Home » » Martir

Martir

Diposkan oleh damar pada Wednesday, June 10, 2015 | 8:23 PM

Oleh: Muhammad Muhibbuddin*

Tulisan ringan ini sebenarnya terinspirasi dari tragedi peringatan May Day  pada 1 Mei kemarin. Seperti dilansir Kompas (3/5/2015), seorang aktivis buruh, Sebastian Manuputi telah melakukan aksi bakar diri dalam acara puncak May Day di GBK pada Jum’at lalu. Tenntu saja aku terkejut dengan kabar ini. Aku kira haul May Day 1 Mei kemarin aman-aman saja, tak ada korban, huru-hara, apalagi aksi bunuh diri. Ternyata perkiraaku meleset!.
buruh
Sumber Gambar: buruhmigran.or.id

Acara May Day di GBK sendiri, dilaporkan awalnya berjalan lancar. Ribuan buruh yang hadir di acara mimbar bebas para buruh itu, bahkan hendak dihibur oleh penyanyi Ahmad Dhani pada puncak acara itu. Namun ketika manta pentolan Dewa 19 itu mulai manggung, tepatnya pukul 16.47, tiba-tiba pemandangan dikejutkan oleh sosok yang dibungkus kobaran api, terjun bebas di atas tribune VVIP yang tingginya 40 meter. Banyak  yang mengira----kata ketua Bidang Organisasi DPP Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Obon Tabroni------- bahwa sosok yang jatuh dan diselimuti oleh kobaran api itu adalah boneka yang terbakar. Tapi ternyata manusia beneran yang sedang melakukan aksi bunuh diri.

Menjadi martir.! Itulah kata-kata yang kemudian disematkan pada Sebastian. Dalam bahasa agama, martir sering disinonimkan dengan syahid, sebuah kematian yang dipandang suci dan mulia, lebih mulia dari seisi dunia. Apa yang dilakukan Sebastian untuk menghabisi hidupnya melalui aksi bakar diri itu wujud solidaritas terhadap kawan-kawannya sesama buruh. Sebastian sendiri adalah seorang Sebastian merupakan buruh PT Alam Tirta Segar di Kawasan Industri MM 2100 Cibitung, Bekasi. Selama ini Sebastian juga dikenal sebagai aktivis yang  cukup getol menyuarakan hak-hak buruh. Diduga Sebastian bunuh diri karena frustrasi akibat tak adanya perubahan yang signifikan terhadap nasib buruh, termasuk di lingkungan kerjanya.

Tragedi martir sebagai wujud aksi protes itu, bukan hanya kali ini saja terjadi. Kita tentu masih ingat di tahun 2011, seorang mahasiswa UBK, Sondang Hutagalung juga tewas karena melakukan aksi bunuh diri di depan istana negara, tepatnya pada 7 Desember 2011. Bahkan di abad-abad yang silam, peristiwa martir ini juga sudah banyak terjadi.  Socrates, misalnya, yang mati dipaksa minum racun karena membela pemikiran filsafatnya yang dipandang sebagai bidah oleh penguasa saat itu. Kemudian di abad tengah, tepatnya di abad ke-12 seorang filosof Muslim, Suhrawardi konon juga mati digantung karena pemikirannya yang dianggap kontroversial. Karena nasib naasnya itulah Suhrawardi kemudian diberi gelar Al-Maqtul (yang terbunuh), sebagai martir.

Tentu  saja masih ada banyak sejumlah orang di dunia yang dirinya ditahbiskan sebagai martir, terkait dengan nilai yang mereka bela. Baik karena membela pemikiran (kebenaran) yang dipeluknya, maupun membela nasib orang-orang tertindas, membela agama, bangsa atau negara.  Tragedi Sebastian di GBK di atas kemudian  membuat semakin lebih panjang daftar para martir di dunia. Dan tidak menutup kemungkinan daftar ini akan semakin panjang lagi untuk masa-masa yang akan datang, entah di Indonesia atau di belahan bumi lainnya. Semoga saja bukan aku. Hahahahaha. Aku masih ingin hidup 1000 tahun lagi wakakaka. Ok, kita lanjutkan obrolan ini!.

Spirit menjadi martir, hingga kini tidak pernah padam dari kesadaran manusia. Secara etimologis, istilah martir sendiri, konon berasal dari bahasa Yunani, yang artinya “kesaksian” atau “orang yang menjadi kesaksian”. Kata ini umumnya diberikan kepada orang yang rela berkorban  sampai berani mati untuk nilai dan pekercayaannya. Kematiannya kemudian menjadi saksi bagi perjuangannya dalam panggung sejarah.
buruh
Sumber Gambar: vcn.bc.ca

Orang yang menjadi martir pada prinsipnya orang yang sudah total dalam membela nilai-nilai yang diyakininya. Totalitas pembelaan ini muncul karena nilai-nilai yang diyakini itu dipandang jauh lebih tinggi, lebih mulia dan lebih berharga, dari dunia seisinya, termasuk nyawa. Jangan pernah bisa menjadi martir, kalau jabatan, harta, karir bahkan nyawamu sendiri masih kau posisikan sebagai yang paling istimewa daari segala-galanya.

Orang boleh menganggap bahwa nyawa atau kehidupan merupakan sesuatu yang paling penting. Sebab, hingga saat ini tidak ada orang yang sanggup membikin nyawa. Juga tidak ada toko atau mall yang jualan nyawa. Sekali nyawa melayang, maka selamanya tidak akan pernah kembali. Karena itu betapa pentingnya nyawa.

Tapi dengan fenomena martir, nyawa kemudian tidak ada lagi artinya. Dalam logika martir ini kita seolah dikejutkan bahwa ternyata ada yang lebih tinggi, lebih penting dan lebih mulia dari nyawa. Nyawa atau kehidupan di dunia, kemudian bukan sesuatu yang mutlak menempati rangking tertinggi dari skala prioritas hidup manusia. Di atas nyawa, masih ada yang lebih penting: keyakinan, kebenaran atau apalah yang sepadannya.

Namun sayang, aksi para martir itu seringkali tetap tidak mampu mendobrak kebisuan sejarah. Orang-orang seperti Sebastian yang menjadikan dirinya sebagai martir itu sejatinya “frustasi” dengan kebisuan sosial yang membelenggu. Kebisuan itu seolah tak lagi bisa didobrak dan dipatahkan oleh apapun. Karenanya, nyawa pun dipertaruhkan untuk mendobrak kebisuan itu. Tapi toh ternyata, meski nyawa dikorbankan untuk menjadi palu godam pendobrak kebisuan sosial, ruang sosial kita pun tetap tak berubah, tetap berjalan seperti biasa: yang kuat tetap menindas yang lemah; yang kaya tetap menghisap yang miskin; yang berkuasa tetap kejam terhadap yang tak berdaya.

Karena itu pertanyaannya: kalau memang untuk mendobrak kebisuan sejarah itu dibutuhkan seorang martir, maka butuh berapa banyak martir  lagi kita, supaya kebisuan sejarah itu bisa terdobrak???? 


Muhammad Muhibbuddin, rakyat kecil yang tidak pernah surut bercita-cita menjadi orang kaya sedunia.


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment