Home » » Ayo Mudik yang Islami

Ayo Mudik yang Islami

Diposkan oleh damar pada Saturday, June 27, 2015 | 3:29 AM

Oleh : Fathor Rahman MD

Untuk beberapa hari kedepan, suasana arus mudik akan semakin terasa. Tradisi yang nyaris menjadi kewajiban bagi masyarakat urban. Sebagai tradisi, mudik tidak luput dari kajian-kajian kritis bernuasa reflektif. Melalui sudut pandang kajian sosiologi kritis, mudik selalu memiliki dimensi keterjebakan sebagai ajang pamer kesuksesan. Kampung halaman sebagai panggung pamer. Ini bukan subjektif, tapi indikasi fakta yang ada di sekitar perputaran uang dan pasar.
mudik 2015
Sumber Gambar: antaranews.com

Mejelang mudik, orang-orang sibuk mendatangi pegadaian dan “bank-bank swata”. Berbekal surat-surat penting mereka mengantri untuk mendapat pinjaman. Dilain tempat, bisnis rental mobil kebanjiran kosumen. Mudik mahal bukan semata-mata karena ongkos transportasi yang naik. Tapi karena adanya keterjebakan kesadaran pamer. Beburu citra sukses pemudik nekad melakukan apa saja.

Mudik Spiritual

Melihat suasana tradisi mudik yang selalu demikian, perlu kiranya pemaknaan ulang atas mudik. Mudik perlu dipandang sebagai perjalanan spritual. Sesuatu yang bersifat spiritual erat kaitannya dengan dimensi jiwa. Menurut Mulla Sadra dan Ibn Arabi (Transcendent Philosophy; The Degrees of the Soul According to Ibn ‘Arabî and Mullâ Sadrâ: 2000), jiwa adalah agensi spriritual, jiwa adalah wujud halus eksistensi manusia yang berada diantara raga dan roh.

Pemudik adalah masyarakat urban. Mereka orang-orang yang secara fisik mengalami perpindahan ruang hidup. Dari desa ke kota. Dari lingkungan daerah (desa) yang barang tentu memiliki kondisi berbeda dengan daerah perantauannya (kota). Tentang kota, Jokie M.S. Siahaan (2009) melihat, tuntutan mobilitas kerja keseharian begitu tinggi. Pikiran-pikiran praktis dan pragmatis cukup mendominasi. Kesempatan untuk melakukan upaya reflektif tidak cukup lebar. Kondisi sosial dan pengalaman tersebut tidak mustahil mengeser eksistensi jiwa para perantau.

Menurut Sayyid Husain Waizi (2008), perbuatan ragawi pada kenyataannya perbuatan jiwa; seperti melihat dengan mata, mendengar melalui telinga, dan sejenisnya. Sekalipun faktanya itu muncul melalui persepsi indra, agensi sebenarnya dari perbuatan tersebut adalah jiwa. Hakikat jiwa manusia pada dasarnya adalah suci. Tapi kemudian pengalaman hidupnya mempengaruhi kondisi jiwanya. Artinya, tempat, kondisi sosial turut membentuk kejiwaan manusia.

Untuk itulah, melalui mudik kita berkesempatan rehat sejenak, menengok ke dalam diri. Kepulangan ke kampung halaman tidak sekedar terpahami memulangkan raga kita. Tapi harus dijadikan perjalanan spiritual. Momen menengok dan menata jiwa. Jika mudik terhenti sekedar memulangkan fisik. Maka akan gampang terjebak pada mudik sebagai pamer kesuksesan. Ajang membanggakan kesuksesan diri dalam makna materi di kampung halaman. Peristiwa mudik yang mahal dan boros, tapi subtansinya sangat murahan.

Membenahi niat

Bagamaina menjadikan mudik sebagai perjalanan spritual itu terwujud? Setiap prilaku dan perubahan akan dimulai dari niat. Kenyataan adalah hasil dari apa yang kita konstruk dari niat, lalu menjadi tindakan. Kalau masih tersimpan niat yang murahan itu, embel-embel pamer kesuksesan materi. Upaya mewujudkan mudik sebagai perjalanan spritual menjadi mustahil. Sebelum kita beranjak dari pintu rumah, koreksi niat mudik, bersihkan dari hal-hal yang sekedar pamer.
mudik 2015
Sumber Gambar: indosat.com

Rasulullah pernah menegaskan, “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang mendapatkan apa yang ia niatkan, maka barang siapa yang berhijrah dengan niat karena Allah dan Rasul-Nya, maka dalam hijrahnya itu ia akan mendapatkan pahala karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang berhijrah dengan niat mendapatkan barang duniawi, atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka ia (dalam hijrahnya) hanya akanmendapatkan hal itu”.

Dalam hadits tersebut tercemin dengan jelas betapa urgennya niat. Agar kita tidak terjebak pada tradisi mudik yang minus nilai, hanya mahal diongkos, saatnya kita membenahi niat sebelum mudik. Mari kita awali mudik kita dengan niat sebagai perjalanan spritual. Sebagai upaya pencarian terhadap fitrahnya jiwa kita. Karena jiwa yang fitri akan berpengaruh terhadap prilaku sosial kita. Mudiklah untuk memudikkan jiwa kita pada asalnya. Semoga!

Fathor Rahman MD, pemikir dan pemerhati Arus Mudik Dedek-Dedek Gemesiah Indonesia, tinggal di Yogyakarta. 


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment