tanda. Mungkin.
Pada saat itu, napas Mak Nem memberat, walau obat dari dokter telah Puji berikan beberapa saat lalu. Cucuran keringatnya tak lebih sedikit daripada kemarin. Terlebih, darah keluar dari mulut Mak Nem membuat Puji terbelalak. Tak ada dialog. Hanya mulut Puji tak henti mengucap doa, berusaha tenang, sembari mengelus dada emaknya.
Dini hari kembali senyap. Wajah Mak Nem yang menua memasrah bersama napasnya yang terseok. Batin Puji gaduh. Ia lantas ingat pada daun sirsak yang mampu mengobati penyakit ibunya.
“Mak, Puji pamit sebentar,” bisiknya di dekat telinga Mak Nem.
Pada waktu yang belum subuh benar itu, Puji kembali menyelinap, menyusup di antara dedaunan, lalu persawahan, menuju pohon sirsak di dekat kolam ikan.
***
Bendera putih dipasang. Berduyun, orang-orang menuju rumah paling ujung. Tak biasanya rumah itu ramai. Beberapa orang hilir mudik mengisi air dalam ember besar, sebagian lagi memasak, ada pula yang meronce kembang.
Beberapa di antaranya, saling membisik, “Kasihan Mak Nem. Tak menyangka jadi seperti ini.”
Di atas amben, tubuh itu memucat, tak lagi bergerak, kecuali napas yang tersenggal dan kucuran air dari pojok mata yang meniti kulit keriputnya. Dua orang tampak merawat Mak Nem dengan telaten. Ia adalah Mbah Yah, sesepuh padukuhan, dan seorang gadis yang sering membantu Mbah Yah.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya salah seorang pelayat di pojok sana.
“Pagi tadi, Puji ditemukan tergeletak di pinggir parit oleh Pakde Darmo ketika hendak ke sawah. Banyak darah menyusuri kakinya.”
“Hah? Kenapa? Dibunuh?”
“Bukan, sepertinya Puji terpeleset, lalu… keguguran. Ia mati lemas karena kehabisan darah. Daun-daun sirsak bertebaran di sekelilingnya. Sepertinya ia habis memetik dedaunan itu untuk Mak Nem.”
“Tentu saja, wong masih sepi, tidak ada orang,” seloroh tetangga yang lain.
Di samping jasad Puji, Bu Narto dan anaknya lelakinya, Bagus, tampak khusuk membaca doa. Tak ada yang tau bila hati laki-laki tampan itu bergemuruh melihat wanita di hadapannya tak bernyawa.
“Eh, ngomong-ngomong, siapa lelaki yang menghamili Puji?”
“Hus, tidak baik ngomongin orang yang sudah meninggal.”
“Eh, iya.”
Mungkin juga hanya Bagus yang tau siapa ayah bayi yang gugur dari rahim wanita yang sekarang tinggal jasad.
***
Mbah Yah mulai merebah setelah menyingkirkan kaleng tempat sisa sirihnya. Lalu, bibirnya mulai mendendang, lagi, megatruh. Peristiwa pagi ini tak cukup menjawab keresahannya tempo hari. Ada kekhawatiran yang menyusup pelan dalam lipatan batinnya.
Lalu, Mbah Yah bergumam pada dirinya sendiri, “Hidup bukan masalah umur, melainkan waktu.”
“Titititititititri..., tri..., tri..., triiiwww....”
Sayup, kedasih masih memantra. Mungkin menanda.
Pengok, 13 Juni 2013
Catatan:
1. Kisah asal-usul burung kedasih. Menurut mitos, burung itu jelmaan dari seorang ibu yang salah membunuh anaknya sendiri karena iri, ingin anak kandungnya mempunyai perhiasan yang sama dengan anak tirinya. Setelah tau jasad anak kandungnya yang ia buang ke sungai, ibu itu ke sana kemari memanggil-manggil anaknya yang bernama Kedasih. Akhirnya, burung jelmaan ibu itu disebut burung kedasih yang menjadi tanda akan ada orang meninggal.
2. Tembang megatruh diambil dari Babad Tanah Jawa karya Ki Yasadipura.
3. Megat ruh: ruh yang pisah dari jasad.
Ita Novita Widyastuti, cerpenis kelahiran Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta. Cerpen ini dimuat sebagai persembahan kepada mas Wahyu Gading.
Sumber Gambar: kidnesia.com |
Konon, ia adalah perempuan. Pada masanya, ia mampu sangat kejam. Terang saja, ibu tiri itu penuh dengki, berusaha melenyapkan nyawa saudari tiri anak kandungnya demi perhiasan. Saat salah mengeksekusi, penyesalan membuat deritanya dalam. Gadis kandungnya terlanjur hanyut ke sungai. Pencariannya pun tak berujung.
Sekarang, ia menjadi si penanda. Suaranya nenujumkan kemalangan bagi jiwa yang hendak tercabut.
“Titititititititri..., tri..., tri..., triiiwww....”
Sayup, suara kedasih terdengar jauh. Di atas dipan persegi panjang, perempuan tua itu asyik mengunyah sirih. Biasanya ia menikmati dengan menggumamkan tetembangan semacam asmarandana, pucung, atau dandanggula. Kali ini, tembangnya berkolaborasi dengan suara burung itu.
“Sigra milir sang gethek sinangga bajul (mengalirlah segera sang rakit dipikul buaya)
Kawan dasa kang njageni (empat puluh penjaganya)
Ing ngarso miwah ing pungkur (di depan juga di belakang)
Sinangga ing kanan kering (tak lupa di kanan kiri)
Sang gethek lampahnya alon (sang rakit pun berjalan pelan)”
Sesekali, diludahkan sirih itu pada kaleng bekas biskuit, lalu ia masukkan kembali ampas sirih ke mulutnya, digosok-gosok pada giginya yang sudah memerah. Beberapa saat kemudian, pandangannya menerawang, sementara mulutnya kembali mendendangkan megatruh. Megat ruh. Mungkin sejenis gelagat, atau firasat.
***
Sudah tiga hari kedasih bertengger di ranting belakang rumah Puji. Ibunya, Mak Nem, sedang sakit. Kata dokter, Mak Nem sakit TBC. Pantas saja batuknya tak berhenti. Seluruh badannya ikut berguncang. Sedangkan, wajahnya kemerahan, namun kembali pucat saat batuknya sejenak berhenti.
Dengan tangkas, Puji menyenderkan tubuh emaknya, lalu meraih gelas di atas meja, bersebelahan dengan amben Mak Nem yang berkasur kapuk pemberian tetangga sebelah. Sebelumnya, kasur itu dipakai Puji. Melihat keadaan Mak Nem semakin buruk, Puji tak tega, lalu memaksa Mak Nem menggunakannya.
Apalagi, sering kali angin menyelinap melalui bolongan-bolongan gedhek yang mulai rapuh. Puji tak mau melihat ibunya yang sudah semakin renta itu kedinginan.
“Mak, minum dulu,” pinta Puji, menyodorkan gelas berisi air hangat ke mulut Mak Nem.
Napas Mak Nem terlihat berat. Ia harus membuka mulut agar napasnya lega. Tangannya yang gemetar menepuk kasur, isyarat agar anaknya itu duduk di sampingnya. Puji taat.
“Puji...” Mak Nem Terengah. Berat. “Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Sekarang, kau sudah dewasa, harus mulai memikirkan hidupmu sendiri. Rasa-rasanya, Emak sudah tidak tahan.”
Sumber Gambar: dreamindonesia.wordpress.com |
Puji anak berbakti. Sebagian besar waktunya digunakan untuk merawat Mak Nem dan bekerja. Sudah dua bulan ini ia lebih banyak merawat Mak Nem daripada bekerja. Gadis dua puluh tahun itu sudah izin kepada Bu Narto untuk lebih sering di rumah. Beruntung, majikannya itu sungguh pengertian. Toserbanya dipercayakan kepada dua pegawainya yang lain. Bu Narto memang baik, selalu perhatian kepada semua karyawannya. Gaji tak seberapa tak membuat para karyawan hengkang dari bisnisnya. Itu karena Bu Narto tak pernah rewel dalam hal pekerjaan. Bahkan, sering kali ia berbagi rezeki pada pegawainya, baik makanan atau barang. Karena itu, acap kali Puji merasa terbantu.
“Jangan bilang begitu, Mak. Emak harus kuat. Pasti sembuh,” ujar Puji seraya membetulkan selimut Mak Nem.
“Emak tidak mau terlalu merepotkanmu, Puji. Emak sudah tidak bisa apa-apa, bahkan untuk buang air saja sudah susah. Kau anak Emak satu-satunya dan mandiri. Emak yakin kau bisa hidup sendiri bila Tuhan hendak—”
Kalimat Mak Nem tak rampung. Tak mampu mendengar hal yang diperkirakan akan diucapkan ibunya, lantas Puji memotong, “Andai bisa menawar, biar Puji saja yang menggantikan Emak!”
Batuk Mak Nem kembali menjadi. Nyeri. Dadanya ditekan-tekan dengan kedua tangan. Bahkan, untuk membantah perkataan Puji pun tak sanggup diutarakan. Direbahkan tubuh tuanya itu. Tentu dengan bantuan Puji pula. Ia telan kata yang ingin diucapkan dan lebih memilih mengatupkan mata. Walau begitu, batinnya tak henti merapal doa. Untuknya, pun Puji. Kadang, ia khayalkan suatu hal yang mustahil. Andai bapaknya Puji masih hidup.
Beberapa saat, batuk Mak Nem berhenti. Puji melirik jam dinding. Masih pukul empat lebih sepuluh. Setelah memastikan ibunya tidur, Puji beranjak lewat pintu belakang. Tak sampai lima menit, ia sampai di sebuah kolam ikan di antara persawahan luas yang berada di belakang rumah dan kebunnya. Ini belum setengah lima, pastilah orang yang ditunggu belum tiba.
Puji duduk di bawah pohon sirsak di pinggir kolam dengan kepala penuh dan mata berkabut. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Barulah ia sadar setelah tangan seseorang menepuk pundaknya.
“Ada apa, Puji?” Lelaki itu turut duduk di sebelah Puji.
“Mas, sudah dua bulan ini aku tidak haid.”
Tampak terkejut lelaki itu. Ia tahu benar maksud Puji.
Hening.
Beberapa detik berikutnya, lelaki itu berkata, “Aku belum siap. Bahkan, kuliahku belum lulus.” Dalam benak, terbayang wajah ibu dan bapaknya. Pastilah mereka malu dengan perbuatannya. Apa kata orang-orang nanti?! “Gugurkan saja.”
“Tidak!”
“Aku tidak bisa, Puji. Belum.”
Sudut mata Puji mulai menderas. Lelaki itu malah ngeloyor cepat. Tanpa pamit. Frustrasi.
Masih melekat di benak Puji bagaimana bujang itu meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja saat ia mulai menindih. Perlawanan Puji yang tak seberapa itu justru membuatnya semakin dirundung perasaan salah bila menolak. Wajah rupawan si lelaki semacam teluh yang langsung melumat sisi moral dan merubuhkan tiang-tiang logikanya. Pasrah.
Puji tergugu, hanya berdebat dengan pikirannya sendiri. Bukan hal ringan menghilangkan janin yang bahkan bergerak pun belum mampu. Ia akui, teramat sayang ia pada si jabang bayi. Takkan tega ia meluruhkan darah yang sudah mendaging dalam perutnya. Namun, ia tak bisa bayangkan beban malu yang mereka tanggung. Apalagi, sudah sedemikian lama ibunya menanggung sakit. Dua kemungkinan yang akan ia dapati ketika ibunya tau; bahagia cucunya akan dilahirkan atau sakitnya menjadi karena perbuatan yang sudah lewat batas itu.
Sumber Gambar: pixabay.com |
Napas Puji mulai tersenggal. Kedua tanggannya mengamit dada, enggan dilepas. Ia tuntaskan sedunya yang semakin menderu. Tak ingin ia terlihat muram di depan emaknya atau siapa pun. Setelah jemu dengan ratap dukanya, ia bertindak seolah tak terjadi apa-apa. Kembali ke sisi Mak Nem yang merasa sekarat.
Malam tak bisa dicegah, larut tak bisa ditangkal.
“Titititititititri..., tri..., tri..., triiiwww....”
Kedasih masih berlagu. Memantra. Memberi tanda. Mungkin.
Pada saat itu, napas Mak Nem memberat, walau obat dari dokter telah Puji berikan beberapa saat lalu. Cucuran keringatnya tak lebih sedikit daripada kemarin. Terlebih, darah keluar dari mulut Mak Nem membuat Puji terbelalak. Tak ada dialog. Hanya mulut Puji tak henti mengucap doa, berusaha tenang, sembari mengelus dada emaknya.
Dini hari kembali senyap. Wajah Mak Nem yang menua memasrah bersama napasnya yang terseok. Batin Puji gaduh. Ia lantas ingat pada daun sirsak yang mampu mengobati penyakit ibunya.
“Mak, Puji pamit sebentar,” bisiknya di dekat telinga Mak Nem.
Pada waktu yang belum subuh benar itu, Puji kembali menyelinap, menyusup di antara dedaunan, lalu persawahan, menuju pohon sirsak di dekat kolam ikan.
***
Bendera putih dipasang. Berduyun, orang-orang menuju rumah paling ujung. Tak biasanya rumah itu ramai. Beberapa orang hilir mudik mengisi air dalam ember besar, sebagian lagi memasak, ada pula yang meronce kembang.
Beberapa di antaranya, saling membisik, “Kasihan Mak Nem. Tak menyangka jadi seperti ini.”
Di atas amben, tubuh itu memucat, tak lagi bergerak, kecuali napas yang tersenggal dan kucuran air dari pojok mata yang meniti kulit keriputnya. Dua orang tampak merawat Mak Nem dengan telaten. Ia adalah Mbah Yah, sesepuh padukuhan, dan seorang gadis yang sering membantu Mbah Yah.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya salah seorang pelayat di pojok sana.
“Pagi tadi, Puji ditemukan tergeletak di pinggir parit oleh Pakde Darmo ketika hendak ke sawah. Banyak darah menyusuri kakinya.”
“Hah? Kenapa? Dibunuh?”
“Bukan, sepertinya Puji terpeleset, lalu… keguguran. Ia mati lemas karena kehabisan darah. Daun-daun sirsak bertebaran di sekelilingnya. Sepertinya ia habis memetik dedaunan itu untuk Mak Nem.”
“Tentu saja, wong masih sepi, tidak ada orang,” seloroh tetangga yang lain.
Di samping jasad Puji, Bu Narto dan anaknya lelakinya, Bagus, tampak khusuk membaca doa. Tak ada yang tau bila hati laki-laki tampan itu bergemuruh melihat wanita di hadapannya tak bernyawa.
“Eh, ngomong-ngomong, siapa lelaki yang menghamili Puji?”
“Hus, tidak baik ngomongin orang yang sudah meninggal.”
“Eh, iya.”
Mungkin juga hanya Bagus yang tau siapa ayah bayi yang gugur dari rahim wanita yang sekarang tinggal jasad.
***
Mbah Yah mulai merebah setelah menyingkirkan kaleng tempat sisa sirihnya. Lalu, bibirnya mulai mendendang, lagi, megatruh. Peristiwa pagi ini tak cukup menjawab keresahannya tempo hari. Ada kekhawatiran yang menyusup pelan dalam lipatan batinnya.
Lalu, Mbah Yah bergumam pada dirinya sendiri, “Hidup bukan masalah umur, melainkan waktu.”
“Titititititititri..., tri..., tri..., triiiwww....”
Sayup, kedasih masih memantra. Mungkin menanda.
Pengok, 13 Juni 2013
Catatan:
1. Kisah asal-usul burung kedasih. Menurut mitos, burung itu jelmaan dari seorang ibu yang salah membunuh anaknya sendiri karena iri, ingin anak kandungnya mempunyai perhiasan yang sama dengan anak tirinya. Setelah tau jasad anak kandungnya yang ia buang ke sungai, ibu itu ke sana kemari memanggil-manggil anaknya yang bernama Kedasih. Akhirnya, burung jelmaan ibu itu disebut burung kedasih yang menjadi tanda akan ada orang meninggal.
2. Tembang megatruh diambil dari Babad Tanah Jawa karya Ki Yasadipura.
3. Megat ruh: ruh yang pisah dari jasad.
Ita Novita Widyastuti, cerpenis kelahiran Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta. Cerpen ini dimuat sebagai persembahan kepada mas Wahyu Gading.
0 comments :
Post a Comment