Oleh : Edi AH Iyubenu
Dengan matamu aku memandang
Dengan telingamu aku mendengar
Dengan lidahmu aku bicara
Dengan hatimu aku merasa
Tak ada yang lain selain dirimu
Yang selalu kupuja
Kusebut namamu
Di setiap hembusan napasku
Kusebut namamu
Kusebut namamu
Tempo hari, saya pernah menuliskan bahwa sosok Nietzsche, filsuf yang dikenal luas dengan slogan “Tuhan telah mati”, sehingga secara gegabah selalu dinobatkan sebagai ikon ateisme modern, bahkan oleh kita yang awam Nihilisme-nya, di karya-karya akhirnya, sebutlah Sabda Zarathustra, memperlihatkan welstanchaung yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Welstanchaung adalah pandangan tentang dunia (di dalamnya terlibat hidup dan tujuannya, tentu saja). Nietzsche di masa mencetuskan nihilisme (di dalamnya slogan Tuhan telah Mati) sangatlah berbeda dengan Nietzsche di masa Sabda Zarathustra. Jika dianggap tepat, Nieztsche I adalah masa ia berkutat dengan nihilisme dan Nietzsche II adalah masa ia bersimpuh di hadapan Jagat Besar. (Baca juga: Sebuah "Rapor" Untuk Felix Siauw)
Kini, saya ingin menambahkan catatan pada beberapa filsuf lainnya. Ludwig Wittgenstein, filsuf bahasa. Di masa awal berfilsafat, dikenal dengan Wittgenstein I, ia menguarkan slogan “bahasa logika”. Bukan “logika bahasa”. Segera akan saya jabarkan perbedaan dua istilah ini.
Melalui bahasa logika, Wittgenstein bersikukuh bahwa sebuah bahasa (kata dan kalimat) hanya sahih diterima bila sesuai “logika”. Yang tidak sesuai logika, otomatis gagal menjadi bahasa, karenanya ditolak. Misal, “Ada katak di atas meja.” Kata “katak” dalam kalimat itu, menurut Wittgenstein I, sulit diterima, sebab tidak menunjukkan suatu mekanisme yang logis. Bagaimana bisa ada katak di atas meja, padahal katak habitatnya di sawah. (Baca juga: Dedek Gemes Umrah Adalah Pilihan Terbaik Untuk Disandingkan Ke pelaminan)
Tetapi Wittgenstein kemudian gagal paham ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa sebuah kata boleh jadi memiliki dua atau tiga atau lebih makna sekaligus, bergantung pada konteksnya. Inilah yang membuatnya mengubah welstanchaung-nya, yang lalu disebut Wittgenstein II, melalui slogan baru: language game. Inilah yang dimaksud “logika bahasa”; setiap bahasa memiliki logikanya masing-masing. Konteks masing-masing.
Misal, “Kamu cantik.” Makna kalimat ini bisa berupa: “Seorang dedek gemes ginuk semlohai”, kayak Ve (*iklan), tetapi sekaligus bisa berarti: “Hinaan pada seseorang dengan logika makna terbalik.” Muara maknanya sangat bergantung pada konteks bagaimana kalimat itu diucapkan. (Baca juga: Dedek-Dedek Gemes Turki)
Saya tak bermaksud membuat Anda mengerutkan kening, sebab ini lagi bulan Ramadhan. Saya percaya sekali bahwa puasa Ramadhan seyogyanya menjadi kita selo, tidak spanengan, dan kalem. Maka mengerutkan kening tidaklah baik di tengah spirit Ramadhan begini.
Wittgenstein II bahkan kemudian mengilustrasikan situasi ini sebagai “lalat dalam toples kaca”: posisi kita yang alpa pada konteks; posisi kita yang terlampau menyembah logika yang sejatinya terbatas; bahwa ada jubelan kemungkinan kebenaran makna dalam satu hal. Begitu pesan moral welstanchaung-nya.
Saya percaya Anda sangat kenal Sigmund Freud. Bapak psikoanalisis ini dikenal luas dengan “Oedipus Complex”-nya. Dengan meminjam mitologi Yunani kuno, ia mencetuskan teori id, ego, superego itu.
Mimpi, misalnya, dijenterahkan sebagai “simptom-simptom” masa kecil yang tertanam di alam bahwa sadar kemudian membuhul begitu saja ke alam sadar. Jika Anda memiliki masa kecil suram, boleh jadi suatu kelak Anda akan sering bermimpi seputar simptom traumatik itu, dan bahkan menyeruak ke alam nyata. (Baca juga: Analisis Ilmiah Perasaan Wanita)
Namun, belakangan saya tahu dari Peter Beilharzs (ah, betapa telatnya saya), bahwa Freud juga menyimpan welstanchaung tentang “destruksi” dan “kreasi” atas kehidupan ini. Gampangnya, semua kita selalu menginginkan “kreasi” (baca: kebaikan, kedamaian) dan menolak destruksi (baca: kerusakan, kekacauan). Itulah sebabnya Freud pun melahirkan psikologi “keinginan” dan “kenyataan”.
Saya terhenyak, kenapa ya Freud begitu peduli pada dimetri nilai hidup baik dan buruk ini?
Bukankah ini welstanchaung yang menyempal di antara penyebutannya sebagai salah satu ateis modern melalui slogannya bahwa agama adalah neurosis universal?
Anda niscaya pula kenal sosok Karl Marx. Ya, filsuf yang diafilisiasikan dengan Sosialisme dan Komunisme itu, yang popular dengan slogannya: Agama itu candu.
Dari buku Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, saya membayangkan bahwa Marx ini adalah ateis tulen. Ia tega menjadikan agama sebagai senjata untuk melawan kaum borjuis. Bahwa kaum kaya itu telah menjadikan agama sebagai alat iming-iming adanya kehidupan indah setelah kematian (dari sinilah diksi candu tercetus) untuk membuat kaum proletar tunduk-patuh pada kehendak kaum kapitalis. Marx pun memberontakinya dengan mengatakan bahwa penggunaan agama hanya untuk mencandukan kaum sudra, politisasi agama, demi tujuan material. Materialisme-Dialektika, begitulah sebagian kita mengenalnya kini. (Baca juga: Puasa Itu Selo)
Tetapi, saya sungguh haru kala menemukan Marx juga mencetuskan bahwa pengetahuan apa pun, filsafat apa pun, bila tidak memberikan kontribusi nyata kepada kehidupan yang lebih baik, maka ia hanyalah kesia-siaan. Kabura maqtan, begitu kira-kira padanannya; spirit mengisi diri agar berdaya pada orang lain. Lebih hunjam lagi kala saya pun menemukan welstanchaung demikian pada sosok Abraham Maslow. Juga Hegel di masa jauh sebelumnya melalui filsafat Dialektika-nya.
Bagaimana dengan Levinas hingga Foucault dan Derrida? Ah, sudahlah, tulisan ini akan menjadi sangat melelahkanmu jika diularkan ke deretan nama-nama lainnya, sebab inilah masa di mana dedek-dedek gemes dijadikan junjungan.
Di tahun 2000, dunia digebuk oleh New Age yang juga dikenal sebagai Megatrend 2000. Tersebutlah sosok suami-istri, John Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang mencetuskan slogan ngeri-ngeri sedap: spirituality yes, organized religion no.
Apa ya maunya mereka ini?
Sederhana: mereka mewakili kegamangan global atas fungsi agama bagi kehidupan kita di era global ini. Mengapa agama yang berspirit kebaikan dan kemanusiaan nyatanya teramat sering bertampang sebaliknya, memicu pertikaian dan pertumpahan darah? Mengapa agama berlaku bagai pisau bermata dua?
Mereka lalu memilah agama dalam jagat: jagat spiritualitas yang sakral dan jagat organized religion yang profan, di antaranya akibat hegemoni politik dan ekonomi. Yang mana yang dominan, itulah yang menang. Jika agama dibawa ke ranah politik, tampangnya setara dengan Machiavelli. Jika dibawa ke rumah spiritualnya, ia seteduh Nabi. (Baca juga: Langgam Unta Versus Perkutut)
Lalu di sini, mungkin kebanyakan Anda sontak teringat sosok John Hick. Pengusung paham beragama yang netral, yang oleh sebagian kubu disebut sebagai tidak jelas. Outsider dan Insider, sejatinya itulah spirit John Hick saya kira. Saya sungguh curiga, jangan-jangan tesis John Hick merupakan welstanchaung atas dilemanya wajah agama itu, ya?
Anda pun pasti kenal Emile Durkheim. Lewat bukunya The Elementary Forms of the Religious Life, sosiolog besar yang disebut-sebut telah meneliti kehidupan suku Aborigin ini telah memberikan uraian mengesankan tentang peta “sakral” dan “profan” dalam kehidupan suku primitif itu; sistem kehidupan yang menandai adanya kerinduan pada Jagat Besar. Mircea Eliade juga banyak bicara tentang relasi sakral-profan ini.
Lalu kini, mari ingat-ingat, sudah berapa lama kita berpuasa Ramadhan ya? Sudah berapa tahunkah? Dan peta macam apakah yang telah berhasil kita sematkan di kedalaman batin kita tentang sakralitas Ramadhan dan profanitas non-Ramadhan? Bagaimana kita mengisi Ramadhan yang sakral dengan non-Ramadhan yang profan?
Pernahkah Anda menjumpai Lailatul Qadar? Bagaimana perasaan Anda? Yakinkah Anda bahwa malam itu adalah Lailatul Qadar? Lalu bagaimana buahnya di kedalaman batin Anda?
Saya terasa agak mengigau mempertanyakan hal-hal demikian. Mungkin efek Paracetamol 600 mg yang barusan saya asup demi mengusir flu yang menyergap begitu saja sejak habis Maghrib tadi. Flu yang tiba-tiba menunjam tanpa indikasi-indikasi apa pun, pertanda logika saya teramat sumir untuk sekadar memahaminya. (Baca juga: Gagasan Tentang Komisi Dedek-Dedek Gemes)
Ya, sekali lagi, benarkah kita benar-benar merindukan Tuhan di hari-hari Ramadhan ini? Jika Ia adalah spiritualitas yang suci, Yang Rahman dan Rahim, jika Ramadhan adalah bulan terkudus, jika Lailatul Qadar adalah gerbang ampunannya, bagaimana semua itu bekerja mengejawantah ke dalam jiwa yang melandasi perilaku organized religion Islam kita?
Diam-diam saya amat sangat waswas. Jangan-jangan saya yang muslim keturunan ini sejatinya kalah telak dibanding welstanchaung Nietzsche, Freud, hingga Marx yang sudah jelas-jelas memberikan kontribusi kepada peradaban dunia ini. Saya, gerangan apakah yang telah saya sumbangkan kepada dunia ini; bahkan sekadar kepadamu?
Hati saya menjadi biru memar bila teringat dawuh-dawuh langit ini: khairukun anfa’ukum linnas; innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq; ya ayyuhal ladzina amanu hal adullukum ‘ala tijaratin tunjikum min ‘adabun alim, tu’minuna billahi wa rasulihi wa tujahiduna fi sabilillahi bi amwalikum wa anfusikum….
Ah, saya tak kuat lagi! (Baca juga: Raudhah dan Egoisme Pahala)
Astaghfirullahal ‘adhim. Astaghfirullahal ‘adhim. Astaghfirullahal ‘adhim. Allahu akbar!
Jogja, 25 Juni 2015
Edi AH Iyubenu, CEO Divapress dan Rektor #KampusFiksi Yogyakarta. Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dengan matamu aku memandang
Dengan telingamu aku mendengar
Dengan lidahmu aku bicara
Dengan hatimu aku merasa
Tak ada yang lain selain dirimu
Yang selalu kupuja
Kusebut namamu
Di setiap hembusan napasku
Kusebut namamu
Kusebut namamu
Tempo hari, saya pernah menuliskan bahwa sosok Nietzsche, filsuf yang dikenal luas dengan slogan “Tuhan telah mati”, sehingga secara gegabah selalu dinobatkan sebagai ikon ateisme modern, bahkan oleh kita yang awam Nihilisme-nya, di karya-karya akhirnya, sebutlah Sabda Zarathustra, memperlihatkan welstanchaung yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Welstanchaung adalah pandangan tentang dunia (di dalamnya terlibat hidup dan tujuannya, tentu saja). Nietzsche di masa mencetuskan nihilisme (di dalamnya slogan Tuhan telah Mati) sangatlah berbeda dengan Nietzsche di masa Sabda Zarathustra. Jika dianggap tepat, Nieztsche I adalah masa ia berkutat dengan nihilisme dan Nietzsche II adalah masa ia bersimpuh di hadapan Jagat Besar. (Baca juga: Sebuah "Rapor" Untuk Felix Siauw)
Sumber Gambar: meditasisamudra.blogspot.com |
Kini, saya ingin menambahkan catatan pada beberapa filsuf lainnya. Ludwig Wittgenstein, filsuf bahasa. Di masa awal berfilsafat, dikenal dengan Wittgenstein I, ia menguarkan slogan “bahasa logika”. Bukan “logika bahasa”. Segera akan saya jabarkan perbedaan dua istilah ini.
Melalui bahasa logika, Wittgenstein bersikukuh bahwa sebuah bahasa (kata dan kalimat) hanya sahih diterima bila sesuai “logika”. Yang tidak sesuai logika, otomatis gagal menjadi bahasa, karenanya ditolak. Misal, “Ada katak di atas meja.” Kata “katak” dalam kalimat itu, menurut Wittgenstein I, sulit diterima, sebab tidak menunjukkan suatu mekanisme yang logis. Bagaimana bisa ada katak di atas meja, padahal katak habitatnya di sawah. (Baca juga: Dedek Gemes Umrah Adalah Pilihan Terbaik Untuk Disandingkan Ke pelaminan)
Tetapi Wittgenstein kemudian gagal paham ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa sebuah kata boleh jadi memiliki dua atau tiga atau lebih makna sekaligus, bergantung pada konteksnya. Inilah yang membuatnya mengubah welstanchaung-nya, yang lalu disebut Wittgenstein II, melalui slogan baru: language game. Inilah yang dimaksud “logika bahasa”; setiap bahasa memiliki logikanya masing-masing. Konteks masing-masing.
Misal, “Kamu cantik.” Makna kalimat ini bisa berupa: “Seorang dedek gemes ginuk semlohai”, kayak Ve (*iklan), tetapi sekaligus bisa berarti: “Hinaan pada seseorang dengan logika makna terbalik.” Muara maknanya sangat bergantung pada konteks bagaimana kalimat itu diucapkan. (Baca juga: Dedek-Dedek Gemes Turki)
Saya tak bermaksud membuat Anda mengerutkan kening, sebab ini lagi bulan Ramadhan. Saya percaya sekali bahwa puasa Ramadhan seyogyanya menjadi kita selo, tidak spanengan, dan kalem. Maka mengerutkan kening tidaklah baik di tengah spirit Ramadhan begini.
Wittgenstein II bahkan kemudian mengilustrasikan situasi ini sebagai “lalat dalam toples kaca”: posisi kita yang alpa pada konteks; posisi kita yang terlampau menyembah logika yang sejatinya terbatas; bahwa ada jubelan kemungkinan kebenaran makna dalam satu hal. Begitu pesan moral welstanchaung-nya.
Saya percaya Anda sangat kenal Sigmund Freud. Bapak psikoanalisis ini dikenal luas dengan “Oedipus Complex”-nya. Dengan meminjam mitologi Yunani kuno, ia mencetuskan teori id, ego, superego itu.
Mimpi, misalnya, dijenterahkan sebagai “simptom-simptom” masa kecil yang tertanam di alam bahwa sadar kemudian membuhul begitu saja ke alam sadar. Jika Anda memiliki masa kecil suram, boleh jadi suatu kelak Anda akan sering bermimpi seputar simptom traumatik itu, dan bahkan menyeruak ke alam nyata. (Baca juga: Analisis Ilmiah Perasaan Wanita)
Namun, belakangan saya tahu dari Peter Beilharzs (ah, betapa telatnya saya), bahwa Freud juga menyimpan welstanchaung tentang “destruksi” dan “kreasi” atas kehidupan ini. Gampangnya, semua kita selalu menginginkan “kreasi” (baca: kebaikan, kedamaian) dan menolak destruksi (baca: kerusakan, kekacauan). Itulah sebabnya Freud pun melahirkan psikologi “keinginan” dan “kenyataan”.
Saya terhenyak, kenapa ya Freud begitu peduli pada dimetri nilai hidup baik dan buruk ini?
Bukankah ini welstanchaung yang menyempal di antara penyebutannya sebagai salah satu ateis modern melalui slogannya bahwa agama adalah neurosis universal?
Anda niscaya pula kenal sosok Karl Marx. Ya, filsuf yang diafilisiasikan dengan Sosialisme dan Komunisme itu, yang popular dengan slogannya: Agama itu candu.
Dari buku Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, saya membayangkan bahwa Marx ini adalah ateis tulen. Ia tega menjadikan agama sebagai senjata untuk melawan kaum borjuis. Bahwa kaum kaya itu telah menjadikan agama sebagai alat iming-iming adanya kehidupan indah setelah kematian (dari sinilah diksi candu tercetus) untuk membuat kaum proletar tunduk-patuh pada kehendak kaum kapitalis. Marx pun memberontakinya dengan mengatakan bahwa penggunaan agama hanya untuk mencandukan kaum sudra, politisasi agama, demi tujuan material. Materialisme-Dialektika, begitulah sebagian kita mengenalnya kini. (Baca juga: Puasa Itu Selo)
Tetapi, saya sungguh haru kala menemukan Marx juga mencetuskan bahwa pengetahuan apa pun, filsafat apa pun, bila tidak memberikan kontribusi nyata kepada kehidupan yang lebih baik, maka ia hanyalah kesia-siaan. Kabura maqtan, begitu kira-kira padanannya; spirit mengisi diri agar berdaya pada orang lain. Lebih hunjam lagi kala saya pun menemukan welstanchaung demikian pada sosok Abraham Maslow. Juga Hegel di masa jauh sebelumnya melalui filsafat Dialektika-nya.
Bagaimana dengan Levinas hingga Foucault dan Derrida? Ah, sudahlah, tulisan ini akan menjadi sangat melelahkanmu jika diularkan ke deretan nama-nama lainnya, sebab inilah masa di mana dedek-dedek gemes dijadikan junjungan.
Di tahun 2000, dunia digebuk oleh New Age yang juga dikenal sebagai Megatrend 2000. Tersebutlah sosok suami-istri, John Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang mencetuskan slogan ngeri-ngeri sedap: spirituality yes, organized religion no.
Apa ya maunya mereka ini?
Sumber Gambar: militanindonesia.com |
Sederhana: mereka mewakili kegamangan global atas fungsi agama bagi kehidupan kita di era global ini. Mengapa agama yang berspirit kebaikan dan kemanusiaan nyatanya teramat sering bertampang sebaliknya, memicu pertikaian dan pertumpahan darah? Mengapa agama berlaku bagai pisau bermata dua?
Mereka lalu memilah agama dalam jagat: jagat spiritualitas yang sakral dan jagat organized religion yang profan, di antaranya akibat hegemoni politik dan ekonomi. Yang mana yang dominan, itulah yang menang. Jika agama dibawa ke ranah politik, tampangnya setara dengan Machiavelli. Jika dibawa ke rumah spiritualnya, ia seteduh Nabi. (Baca juga: Langgam Unta Versus Perkutut)
Lalu di sini, mungkin kebanyakan Anda sontak teringat sosok John Hick. Pengusung paham beragama yang netral, yang oleh sebagian kubu disebut sebagai tidak jelas. Outsider dan Insider, sejatinya itulah spirit John Hick saya kira. Saya sungguh curiga, jangan-jangan tesis John Hick merupakan welstanchaung atas dilemanya wajah agama itu, ya?
Anda pun pasti kenal Emile Durkheim. Lewat bukunya The Elementary Forms of the Religious Life, sosiolog besar yang disebut-sebut telah meneliti kehidupan suku Aborigin ini telah memberikan uraian mengesankan tentang peta “sakral” dan “profan” dalam kehidupan suku primitif itu; sistem kehidupan yang menandai adanya kerinduan pada Jagat Besar. Mircea Eliade juga banyak bicara tentang relasi sakral-profan ini.
Lalu kini, mari ingat-ingat, sudah berapa lama kita berpuasa Ramadhan ya? Sudah berapa tahunkah? Dan peta macam apakah yang telah berhasil kita sematkan di kedalaman batin kita tentang sakralitas Ramadhan dan profanitas non-Ramadhan? Bagaimana kita mengisi Ramadhan yang sakral dengan non-Ramadhan yang profan?
Pernahkah Anda menjumpai Lailatul Qadar? Bagaimana perasaan Anda? Yakinkah Anda bahwa malam itu adalah Lailatul Qadar? Lalu bagaimana buahnya di kedalaman batin Anda?
Saya terasa agak mengigau mempertanyakan hal-hal demikian. Mungkin efek Paracetamol 600 mg yang barusan saya asup demi mengusir flu yang menyergap begitu saja sejak habis Maghrib tadi. Flu yang tiba-tiba menunjam tanpa indikasi-indikasi apa pun, pertanda logika saya teramat sumir untuk sekadar memahaminya. (Baca juga: Gagasan Tentang Komisi Dedek-Dedek Gemes)
Ya, sekali lagi, benarkah kita benar-benar merindukan Tuhan di hari-hari Ramadhan ini? Jika Ia adalah spiritualitas yang suci, Yang Rahman dan Rahim, jika Ramadhan adalah bulan terkudus, jika Lailatul Qadar adalah gerbang ampunannya, bagaimana semua itu bekerja mengejawantah ke dalam jiwa yang melandasi perilaku organized religion Islam kita?
Diam-diam saya amat sangat waswas. Jangan-jangan saya yang muslim keturunan ini sejatinya kalah telak dibanding welstanchaung Nietzsche, Freud, hingga Marx yang sudah jelas-jelas memberikan kontribusi kepada peradaban dunia ini. Saya, gerangan apakah yang telah saya sumbangkan kepada dunia ini; bahkan sekadar kepadamu?
Hati saya menjadi biru memar bila teringat dawuh-dawuh langit ini: khairukun anfa’ukum linnas; innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq; ya ayyuhal ladzina amanu hal adullukum ‘ala tijaratin tunjikum min ‘adabun alim, tu’minuna billahi wa rasulihi wa tujahiduna fi sabilillahi bi amwalikum wa anfusikum….
Ah, saya tak kuat lagi! (Baca juga: Raudhah dan Egoisme Pahala)
Astaghfirullahal ‘adhim. Astaghfirullahal ‘adhim. Astaghfirullahal ‘adhim. Allahu akbar!
Jogja, 25 Juni 2015
Edi AH Iyubenu, CEO Divapress dan Rektor #KampusFiksi Yogyakarta. Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 comments :
Post a Comment