Home » » Sekolah Alam, Alternatif Sekolah Nayaman

Sekolah Alam, Alternatif Sekolah Nayaman

Diposkan oleh damar pada Monday, June 8, 2015 | 12:11 AM

Oleh: Nur Sholikhin
sekolah alam
Sumber Gambar: sekolahalambandung.sch.id

Sekolah, satu kata yang diyakini dapat mengubah hidup manusia, bahkan dunia. Tempat untuk bersosial, berkomunikasi, belajar, menghilangkan kebodohan agar mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Dari kegiatan yang dinamakan sekolah itu pula, seseorang bernamakan siswa diberi bekal pengetahuan, keterampilan serta kemampuan yang dibutuhkan agar menjadi modal di masa depan kelak.

Selain sebagai tempat belajar, sekolah juga sebagai sarana bermain anak dengan temannya. Berkreativitas, berinovasi demi mencetak prestasi bagi dirinya, keluarga bahkan negara. Sekolah seharusnya menjadi lembaga yang menyenangkan bagi siswa. Saat berada di sekolah, siswa seharusnya senang untuk belajar, tidak ada ketakutan, kebencian dan pemaksaan. (Baca juga: Pendidikan Sebagai Aset Strategis Bangsa; Nalar Nasionalisasi Pendidikan)

Berbeda dengan idealnya, sekolah saat ini bak penjara bagi siswa. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar dan mengembangkan potensi anak, saat ini dikenal sebagai tempat yang seram. Penuh dengan tuntutan, paksaan, hukuman dan aturan. Memang, sekolah harus adanya aturan, namun banyaknya tuntutan dan paksaan akan membuat siswa tidak leluasa untuk mengembangkan potensinya.

Sekolah seharusnya dapat menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa untuk belajar. Bahkan menyenangkan untuk bermain, siswa merasakan rindu terhadap suasana sekolah. Untuk itu, para guru harus mampu menciptakan atmosfer yang menggairahkan agar para siswa bisa membangun inisiatif guna memperluas wawasan dan kompetensi mereka sendiri.

Saat ini banyak lembaga pendidikan formal yang mengabaikan pembangunan budaya asyik belajar. Sekolah terkesan tempat yang menyeramkan bagi siswa. Penuh dengan hukuman oleh guru. Tuntutan untuk menghafal dan mendengarkan. Kebenaran layaknya milik seorang guru. Jawaban siswa harus sesuai dengan jawaban guru.

Pernah juga kita mendapatkan fenomena yang menarik tentang tugas matematika seorang siswa Sekolah Dasar (SD). Habibi namanya, ia mendapat ponten merah dari gurunya. Persoalannya sederhana, Habibi menuliskan bahwa 4+4+4+4+4+4 = 4x6, kemudian jawaban tersebut disalahkan sang guru karena jawaban yang benar adalah 6x4.

Kreativitas layaknya terbungkam oleh otoritas guru. Kemerdekaan siswa dalam berpikir terbatasi oleh keangkuhan terhadap kebenaran pribadi. Kapan siswa akan berpikir maju? Kapan Indonesia akan maju, mempunyai intelektual-intelektual hebat? Jika kreativitas dalam berpikir dibatasi oleh buku dan guru.

Siswa tidak diberikan keleluasaan berkreativitas dan mengembangkan potensinya masing-masing. Mereka dituntut untuk mengembangkan potensi yang sama. Sama agar bisa Matematika, IPA, Bahasa Inggris, Bahasa Indoensia, dan lain sebagainya. Penyeragaman inilah yang membuat sekolah bak penjara. Budaya sekolah saat ini menjadi budaya pembunuhan kreativitas dan pengekangan dalam berpikir.

Bukan hanya itu, pengajaran yang ada di sekolah kental dengan hafalan, penugasan kemudian ulangan. Kegiatan semacam itu dilakukan agar siswa bisa lulus 100% agar mengangkat nama baik sekolah. Sehingga yang dominan dalam pembelajaran di sekolah adalah penanaman aspek kognitif. Pembelajaran lebih banyak membicarakan teori dari pada belajar kepada alam.

Model pengajaran yang dominan bercerita menyebabkan pelajar akan jauh dari realitas sosial. Seperti halnya diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara, jika model pengajaran lebih dominan penanaman aspek kognitif, maka pelajar akan jauh dari realitas sosial. Realitas hanya diceritakan melalui lisan ke lisan. Menggambarkan suatu kejadian melalui lisan. Dan memberikan contoh kepada pelajar juga melalui lisan.

Menurut Paulo Freire, isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Sungguh, apa yang ada dalam teori tidaklah selamanya sejalan dengan apa yang terjadi di realitas sosial. Tidak heran jika kita menemui sarjana-sarjana yang pandai dan cerdas, namun tidak bisa berkontribusi di masyarakatnya.
sekolah alam
Sumber Gambar: kampung-media.com

Pendidikan model seperti itu, di mana pengajaran yang menitikberatkan bercerita dalam menyampaikan pelajaran, tak ubahnya seperti petugas Pom Bensin mengisi motor yang sedang kehabisan bensinnya. Guru bertugas untuk “mengisi” para murid dengan segala bahan yang dituturkan, bahan-bahan yang lepas dari realitas, terpisah dari totalitas yang melahirkan dan dapat memberinya arti.

Model pembelajaran seperti itu tidak terasa tidak nyaman bagi siswa. Siswa akan mengenal sekolah sebagai penjara-yang isinya adalah materi, tugas, hafalan, kemudian hukuman. Sekolah menjadi tempat yang menjenuhkan. Nyaman dalam bagi siswa, sekolah tidak harus dengan taman yang indah dan besar, melainkan juga nyaman untuk pembelajaran siswa.

Sekolah “Asyik”

Sekolah tanpa seragam, meja dan kursi. Terlihat aneh ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di SALAM (Sanggar Anak Alam) dua tahun silam, tepatnya pada tahun 2012. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, SALAM yang berlokasi di tengah perkampungan Nitiprayan, pedukuhan Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan Bantul tampil dengan begitu mengasyikkan. Tanpa sekat tembok dan papan tulis. Siswanya bebas tertawa lebar, berkreativitas memecahkan masalah.

Sekolah alam, barangkali itu yang sering diketahui oleh masyarakat umum. Sekolah yang menghadirkan berbagai keasyikan, tidak ada hukuman, pemaksaan apalagi ejekan. Sekolah tersebut menerapkan pembelajaran berbasis pada pengalaman. Dengan keyakinan bahwa anak akan menemukan dan mengalami sendiri, ia akan lebih paham apa yang sedang ia pelajari.

Pembelajaran yang dilakukan tidak terfokus pada kemampuan kognitif, melainkan psikomotorik dan pengalaman. Berbagai hal yang melatarbelakangi sekolah alam ini ada. Sri Wahyuningsih yang akrab dipanggil Wahya, pendiri SALAM mengungkapkan bahwasanya anak adalah individu yang ada di masyarakat yang semestinya selalu berhubungan dengan masyarakat. Sedangkan yang terjadi saat ini, sekolah seakan-akan menjauhkan anak dari masyarakat.

Dengan upaya melaksanakan kegiatan pembelajaran di sekolah yang cenderung tak mau mengenal lingkungan sekitar. Sehingga bisa dikata, peserta didik sebagai insan yang bebas menentukan pilihan. Sekolah saat ini layaknya penjara bagi siswa, yang mencoba memisahkan anak dari masyarakat. Dari sini, Wahya berkeinginan untuk menciptakan sebuah komunitas belajar yang manusiawi. Belajar menurutnya adalah bingkai untuk memperoleh pengetahuan. Jadi, guru hanya menjadi fasilitator bahkan menjadi teman bagi siswa.

Sanggar alam atau sekolah alam hadir untuk membuka ruang belajar untuk masyarakat luas. Meliputi semua kalangan dan rentang usia. Dengan proses yang terbuka, menyenangkan, penuh kesederhanaan dengan alam dan lingkungan sekitar. Di sekolah ini ada beberapa pilar pokok yang ditanamkan pada anak, yaitu pangan, kesehatan dan lingkungan.

Sanggar Alam yang didirikan oleh Wahya tersebut merupakan salah satu solusi terhadap permasalahan pendidikan saat ini. Ia menghadirkan sekolah yang tidak melulu tersekat oleh tembok, tidak ada seragam dan sepatu. Menciptakan suasana yang asyik, menarik dan menyenangkan. Sekolah ini merupakan hasil dari kegelisahan terhadap sistem pendidikan nasional yang ada. Sudah selayaknya jika pemerintah kembali mengkaji sistem pendidikan nasional. Sekolah formal seharusnya hadir dengan desain pembelajaran yang menyenangkan dan memberikan suasana yang nyaman kepada siswa.




Nur Sholikhin, aktivis di Garawiksa Institute Yogyakarta.


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment