Oleh : Sofyan RH. Zaid
“Manusia tidak memiliki kodrat, tetapi sejarah.”
Ortega Y Gasset
Jika suatu saat orang yang kau hormati, kau puji, kau anggap manusia setengah dewa, ternyata seorang penjahat, jangan sedih, itu biasa saja.
Kebudayaan lebih dinamis dibanding peradaban, tutur Heidegger, dan manusia “nol yang me-nol-kan” -kata Sartre- sebagai pelakunya adalah subjek –bukan objek- yang memiliki eksistensi lebih dinamis lagi. Walau banyak orang menolak hati sebagai bagian dari eksistensi, Muhammad benar ketika menyebut hati semisal daun yang mudah berbolak-balik sebab sentuhan angin. Descartes pun demikian, manusia punya dua unsur: tubuh dan jiwa (dualistik), jiwa lebih dinamis dari tubuh. Perubahan manusia dari jahat ke baik, atau sebaliknya, sangatlah cepat dan fluktuatif. Maka, wajar jika Hobbes menganggap manusia adalah serigala bagi sesamanya, kapan melolong, kapan memangsa.
Seperti Freud, Holbach juga punya padangan bahwa manusia mati tanpa kepentingan. Ada banyak alasan manusia untuk (bertahan) hidup, baik dalam perbuatan atau perkataan, dan alasan yang paling dominan adalah motivasi kepentingan. Bahkan bagi De La Mettrie, manusia semakin lama adalah mekanisme tak berjiwa, dan modernisme menggiringnya menjadi catatan-catatan kepentingan. Dan manusia yang menjalani hidupnya berdasarkan kepentingan semata, Nasr memastikan akan sengaja melupakan perbedaan baik dan buruk, hatinya pun padam.
Sampai di sini, apa yang pernah ditulis Nadjib menjadi terang, bahwa tidak ada pertalian positif antara ilmu pengetahuan dengan kepribadian manusia. Manusia yang memiliki ilmu tinggi -bahkan religius- tidak serta merta menjadi orang baik. Kesadaran semacam ini menjadi penting di tengah kehidupan yang semakin "musang berbulu domba". Paling tidak menjadi obat penawar ketika suatu waktu kau kecewa: Orang yang kau percayai, ternyata berkhianat; Pemimpin yang kau pilih, ternyata preman; Hakim yang kau harapkan, ternyata calo; Guru yang kau cium tangannya, ternyata pemerkosa; Mursyid yang kau yakini, ternyata pendosa, Tokoh yang kau andalkan, ternyata koruptor; Kawan yang kau lindungi, ternyata lawan; Kekasih yang kau cintai, ternyata selingkuh.
Bahkan Iqbal pernah berkata: percaya pada kekasihmu adalah kebodohan yang indah, seharusnya yang kau percayai adalah cinta pada dirinya, sebab cinta tidak pernah berubah, ia hanya berpindah-pindah. Lihatlah yang tidak tampak, lupakan yang tampak. Yang tidak tampak adalah abadi, yang tampak adalah fana. Hati yang berbolak-balik dan kepentingan yang mengusai, ada pada manusia. Keduanya bisa sangat kuat mempengaruhi eksistensi manusia yang pada mulanya baik menjadi jahat.
Sebagaimana kebudayaan dan peradaban, manusia akan terus berjalan dan berubah untuk menjadi sejarah. Dan Hsun Tsu bisa jadi benar: pada hakekatnya manusia itu jahat, dengan begitu memerlukan disiplin yang keras, untuk menjadi baik dan bijak.
Semoga Tuhan Menolongmu.
07 Juni 2015
“Manusia tidak memiliki kodrat, tetapi sejarah.”
Ortega Y Gasset
Sumber Gambar: nganapalu.com |
Jika suatu saat orang yang kau hormati, kau puji, kau anggap manusia setengah dewa, ternyata seorang penjahat, jangan sedih, itu biasa saja.
Kebudayaan lebih dinamis dibanding peradaban, tutur Heidegger, dan manusia “nol yang me-nol-kan” -kata Sartre- sebagai pelakunya adalah subjek –bukan objek- yang memiliki eksistensi lebih dinamis lagi. Walau banyak orang menolak hati sebagai bagian dari eksistensi, Muhammad benar ketika menyebut hati semisal daun yang mudah berbolak-balik sebab sentuhan angin. Descartes pun demikian, manusia punya dua unsur: tubuh dan jiwa (dualistik), jiwa lebih dinamis dari tubuh. Perubahan manusia dari jahat ke baik, atau sebaliknya, sangatlah cepat dan fluktuatif. Maka, wajar jika Hobbes menganggap manusia adalah serigala bagi sesamanya, kapan melolong, kapan memangsa.
Seperti Freud, Holbach juga punya padangan bahwa manusia mati tanpa kepentingan. Ada banyak alasan manusia untuk (bertahan) hidup, baik dalam perbuatan atau perkataan, dan alasan yang paling dominan adalah motivasi kepentingan. Bahkan bagi De La Mettrie, manusia semakin lama adalah mekanisme tak berjiwa, dan modernisme menggiringnya menjadi catatan-catatan kepentingan. Dan manusia yang menjalani hidupnya berdasarkan kepentingan semata, Nasr memastikan akan sengaja melupakan perbedaan baik dan buruk, hatinya pun padam.
Sampai di sini, apa yang pernah ditulis Nadjib menjadi terang, bahwa tidak ada pertalian positif antara ilmu pengetahuan dengan kepribadian manusia. Manusia yang memiliki ilmu tinggi -bahkan religius- tidak serta merta menjadi orang baik. Kesadaran semacam ini menjadi penting di tengah kehidupan yang semakin "musang berbulu domba". Paling tidak menjadi obat penawar ketika suatu waktu kau kecewa: Orang yang kau percayai, ternyata berkhianat; Pemimpin yang kau pilih, ternyata preman; Hakim yang kau harapkan, ternyata calo; Guru yang kau cium tangannya, ternyata pemerkosa; Mursyid yang kau yakini, ternyata pendosa, Tokoh yang kau andalkan, ternyata koruptor; Kawan yang kau lindungi, ternyata lawan; Kekasih yang kau cintai, ternyata selingkuh.
Sumber Gambar: langitilahi.com |
Bahkan Iqbal pernah berkata: percaya pada kekasihmu adalah kebodohan yang indah, seharusnya yang kau percayai adalah cinta pada dirinya, sebab cinta tidak pernah berubah, ia hanya berpindah-pindah. Lihatlah yang tidak tampak, lupakan yang tampak. Yang tidak tampak adalah abadi, yang tampak adalah fana. Hati yang berbolak-balik dan kepentingan yang mengusai, ada pada manusia. Keduanya bisa sangat kuat mempengaruhi eksistensi manusia yang pada mulanya baik menjadi jahat.
Sebagaimana kebudayaan dan peradaban, manusia akan terus berjalan dan berubah untuk menjadi sejarah. Dan Hsun Tsu bisa jadi benar: pada hakekatnya manusia itu jahat, dengan begitu memerlukan disiplin yang keras, untuk menjadi baik dan bijak.
Semoga Tuhan Menolongmu.
07 Juni 2015
0 comments :
Post a Comment