Cerpen : Khairul Umam
Massa berjubel. Sedang matahari semakin garang bersinar. Anehnya, mereka tidak surut, seperti tidak peduli pada panas yang menjerang. Membuat peluh-peluh mengucur deras. Mereka terus merangsek selangkah demi selangkah. Terus bertambah. Mungkin tidak cuma dari kota Rombeng, sepertinya gelombang massa itu datang dari berbagai penjuru mungkin dari kota Kolot, Tolol, Terbelakang dan kota-kota lainnya termasuk kota Jenius itu sendiri yang pada saat ini sedang menjadi sasaran amuknya.
Mayoritas yang datang adalah ibu-ibu. Mereka berpakaian biasa, berwajah biasa, berbahasa biasa dan menuntut kebiasaan yang sebentar lagi akan tercerabut karena ulah oknum yang luar biasa. Wajah-wajah mereka begitu polos tanpa lipstik yang mewarnai. Bahkan keringat yang mengucur jadi satu-satunya pelicin wajah dan tubuhnya tetap tampil segar. Diantara perempuan-perempuan itu ada beberapa lelaki yang ikut menggabungkan diri dengan berpakaian petani dan topi jerami. Mereka mengikuti ibu-ibu tersebut.
Ada yang berteriak-teriak di toa, ada yang hanya mengacung-ngacungkan tangan terkepal, ada yang membawa spanduk panjang, ada yang membawa alat-alat pertanian, ada yang mengecat topinya dengan tulisan-tulisan berwarna merah, ada yang hanya ikut-ikutan dan ada yang membawa kamera untuk menyoting atau memfoto dan kemudain di-upload di medsos.
“Hentikan pembajakan intlektual.”
“Turunkan oknum yang melacurkan kepercayaan kami.”
“Basmi koruptor.”
“Hentikan kekerasan intlektual yang katanya memihak pada rakyat, namun kenyataannya justru menjerumuskan rakyat dan membela kepentingan kapitalis.”
“Kami butuh ketegasan. Jika tidak kami sendiri yang akan bertindak.”
“Kami orang-orang bodoh, namun tidak bisa seenaknya kalian bodohi.”
“Hapus jargon Kampus Rakyat jika masih tidak mendengarkan aspirasi kami.”
Kota jenius pada hari ini bergelora. Tidak seperti biasanya. Dunia tertegun. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kota Jenius yang selalu didatangi orang-orang untuk mencari ilmu dan belajar segala macam yang dimilikinya kini seperti berubah seratus delapan puluh derajat. Ibu-ibu itu datang dari desa yang jauh, sangat jauh hingga untuk menempuh perjalanan dibutuhkan naik bus atau angkot selama dua atau tiga jam. Tujuannya hanya satu. Mendemo ke Universitas H.
Mereka terus merangsek dari fakultas kehutanan menuju rektorat. Sambil berjalan kembali meneriakkan tuntutan-tuntutan. Sedang di depan rektorat sudah berjajar polisi pengaman dengan segala perlengkapannya mulai dari perisai, pentungan, tembak gas air mata, helm pengaman kepala dan keperluan-keperluan selama demo itu berlangsung. Mereka begitu waspada seperti sedang mengintip dan mengawasi teroris yang akan menghancurkan negara. Tidak ada canda dan tawa diantara mereka. Semua serius fokus pada pergerakan massa yang kian beringas dan mendekat. Semua taktik dan langkah sudah direncakan untuk mematahkan serangan ibu-ibu jika terjadi yang tidak diinginkan.
Sedang pihak rektorat masih begitu rapat berada di dalam gedung yang menjulang dan kokoh itu. mereka seperti sedang menunggu. Mungkin menunggu aba-aba keluar atau bahkan lari pontang-panting menghindari amukan massa yang dianggapnya sebagai teman dan pada saat ini menjadi rival. Mungkin mereka juga sedang melakukan rapat untuk memecahkan persoalan yang sudah terlanjur ini. Namun, ibu-ibu dan bapak-bapak tidak mau tahu apa yang mereka lakukan. Bagi massa demo kampus yang mengaku berorientasi kerakyatan itu sudah gagal menjaga kepercayaan mereka dan hari ini kegagalan itu akan ditagih.
Sebenarnya, semuanya paham. Kesalahan itu bukan dilakukan kampus H itu sendiri, namun oleh salah satu pihak yang berada di dalamnya. Namun, bagi masyarakat tidak cukup jika hanya mendemo oknum tersebut. Oknum itu mewakili Unversitasnya dan Universitas harus bertanggung jawab. Tinggal memilih, mempertahanakan oknum tersebut dan kehilangan kepercayaan dari masyarakat atau membela masyarakat dan memecat oknum tersebut. Itu saja.
Masalah itu berawal dari perseteruan antara masyarakat desa Rombeng dengan PT Rakus Ceria yang menginginkan menambang semen di sana. Tepatnya di gunung gendeng. Bagi masyarakat penambangan akan sangat merugikan. Mereka hidup bergantung pada gunung itu baik dalam ketersediaan air bersih, kayu bakar, keseimbangan lingkungan dan berbagai tetek begnik lainnya. Namun, PT Rakus Ceria tetap bersikukuh untuk menambang dengan surat-surat yang ada dan berbagai alasan lainnya.
Perseteuan itu tidak kunjung selesai dan berlanjut pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Salah satu saksinya adalah dosen dari Unversitas H. Awalnya masyarakat bershyukur dan berharap dosen tersebut membawa nasib mereka lebih beruntung. Selain dia adalah dosen ahli di bidang tanah dia pun berasal dari kampus yang mengklaim dirinya kampus kerakyatan. Masyarakat mulai tenang. Makan dan minum pun mulai kembali pada ritmanya yang semula sempat kacau. Mereka kembali berbincang-bincang santai di warung dan sawah yang sedang mereka garap. Tawa canda kembali terdengar. Ibu-ibu tidak henti-hentinya bercerita ini itu dengan tetangga sebelah. Peternak kembali memelihara ternaknya dengan tenang.
Namun, semuanya terhenti ketika pada suatu hari saksi yang diharpakannya itu memberikan kesaksian yang jauh melenceng. Dia mengatakan bahwa penambangan itu tidak akan menjadi masalah karena daerah yang akan dijadikan titik tambang oleh PT Rakus Ceria adalah daerah yang tidak dilindungi dan juga tidak akan membahayakan pada masyarakat sekitar. Seketika masyarakat tercengang dan terhentak. Mereka tidak percaya kalimat itu bisa keluar dari seorang yang mungkin kepasitas keilmuannya telah jauh malampaui mereka.
“Lalu bagaimana dengan kita di sini?”
“Pernahkan dia turun ke sini hingga berani-beraninya dia berkata begitu?”
“Kalau memang tidak dilindungi kenapa dalam RTRW kabupaten dinyatakan sebagai daerah dilindungi? Apakah dia tidak pernah membacanya?”
“Yang jelas kita bergantung pada air yang disediakan oleh gunung itu, tidak mungkin ternak dan tani kita berlanjut jika tidak disuplai darinya.”
“Ah, dasar dosen bodoh bin bahlul.”
“Dosen yang hanya mementingkan proyek. Cukup dikasi uang sudah diam mulutnya yang bau itu.”
“Tanpa gunung itu kita akan sengsara.”
“Sudah demikian cukup gunung itu memberi pada kita. Sekarang saatnya kita yang harus membela kelangsungan dan kelestariannya.”
“Asu...”
Tak ada tanda-tanda pihak rektorat keluar. Gedung yang kokoh menjulang itu masih terdiam sepi. Hanya brikade yang semakin rapat menunggu kedatangan mereka. Massa berhenti melangkah ketika jarak itu sudah begitu dekat. Sekitar satu meteran. Mereka hanya berteriak-teriak sambil mengepal-ngepalkan tangan ke atas. Ada yang juga mengacung-acungkan cangkul, sabit, mata bajak, linggis dan apa saja yang terbawa.
Sedang wartawan sibuk meliput dan mewawancarai sebagian dari massa itu untuk dijadikan berita. Berita yang menarik dan hot. Begitulah batinnya. Mereka berlomba untuk menjadi yang tercepat menuliskan dan memeberitakannya. Wajah mereka berseri-seri. Tentu saja akan segera menadapat pujian dan bonos dari bosnya. Dari data yang diperoleh itu kemudian diolah lagi dengan bumbu-bumbu yang sedap hingga menjadi racikan yang menarik untuk dibaca. Lalu dirangkailah pertanyaan-pertanyaan yang pas, kalimat-kalimat yang menarik dan bumbu-bumbu yang sedap. Sedang di depan mereka peluh mengucur deras, emosi meluap-luap, tubuh lesuh berbau yang dipaksa tetap tegap tidak pernah terpikirkan. Yang terpenting berita yang heboh dan memikat. Itu saja.
***
Sudah satu jam menunggu. Tidak ada tanda-tanda pihak rektorat akan keluar. Massa sudah begitu banyak mengeluarkan tenanga berteriak dan mengacung-acungkan tangan. Kesabarannya pun mulai habis dan mereka mencoba menerobos. Namun, brikade yang dipersiapkan sudah membaca itu sebelumnya. Mereka merapatkan perisai yang didirikan di depan mereka. Menyatukan kekuatan. Terjadilah dorong mendorong.
“Biarkan kami masuk.”
“Kami bukan teroris. Kami hanya ingin keadilan dan ketegasan.”
“Ayo dorong terus. Kita paksa mereka untuk keluar dan memberikan jawaban.”
Dorong-mendorong kembali terjadi dan semakin dahsyat. Tidak ada yang hendak mengalah dan dikalahkan. Namun, tiba-tiba semuanya terdiam ketika terdengar tembakan peringatan beruntun ke udara. Massa mundur dan brikade pengaman mulai merapikan kembali barisannya yang mulai kocar-kacir. Seorang berseragam lengkap keluar dari barisan dengan tubuh tegap dan wajah datar. Dia melihat semua orang yang hadir dan sedang kalap itu.
“Cukup, tak usah kalian bertindak anarki lebih jauh lagi. Jika tetap memaksa kami tak akan segan-segan melumpuhkan kalian dengan cara apa pun.”
“Kami tidak ingin melakukan ini tuan. Kami hanya menuntut keadilan dan ketegasan pihak kampus karena salah satu oknumnya telah membuat kesalahan pada masa depan kami.”
“Tapi kalian telah mencoba membuat anarki di sini.”
“Apa, apakah tindakan kami itu terlalu merisaukan tuan? Lalu bagaiaman dengan tindakan oknum yang telah merusak hidup kami dan keturunan kami ke depan? Apakah itu bukan anarki? Kami hanya ingin semuanya diperbaiki tuan. Itu saja, tidak lebih.”
“Diam. Pokoknya jika kalian bertindak brutal lagi kami tak akan segan-segan memaksa kalian bubar dengan segala cara. Hingga yang terkasar sekali pun.”
Dia kembali masuk dalam barisan. Brikade dirapatkan. Massa kembali kalap. Ibu-ibu serentak melepaskan pakaian. Berdiri di barisan terdepan dan kembali menyerang. Dorong mendorong kembali terjadi. begitu lama dan melelahkan. Namun tidak ada tanda-tanda tembakan peringatan dan gas air mata dilepaskan.
Jogja, 22 Maret 2015
Khairul Umam, penyair, cerpenis, dan esais. Kini sedang menyelesaikan Program Pascasarjana di Jurusan Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Sumber Gambar: porosberita.com |
Massa berjubel. Sedang matahari semakin garang bersinar. Anehnya, mereka tidak surut, seperti tidak peduli pada panas yang menjerang. Membuat peluh-peluh mengucur deras. Mereka terus merangsek selangkah demi selangkah. Terus bertambah. Mungkin tidak cuma dari kota Rombeng, sepertinya gelombang massa itu datang dari berbagai penjuru mungkin dari kota Kolot, Tolol, Terbelakang dan kota-kota lainnya termasuk kota Jenius itu sendiri yang pada saat ini sedang menjadi sasaran amuknya.
Mayoritas yang datang adalah ibu-ibu. Mereka berpakaian biasa, berwajah biasa, berbahasa biasa dan menuntut kebiasaan yang sebentar lagi akan tercerabut karena ulah oknum yang luar biasa. Wajah-wajah mereka begitu polos tanpa lipstik yang mewarnai. Bahkan keringat yang mengucur jadi satu-satunya pelicin wajah dan tubuhnya tetap tampil segar. Diantara perempuan-perempuan itu ada beberapa lelaki yang ikut menggabungkan diri dengan berpakaian petani dan topi jerami. Mereka mengikuti ibu-ibu tersebut.
Ada yang berteriak-teriak di toa, ada yang hanya mengacung-ngacungkan tangan terkepal, ada yang membawa spanduk panjang, ada yang membawa alat-alat pertanian, ada yang mengecat topinya dengan tulisan-tulisan berwarna merah, ada yang hanya ikut-ikutan dan ada yang membawa kamera untuk menyoting atau memfoto dan kemudain di-upload di medsos.
“Hentikan pembajakan intlektual.”
“Turunkan oknum yang melacurkan kepercayaan kami.”
“Basmi koruptor.”
“Hentikan kekerasan intlektual yang katanya memihak pada rakyat, namun kenyataannya justru menjerumuskan rakyat dan membela kepentingan kapitalis.”
“Kami butuh ketegasan. Jika tidak kami sendiri yang akan bertindak.”
“Kami orang-orang bodoh, namun tidak bisa seenaknya kalian bodohi.”
“Hapus jargon Kampus Rakyat jika masih tidak mendengarkan aspirasi kami.”
Kota jenius pada hari ini bergelora. Tidak seperti biasanya. Dunia tertegun. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kota Jenius yang selalu didatangi orang-orang untuk mencari ilmu dan belajar segala macam yang dimilikinya kini seperti berubah seratus delapan puluh derajat. Ibu-ibu itu datang dari desa yang jauh, sangat jauh hingga untuk menempuh perjalanan dibutuhkan naik bus atau angkot selama dua atau tiga jam. Tujuannya hanya satu. Mendemo ke Universitas H.
Mereka terus merangsek dari fakultas kehutanan menuju rektorat. Sambil berjalan kembali meneriakkan tuntutan-tuntutan. Sedang di depan rektorat sudah berjajar polisi pengaman dengan segala perlengkapannya mulai dari perisai, pentungan, tembak gas air mata, helm pengaman kepala dan keperluan-keperluan selama demo itu berlangsung. Mereka begitu waspada seperti sedang mengintip dan mengawasi teroris yang akan menghancurkan negara. Tidak ada canda dan tawa diantara mereka. Semua serius fokus pada pergerakan massa yang kian beringas dan mendekat. Semua taktik dan langkah sudah direncakan untuk mematahkan serangan ibu-ibu jika terjadi yang tidak diinginkan.
Sumber Gambar: lensaindonesia.com |
Sedang pihak rektorat masih begitu rapat berada di dalam gedung yang menjulang dan kokoh itu. mereka seperti sedang menunggu. Mungkin menunggu aba-aba keluar atau bahkan lari pontang-panting menghindari amukan massa yang dianggapnya sebagai teman dan pada saat ini menjadi rival. Mungkin mereka juga sedang melakukan rapat untuk memecahkan persoalan yang sudah terlanjur ini. Namun, ibu-ibu dan bapak-bapak tidak mau tahu apa yang mereka lakukan. Bagi massa demo kampus yang mengaku berorientasi kerakyatan itu sudah gagal menjaga kepercayaan mereka dan hari ini kegagalan itu akan ditagih.
Sebenarnya, semuanya paham. Kesalahan itu bukan dilakukan kampus H itu sendiri, namun oleh salah satu pihak yang berada di dalamnya. Namun, bagi masyarakat tidak cukup jika hanya mendemo oknum tersebut. Oknum itu mewakili Unversitasnya dan Universitas harus bertanggung jawab. Tinggal memilih, mempertahanakan oknum tersebut dan kehilangan kepercayaan dari masyarakat atau membela masyarakat dan memecat oknum tersebut. Itu saja.
Masalah itu berawal dari perseteruan antara masyarakat desa Rombeng dengan PT Rakus Ceria yang menginginkan menambang semen di sana. Tepatnya di gunung gendeng. Bagi masyarakat penambangan akan sangat merugikan. Mereka hidup bergantung pada gunung itu baik dalam ketersediaan air bersih, kayu bakar, keseimbangan lingkungan dan berbagai tetek begnik lainnya. Namun, PT Rakus Ceria tetap bersikukuh untuk menambang dengan surat-surat yang ada dan berbagai alasan lainnya.
Perseteuan itu tidak kunjung selesai dan berlanjut pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Salah satu saksinya adalah dosen dari Unversitas H. Awalnya masyarakat bershyukur dan berharap dosen tersebut membawa nasib mereka lebih beruntung. Selain dia adalah dosen ahli di bidang tanah dia pun berasal dari kampus yang mengklaim dirinya kampus kerakyatan. Masyarakat mulai tenang. Makan dan minum pun mulai kembali pada ritmanya yang semula sempat kacau. Mereka kembali berbincang-bincang santai di warung dan sawah yang sedang mereka garap. Tawa canda kembali terdengar. Ibu-ibu tidak henti-hentinya bercerita ini itu dengan tetangga sebelah. Peternak kembali memelihara ternaknya dengan tenang.
Namun, semuanya terhenti ketika pada suatu hari saksi yang diharpakannya itu memberikan kesaksian yang jauh melenceng. Dia mengatakan bahwa penambangan itu tidak akan menjadi masalah karena daerah yang akan dijadikan titik tambang oleh PT Rakus Ceria adalah daerah yang tidak dilindungi dan juga tidak akan membahayakan pada masyarakat sekitar. Seketika masyarakat tercengang dan terhentak. Mereka tidak percaya kalimat itu bisa keluar dari seorang yang mungkin kepasitas keilmuannya telah jauh malampaui mereka.
“Lalu bagaimana dengan kita di sini?”
“Pernahkan dia turun ke sini hingga berani-beraninya dia berkata begitu?”
“Kalau memang tidak dilindungi kenapa dalam RTRW kabupaten dinyatakan sebagai daerah dilindungi? Apakah dia tidak pernah membacanya?”
“Yang jelas kita bergantung pada air yang disediakan oleh gunung itu, tidak mungkin ternak dan tani kita berlanjut jika tidak disuplai darinya.”
“Ah, dasar dosen bodoh bin bahlul.”
“Dosen yang hanya mementingkan proyek. Cukup dikasi uang sudah diam mulutnya yang bau itu.”
“Tanpa gunung itu kita akan sengsara.”
“Sudah demikian cukup gunung itu memberi pada kita. Sekarang saatnya kita yang harus membela kelangsungan dan kelestariannya.”
“Asu...”
Tak ada tanda-tanda pihak rektorat keluar. Gedung yang kokoh menjulang itu masih terdiam sepi. Hanya brikade yang semakin rapat menunggu kedatangan mereka. Massa berhenti melangkah ketika jarak itu sudah begitu dekat. Sekitar satu meteran. Mereka hanya berteriak-teriak sambil mengepal-ngepalkan tangan ke atas. Ada yang juga mengacung-acungkan cangkul, sabit, mata bajak, linggis dan apa saja yang terbawa.
Sedang wartawan sibuk meliput dan mewawancarai sebagian dari massa itu untuk dijadikan berita. Berita yang menarik dan hot. Begitulah batinnya. Mereka berlomba untuk menjadi yang tercepat menuliskan dan memeberitakannya. Wajah mereka berseri-seri. Tentu saja akan segera menadapat pujian dan bonos dari bosnya. Dari data yang diperoleh itu kemudian diolah lagi dengan bumbu-bumbu yang sedap hingga menjadi racikan yang menarik untuk dibaca. Lalu dirangkailah pertanyaan-pertanyaan yang pas, kalimat-kalimat yang menarik dan bumbu-bumbu yang sedap. Sedang di depan mereka peluh mengucur deras, emosi meluap-luap, tubuh lesuh berbau yang dipaksa tetap tegap tidak pernah terpikirkan. Yang terpenting berita yang heboh dan memikat. Itu saja.
Sumber Gambar: awanjakarta.com |
Sudah satu jam menunggu. Tidak ada tanda-tanda pihak rektorat akan keluar. Massa sudah begitu banyak mengeluarkan tenanga berteriak dan mengacung-acungkan tangan. Kesabarannya pun mulai habis dan mereka mencoba menerobos. Namun, brikade yang dipersiapkan sudah membaca itu sebelumnya. Mereka merapatkan perisai yang didirikan di depan mereka. Menyatukan kekuatan. Terjadilah dorong mendorong.
“Biarkan kami masuk.”
“Kami bukan teroris. Kami hanya ingin keadilan dan ketegasan.”
“Ayo dorong terus. Kita paksa mereka untuk keluar dan memberikan jawaban.”
Dorong-mendorong kembali terjadi dan semakin dahsyat. Tidak ada yang hendak mengalah dan dikalahkan. Namun, tiba-tiba semuanya terdiam ketika terdengar tembakan peringatan beruntun ke udara. Massa mundur dan brikade pengaman mulai merapikan kembali barisannya yang mulai kocar-kacir. Seorang berseragam lengkap keluar dari barisan dengan tubuh tegap dan wajah datar. Dia melihat semua orang yang hadir dan sedang kalap itu.
“Cukup, tak usah kalian bertindak anarki lebih jauh lagi. Jika tetap memaksa kami tak akan segan-segan melumpuhkan kalian dengan cara apa pun.”
“Kami tidak ingin melakukan ini tuan. Kami hanya menuntut keadilan dan ketegasan pihak kampus karena salah satu oknumnya telah membuat kesalahan pada masa depan kami.”
“Tapi kalian telah mencoba membuat anarki di sini.”
“Apa, apakah tindakan kami itu terlalu merisaukan tuan? Lalu bagaiaman dengan tindakan oknum yang telah merusak hidup kami dan keturunan kami ke depan? Apakah itu bukan anarki? Kami hanya ingin semuanya diperbaiki tuan. Itu saja, tidak lebih.”
“Diam. Pokoknya jika kalian bertindak brutal lagi kami tak akan segan-segan memaksa kalian bubar dengan segala cara. Hingga yang terkasar sekali pun.”
Dia kembali masuk dalam barisan. Brikade dirapatkan. Massa kembali kalap. Ibu-ibu serentak melepaskan pakaian. Berdiri di barisan terdepan dan kembali menyerang. Dorong mendorong kembali terjadi. begitu lama dan melelahkan. Namun tidak ada tanda-tanda tembakan peringatan dan gas air mata dilepaskan.
Jogja, 22 Maret 2015
Khairul Umam, penyair, cerpenis, dan esais. Kini sedang menyelesaikan Program Pascasarjana di Jurusan Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
0 comments :
Post a Comment