Home » » Muda, Muslim, dan Mandiri (5)

Muda, Muslim, dan Mandiri (5)

Diposkan oleh damar pada Monday, June 1, 2015 | 10:26 PM


Sukses Menempuh Pendidikan
sukses
Sumber Gambar: dakwatuna


Oleh : Arya Damar Kembang

Tuntutlah ilmu meskipun ke negeri China---demikian sabda Rasulullah yang sering dijadikan sebagai rujukan para guru dalam memberi motivasi kepada murid-muridnya. Mengapa harus China? Sebagai seorang yang dibesarkan dari ruang lingkup niagawan, Rasulullah sangat paham bahwa orang-orang China memiliki kepandaian dalam berdagang, selain itu, China memiliki tradisi dan budaya yang kuat, peradaban China merupakan peradaban tua yang seusia dengan peradaban Yunani dan Persia kuno.

China kuno memiliki khazanah pengetahuan yang luar biasa, sehingga peradaban yang dibangun mereka mampu menembus seluruh dunia, salah satu buktinya adalah masuknya masyarakat China ke seluruh perdagangan di dunia. Nah, jika hadits tersebut ditafsirkan secara sosiologis, seandainya Rasulullah hidup di zaman modern ini barangkali konteksnya bukan lagi China, tetapi bisa saja berubah ke Jepang atau Amerika, yang lumayan pesat dalam keilmuannya. (Baca juga: Muda, Muslim, dan Mandiri [1])

Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar para remaja kita sukses dalam pendidikan? Ada banyak pengalaman yang akan saya paparkan di sini, mulai dari pengalaman remaja yang berangkat dari keluarga miskin hingga remaja yang hidup dalam keluarga yang kaya raya. Kita akan menemukan bagaimana cara mereka menempuh ilmu pengetahuan hingga mencapai titik kesuksesan sebagaimana yang mereka cita-citakan.

Stephent, seorang mahasiswa Harvard University Amerika mencoba mengingat kembali cinta-cita yang pernah diinginkan sejak kecil. Dan setiap kesempatan, apabila Stephent memiliki keinginan-keinginan baru selalu dicatat di atas sobekan kertas kecil, kemudian kertas itu dimasukkannya dalam sebuah botol. Ia tak pernah mengingat-ingat lagi keinginan-keinginan itu. menjelang pertengahan usianya, Stephent membuka kembali botol yang berisi banyak cita-cita dan keinginan-keinginan yang pernah dialaminya. Ia membaca kembali catatan-catatan itu, ia tersenyum. Heran. Karena 85% cita-cita dan keinginan-keinginan yang pernah muncul dalam dirinya tercapai dengan baik.

Pengalaman itu dapat dijadikan motivasi agar kita terus menjadi generasi yang optimis pada cita-cita yang bergantung setinggi langit. Keinginan-keinginan yang terus mengebu-gebu dalam diri kita selalu memanggil untuk dicapai, sesuai tekad yang kita upayakan terus menerus, karena keinginan demi keinginan yang terpampang akan menjadi sia-sia, bila tidak dibarengi dengan upaya-upaya keras.  Niat dan tekad yang tinggi akan mempengaruhi kesuksesan seseorang dalam menempuh perjalanan dalam kehidupan ini.

Sejak berada di sekolah dasar, pertama-tama, guru kita akan bertanya tentang cita-cita. Ketika itu dengan sangat main-main kita menjawab seadanya. Padahal secara tidak sadar, kita sedang memberikan jawaban yang polos tentang apa yang ingin kita capai---seandainya kita tahu bahwa kata-kata adalah do’a, maka kita tidak (asal) berkata-kata---begitulah nasehat Ibnu Arabi. Namun ungkapan demi ungkapan waktu kecil berada di luar kesadaran rasional. Kata-kata seolah-olah muncul dengan sendirinya hanya karena didorong oleh faktor senang bersama teman-teman yang lain.

Banyak para pencari ilmu belakangan ini yang khawatir terhadap besarnya biaya pendidikan, mereka banyak yang khawatir terhadap kenyataan pendidikan di negeri ini. Jika kita semata-mata berkutat dalam logika rasional, maka semua persoalan pembiayaan akan terlihat sangat memberatkan, namun bila yang bergerak adalah logika spritual, maka semuanya akan baik-baik saja. Bagi para pencari ilmu, rezkinya akan dijamin oleh-Nya, bagaimanapun jalannya, mereka tetap akan difasilitasi. Kalau dilogikakan, bukankah Allah telah memerintahkan kita menjadi orang yang alim (pandai/mengerti), jadi sangat tidak mungkin Allah akan menutup jalan menuju alim itu.

Logika sederhana itu dapat kita jadikan sebagai motivasi dalam kegetiran menghadapi biaya pendidikan yang tinggi, asalkan berusaha semua manusia bisa menempuhnya dengan baik. Bagi remaja yang hidup di bawah bendera kemiskinan, jangan pernah khawatir, dalam persoalan ilmu pengetahuan, pendidikan, Allah tak memandang kaya dan miskin. Bagi-Nya, semuanya sama. Yang membedakan hanya kualitas keimanannya.

Dalam Islam, jalan menuju ilmu pengetahuan membutuhkan seorang guru, dalam tariqah disebut mursyid. Guru akan memberikan petunjuk kepada murid-muridnya berdasarkan pengalaman masa lalu atau pengetahuan dari buku-buku, kitab-kitab yang telah dibacanya. Bahkan Islam memberikan solusi, tanpa seorang guru, perjalanan seseorang tidak mencapai kesempurnaan. Rasulullah sendiri, dalam konteks tertentu berguru kepada malaikat Jibril yang telah diutus Allah kepadanya, misalnya kita dapat melihat dalam perjalanan Rasulullah dalam perjalanan Isra’ Mi’raj. Beliau banyak belajar kepada malaikat Jibril tentang berbagai peristiwa yang ditemui di perjalanan.
pendidikan
Sumber Gambar: gepak.or.id

Alkisah, di Jepang ada seorang Samurai yang suka bertarung. Samurai itu menantang seorang guru Zen  untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi pendeta itu menjawab dengan nada menghina, “Kau hanya orang bodoh, aku tak mau menyia-nyiakan waktu untuk orang macam kamu”. Merasa dirinya direndahkan, Samurai itu naik darah. Sambil menghunus pedang ia berteriak, mukanya merah gelap “Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu”.
 
“Nah” pendeta itu menjawab dengan tenang “Itulah neraka!”. Takjub melihat kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru akan amarah yang menguasai dirinya, Samurai ityu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, dan membungkuk sambil men gucapkan terima kasih kepada pendeta itu atas penjelasannya
“Dan…” Pendeta itu melanjutkan pembicaraannya “…itulah surga”.

Kesadaran mendadak si Samurai terhadap gejolak perasaannya merupakan inti kecerdasan emosional: kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Ia kemudian tahu bahwa kesadaran diri merupakan pandangan pribadi terhadap diri sendiri yang mencakup tiga aspek penting : pengetahuan, harapan dan penilaian.

Oleh karena itu, seseorang membutuhkan menejemen diri agar tidak dikendalikan oleh emosi, meskipun peristiwa demi peristiwa yang menerkam kita kadang amat menyakitkan, tapi di balik peristiwa itu terdapat pelajaran penting yang dapat diambil hikmahnya. Pelajaran yang kadang tanpa kita sadari sebagai sebagai sebuah pelajaran yang bermanfaat. Terdapat konsep diri positif dan konsep diri negatif yang dapat kita ketahui untuk memantau kondisi kedirian kita. (Baca juga: Muda, Muslim, dan Mandiri [2])

a.    Seseorang dapat dikatakan memiliki konsep diri positif apabila :

1.    Memiliki pengetahuan menyeluruh mengenai dirinya, baik mencakup kelemahan maupun kelebihannya.

2.    Bisa menerima dirinya apa adanya. Bila ia mempunyai kelebihan, ia tidak sombong dan jika ia memiliki kelemahan, ia tidak kecewa.

3.    Memiliki kesadaran yang besar untuk mengubah atau mengurangi aspek diri dari yang dianggap merugikan.

b.    Seseorang dapat dikatakan memiliki konsep diri negatif apabila :

1.    Tidak memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang dirinya. Ia kurang memahami siapa dirinya, apa kelebihannya dan kelemahan yang dimiliki.

2.    Memiliki pandangan tentang dirinya yang terlalu kaku (tidak dapat dirubah) atau terlalu tinggi/berlebihan. Menolak informasi yang baru (terutama yang negatif) tentang dirinya sehingga orang itu sulit mengubah konsep diri yang dianggap betul.

3.    Lebih  banyak melihat aspek-aspek kelemahan/kekurangan dalam dirinya daripada aspek kelebihan/kekuatan yang dimilikinya.

Dengan membaca beberapa varian di atas, kita dapat mengkategorikan diri kita, apakah berada dalam konsep diri yang positif dan negatif. Namun hanya diri kita yang berupaya untuk selalu mengubah dan memperbaiki setiap saat. Konsep-konsep hanya memberikan bimbingan untuk mengadakan perbaikan diri yang seimbang dengan tuntutan perasaan keumuman. Artinya bagaimana kita sebagai manusia selalu berevalusi pada ranah yang lebih baik, bermanfaat bagi diri sendiri, masayarakat dan bangsa.

Evaluasi yang kita lakukan secara intens untuk memperbaiki kelakuan merupakan salah satu prestasi yang tak semua orang memilikinya. Para remaja sebagai sosok yang masih muda dapat dengan cepat berupaya mengevaluasi diri setiap saat, agar waktu dan peluang yang terbentang di hadapannya tidak melesat secara sia-sia. Waktu yang kita jalani tak akan terulang lagi, memanfaatkan kesempatan untuk selalu hidup “positif” amatlah diperlukan oleh setiap insan.

Manusia dapat melakukan segalanya sampai takdir mengungkapkannya---ungkap Kapten Alqren dalam film The Last Samurai. Ungkapan itu dapat dijadikan sebagai landasan dalam melakukan pencarian diri hingga menemukan jalan hidup yang sudah dianggap final. Seorang yang sukses mencapai pendidikan tentunya selalu berupaya mengerjakan semuanya hingga kemudian mereka menemukan yang paling pas terhadap dirinya. Sebab zaman modern ini menuntut kita untuk selalu memiliki skill dalam kehidupan agar berguna bagi diri sendiri juga terhadap orang lain.

Yang lebih penting disadari bahwa kehidupan di dunia ini sangat memerlukan etos, baik etos kepedulian antar sesama, etos kerja hingga etos membenahi diri sendiri. Tidak ada kisah orang sukses di dunia ini yang tidak memiliki etos yang tinggi, rata-rata mereka memiliki totalitas yang luar biasa, bahkan kadang mereka rela untuk meninggalkan sekian pekerjaan-pekerjaan lain yang mereka lakoni sebelumnya, demi mengerjakan program yang mereka inginkan.
sukses
Sumber Gambar: pixabay.com

Untuk mencapai pendidikan yang sukses, remaja kita membutuhkan kreatifitas yang cukup, bagaimana mereka mampu berpikir kreatif, mencari hal baru yang sekiranya belum digarap oleh orang lain, sehingga dengan kreatifitas itu orang-orang menjadi kagum pada remaja kita. Munculnya banyak kerajian di Yogyakarta, berangkat dari kreatifitas yang dikembangkan oleh mereka sehingga orang-orang mengapresiasi kerajinan sebagai hasil dari kreatifitas itu.

Namun kreatifitas akan menjadi wagu dan tidak berkembang bila tidak dikerjakan secara intens. Oleh karena itu, intensitas dalam bekerja amatlah penting. Dalam konsep Islam, intensitas selalu diistilahkan dengan istiqamah yakni terus menerus hingga tercapai hasil yang jelas di depan mata. Jangan berhenti berkreatifitas hingga mendapatkan buah yang pasti, buah yang dapat kita petik dalam kehidupan. Dakang yang mengganggu keistiqamahan kita adalah sikap kebosanan karena terlalu lama tak kunjung menemukan hasil. Bila kita mundur dan menghentikannya, berarti kita harus memulai lagi dari awal. (Baca juga: Muda, Muslim, dan Mandiri [3])

Kreatifitas yang dikerjakan secara terus menerus tidak akan nampak hasil kualitasnya bila tidak didukung oleh komunitas. Komunitas adalah tempat berkumpul di mana orang-orang yang memiliki kreatifitas yang tinggi, berproses di dunia yang sama dan mampu memberikan kritik terhadap apa yang kita kerjakan. Misalnya seorang penyair pemula yang belajar menulis puisi, ia terus menerus membuat puisi, namun ruang komunitas akan semakin mempercepat proses penyair pemula itu dalam kreatifitasnya yakni mempercepat agar karya-karya yang dihasilkannya menjadi karya yang bagus. Teman-teman yang sama-sama berproses menjadi penyair akan memberikan penilaian dari segala sisi puisi-puisi yang dihasilkan itu. Mereka akan memberikan masukan-masukan berkenaan dengan kekurangan-kekurangan dalam puisi yang diciptanya.

Pada akhirnya, apabila tiga konsep di atas dijalankan dengan baik, kita akan menjadi kreator yang produktif dan berkualitas. Dari produktifitas kita, masyarakat akan melihat dengan sungguh-sungguh bahwa kita termasuk seorang kreator yang produktif dan mampu menyajikan hasil kreatifitas yang bagus kepada khalayak. Dari produktifitas itu pula kita akan memperlihatkan kesungguhan dalam mencapai apa yang kita inginkan.

Dari empat langkah kreatifitas, intensitas, komunitas dan produktifitas itu sesungguhnya sedang berupaya untuk menciptakan kreator yang profesional. Dalam kehidupan manusia, seseorang membutuhkan profesionalitas agar katya-karya yang kita ciptakan dapat memberikan daya, energi dan muatan-muatan kritis di dalamnya sehingga remaja kita sungguh-sungguh menjadi remaja yang handal dan profesional. Salah satu cita-cita pendidikan kita di Indonesia adalah berupaya mencetak kader profesional yang mampu menjawab seluruh tantangan zaman.

Komepetensi (lulusan) sekolah kita selalu dipertanyakan karena berkenaan dengan profesionalitas setelah keluar dari lembaga itu. Pengangguran-pengangguran yang bertebaran di seantera nusantara ini karena mereka mengabaikan konsep di atas. Sejak dini mereka tak mengasah kreatifitas yang profesional sehingga ketika keluar dari sekolah mereka kebingungan mencari pekerjaan ke sana kemari. Bagi remaja yang mempunyai kreatifitas, persoalan pekerjaan bukanlah hal yang membingungkan, apabila mereka belum mendapat pekerjaan, mereka bisa mengasah kreatifitasnya hingga mampu membuat lapangan pekerjaan yang merekrut masyarakat sekitarnya.

Oleh karena itu, kita penting mengetahui karakteristik kesadaran diri yang umumnya dimiliki orang terkemuka:

1.    Kesadaran emosi yaitu tahu tentang bagaimana pengaruh emosi terhadap kinerja diri dan kemampuan menggunakan nilai-nilai diri untuk memandu pembuatan keputusan. Orang dengan kecakapan ini:

•    Tahu emosi yang sedang ia rasakan dan mengapa

•    Menyadari keterkaitan antara perasaanya dengan apa yang mereka pikirkan, perbuat dan katakan.

•    Mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi kinerja.

•    Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

2.    Penilaian secara akurat yaitu perasaan yang tulus atas kekuatan-kekuatan dan batas-batas pribadi kita, visi yang jelas tentang mana yang harus diperbaiki dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Orang dengan kecakapan ini :

•    Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.

•    Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

•    Terbuka terhadap umpan bali yang tulus , bersedia menerima perspektif baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri.

•    Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.

3.    Percaya diri yaitu keberanian yang datang dari kepastian tentang kemampuan, nilai-nilai dan tujuan kita. Orang dengan kecakapan ini:

•    Berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan keberadaannya.

•    Berani menyatakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran.

•    Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan yang tidak pasti dan tertekan.

Proses kepribadian manusia mengalami perkembangan tahap demi tahap sesuai dengan perkembangan cara berpikirnya, selain itu ruang agama juga memberikan ruang bagi remaja untuk berekspresi secara Islami, yang kemudian membentuk realitas pribadi yang menarik. Percaya diri di hadapan orang lain menunjukkan sikap optimisme dalam melangkah ke depan, tak pernah takut pada kenyataan hidup, bagaimana pun tantangan yang dihadapi mereka.

Salah satu pertanda generasi yang kuat dan berkualitas adalah munculnya generasi yang sungguh-sungguh dan berpotensi serta mereka tak punya keraguan dalam melangkah, mengeekspresikan kemampuannya di hadapan publik. Mereka selalu berupaya tampil apa adanya sesuai tuntutan yang dibutuhkan oleh orang lain.
sukses pendidikan
Sumber Gambar: lakonhidup.wordpress.com

Dari itu kemudian, perkembangan kreatifitas dan pengetahuannya akan semakin pesat.
Banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi belakangan setelah menempuh pendidikan. Tapi, misalnya yang pada mulanya orang tua kita mampu membiayai kita dalam menempuh pendidikan, karena perusahaannya bangkrut, mereka kemudian tak dapat membiayai lagi. Apakah kita akan keluar dari sekolah? Jika kita termasuk remaja yang kuat, kita akan mencari jalan keluar, kita akan menghubungi banyak orang, diantaranya guru, teman atau famili. Mintalah nasehat yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini.

Apalagi kita mampu mengambil sikap dengan berjuang sendiri, mencari uang sendiri dengan bekerja atau memanfaatkan kreatifitas yang kita miliki. Kita lihat anak-anak kecil berusia 12 tahun yang terdampar di trotoar-trotoar atau di bis-bis kota, mereka berani mengamen untuk menempuh pendidikannya, diberi penyadaran oleh orang tua mereka bahwa keluarga mereka termasuk keluarga kere, jika mereka ingin melanjutkan pendidikan hendaknya berani mengambil sikap. Karena keinginannya sangat tinggi, mereka berani melakukan hal itu dengan tanpa malu pada teman-temannya.
 
Ada salah satu kisah kesaksian diceritakan oleh Azizah Hefni, cerpenis muda dari Malang. Kisah ini menceritakan tentang seorang pengamen kecil yang bernama Maini, perempuan yang punya keberanian melawan kegetiran kehidupan ini:
 
Aku melihatnya di perempatan itu. Yah, selalu di perempatan itu. Mukanya kotor, telapak kakinya hitam, pakaiannya lusuh, matanya cekung (Tapi masih kutemukan binar di sana), rambutnya kusam, tubuh yang kurus, dan...seuntai senyum pahit selalu ada di bibirnya yang mungil dan kering.

Dia kunjungi mobil-mobil yang berhenti di perempatan, kemudian mulutnya yang mungil melantunkan separuh tembang anak. Tak berirama, serak, fals. Setelah itu, ia buka topinya, ia sodorkan pada penumpang di mobil. Ada yang acuh, ada yang prihatin, ada yang biasa-biasa saja. Tapi, mata itu tak bias dibohongi. Ada seribu tanda tanya bergantungan di sana. Aku coba selami, dan sayup kudengar suara rintih lugu dari dalam sana...Apakah, aku tak pernah memiliki hak layak hidup?

Itu!

Dan aku perih...

Dia masih kecil, sekitar lima tahun. Aku sering sekali meluangkan waktuku untuk sekedar datang ke perempatan dan melihat bocah cilik itu mencari uang. Sambil terus berfikir,  apa yang bisa kulakukan untuknya. Entahlah, apakah karena aku perempuan atau terlalu perasa, hingga aku begitu peduli padanya. Di saat semua orang tak mau sibuk meladeni persoalan macam ini, justru aku amat terbebani...

Maka kupanggil anak itu. Dia heran melihatku. Pasrah ia hampiri aku. Langkahnya masih kuat dan lincah. Tepat di depanku, ia tersenyum tak mengerti.

“Siapa namamu?”

“Maini,”

“Kau kelas berapa?”

“Kelas satu...Eh, bukan! Sebenarnya aku kelas satu.”

“Kok sebenarnya? Berarti kamu nggak sekolah?”

Dia mengangguk.

Maka mengalirlah cerita-ceritanya. Maini bercerita, bahwa ia harus mencari uang di perempatan sampai pukul lima sore seorang diri. Ayahnya juga seorang pengamen, ibunya penjual makanan, kakaknya pengamen pula, dan satu kakaknya lagi meninggal karena sakit. Ia juga bercerita, bahwa tadi ada pengendara yang memberinya sebuah apel merah, dan ia senang sekali. Tadi juga ada polisi memarahinya, dan si Maini Cuma pura-pura mendengarkan atau mengerti, padahal.

“...padahal tetap saja. Aku ngamen di perempatan ini. Walaupun Pak polisi marah-marah dan bermuka jelek!”

Aku tersenyum melihat gaya bicaranya yang meluap-luap.

“Tapi dia tak pernah memukulmu kan?”

Dia menggeleng.

Kisah itu mencerminkan getirnya kehidupan yang membutuhkan ketangkasan dalam menghadapinya. Maini, seorang perempuan kecil yang hidup di pinggir jalan karena kondisi ekonomi keluarganya. Maini, adalah perempuan kecil yang berani mengambil sikap atas kondisi ekonominya. Seharusnya, ia bersekolah kelas satu, namun ia mengamen di pinggir jalan, menyanyi seadanya, sebisanya. Seandainya ia bisa berpikir, ia tentu tak ingin hidup dalam kondisi begitu, ia tak ingin anak-anaknya nanti hidup begitu. Namun apa daya, jika kesempatan dan kenyataan berkata demikian. (Muda, Muslim, dan Mandiri [4])

Apakah kita yang sedang berada di sekolah akan kalah dengan Maini yang sudah punya keberanian menanggung hidup? Tidak. Remaja kita pasti bisa mengatasi semua persoalan-persoalan yang dihadapi secara nyata. Kita pasti mampu menaklukkan semua kenyataan hidup dengan baik. Sebagai manusia yang beragama, tentunya ruang agama akan menjadei penuntun untuk menjalani kehidupan ini. Meskipun hidup itu getir, bila agama menuntunnya, tak ada jalan psimis di dalamnya, karena semua peristiwa yang terjadi di dunia ini berada dalam skenario Allah Swt.
pendidikan
Sumber Gambar: inilah.com

Ada benarnya yang diungkapkan oleh Clifford Geertz dalam bukunya Islam Observerd bahwa kehidupan keberagamaan ini sama dengan panggung teater, manusia sebagai aktor, kitab suci sebagai naskah dan Tuhan sebagai stradaranya. Setiap manusia dicasting oleh Allah untuk menjadi aktor-aktor yang pas dan tangguh sesuai perannya masing-masing. Bila kita mampu berperan sebagai aktor yang baik di hadapannya (dalam casting), sang sutradara akan menjadikan kita sebagai bintang  (tokoh utama) yang memiliki peran besar dalam kisah kehidupan ini.

Zaman modern ini manusia sudah dikenalikan oleh materialisme buta yang jarang memperhatikan orang seperti Maini. Seolah-olah yang memiliki hak hidup hanyalah orang yang memiliki kekayaan. bahkan pergeseran terjadi di seluruh lini kehidupan---kehendak tuan seolah-olah menjadi kehendak Tuhan---itulah ungkapan ironis yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer novel Anak Semua Bangsa. Hukum rimba telah berkuasa kembali, materi menjadi ukuran di tempurung kepala kita. Hukum negara sudah dipermainkan sedemikian rupa. Jika begitu kondisinya, kapan anak seperti Maini mendapatkan kesempatan yang sama?

Hanya orang-orang yang berjiwa besar yang mampu memperjuangkan nasib rakyat kecil. Hanya pemuda yang tergar dan berpendidikan yang mampu mengangkat mereka dari kubangan demi kubangan luka yang diakibatkan oleh kejamnya kenyataan hidup ini.  Mereka (rakyat kecil) memiliki perasaan yang sama, memiliki pikiran yang sama, mereka tentu ingin dirinya hidup tenang, tanpa ancaman-ancaman polisi sebagaimana yang dialami Maini.

Untuk itu, seorang remaja yang sukses juga ditentukan oleh sejauh mana memiliki kemampuan untuk mengentaskan orang-orang lemah pada posisinya yang setara dengan orang-orang kaya. Remaja  yang sukses adalah remaja yang bermanfaat bagi sesamanya. Ketika mereka menempuh sekolah dengan biaya mahal, mereka memanfaatkan hasil, pengetahuan yang diperolehnya di sekolah untuk masyarakat. Bukan kemudian bahu membahu dan seolah-olah tidak memiliki kepekaan terhadap kaum lemah.***



Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment