Home » » Pergulatan Identitas Manusia Bali

Pergulatan Identitas Manusia Bali

Diposkan oleh damar pada Saturday, June 27, 2015 | 4:38 AM

Oleh : Gede Kamajaya (Sosiolog Universitas Udayana)

Berbicara tentang Bali memang tak pernah ada habisnya, pulau kecil dengan pesona budaya dan alam yang menakjubkan ini selalu menarik untuk dikaji. Keunikannnya menjadikan Bali bak surga kecil yang jatuh ke bumi. Kondisi inilah yang menjadikan Bali begitu masyhur di mata dunia. H. van Kol, seorang parlemen Belanda dianggap sebagai wisatawan yang pertama kali menginjakkan kakinya di Bali pada tahun 1902. Derasnya informasi tentang “keanehan” Bali makin menjadi ketika perusahaan pelayaran Belanda KPM (Knonniklijk Paketvarrt Maatscapij) tahun 1920 mempopulerkan Bali sebagai daerah tujuan wisata bagi pejabat tinggi Belanda. Bali kemudian dikenal dengan sebutan “Mutiara Kepulauan Nusa Tenggara” (Picturesque Dutch East Indies).
Sumber Gambar: panduanwisata.id

Keotentikan Bali sebenarnya tidak lahir begitu saja, melainkan dibentuk oleh berbagai kepentingan yang terwarisi hingga kini, sebagaimana disampaikan Suryawan dalam beberapa tulisannya tentang Bali; gelar-gelar seperti the last pardise, dan semacamnya sengaja dikonstruktsi oleh pemerintah kolonial kala itu bagi kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini dapat ditelusuri lewat proyek “Balinisasi” (Baliseering) yang menjadikan Bali sebagai “museum hidup” karena kebiasaan masyarakat Bali yang tak ditemui di Eropa, bahkan di masyarakat belahan dunia manapun. Bagaimana keunikan Bali sengaja dikonstruksi dapat pula ditelusuri dalam proyek “Baliologi”. Baliologi adalah kajian-kajian ilmiah mengenai Bali melalui pendekatan etnografi. Melalui proyek-proyek semacam inilah keotentikan Bali dikonstruksi untuk kepentingan pariwisata ketika itu, jauh sebelum itu orang Bali sendiri belum terkontaminasi oleh pujian-pujian tentang aktivitas keseharian mereka.

Eksploitasi Bali dengan selaput yang sangat rapi nan lembut makin ganas ketika pemerintah Orde Baru memiliki kacamata yang sama dalam melihat Bali. Eksploitasi dengan slogan pembangunan yang relatif cepat dan mewujudkan mass tourism dengan pembangunan berorientasi ekonomi dan bersifat top-down menjadikan Bali semakin dikepung masalah dan berakibat pada tumpulnya daya kritis masyarakat Bali karena nyanyian ninabobo manisnya pembangunan begitu merdu. Pembangunan dianggap solusi tertepat untuk mengatasi segala masalah. Singkatnya, kebudayaan Bali yang eksotik kemudian menjalin “kasih” yang sangat erat dengan pariwisata, investor pun berduyun-duyun menanamkan modalnya di Bali sehingga tergerusnya identitas ke-Bali-an manusia (baca: masyarakat) Bali menjadi niscaya. Hal ini mengingat, pariwisata yang terbungkus halus oleh developmentalism ‘pembangunan-isme’ tak ubahnya westernisasi atau pembaratan sebagaimana dikemukan Atmadja. Anggapan ini muncul karena pariwisata dianggap memperlakukan kebudayaan Bali secara tidak adil.

Masyarakat Bali yang “polos”, pun kental akan budaya dan segala sesuatu yang berbalutkan seni, serta hal-hal mistik perlahan membentuk identitas manusia Bali yang “terbaratkan” sebagaimana gambaran di atas. Sejurus dengan itu, dalam kajian cultural studies, identitas dipandang sebagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan diri sendiri melalui tanda, sikap, dan gaya hidup. Pertanyaanya adalah: Bagaimana identitas manusia Bali dewasa ini di tengah gempuran pariwisata yang demikian masifnya?

Kebudayaan Bali yang adiluhung dan penuh nilai universal sebagaimana pandangan banyak orang kini dieksploitasi habis-habisan atas nama pariwisata. Local-genious semacam Tri Hita Karana kini hanya menjadi wacana di kampus-kampus berikut jargon politik lima tahunan. Arsitektur berkonsepkan Tri Hita Karana yang salah satunya mensaratkan sinergitas antara manusia dan alam perlahan dilabrak, sebagai salah satu dampaknya; muncullah masalah-masalah lingkungan yang saat ini tengah menghantui Bali. Tak cukup sampai di situ, konsep berkesenian orang Bali yang mengedepankan taksu pun tergerus dolar. Kita bisa melihat bagaimana seni yang berorientasikan pasar (pariwisata), pada akhirnya menjadikan seni itu sendiri dangkal dan tanpa makna. Jika dahulu orang Bali melukis, menari, termasuk melakukan aktivitas keagaamaan dengan konsep ngayah, maka kini diplesetkan menjadi mayah. Pura pun mengalami nasib yang sama, desakralisasi pura sebagai obyek wisata menjadikan batasan antara sakral dengan profan semakin kabur.

Pandangan bahwa pariwisata merupakan satu-satunya sumber penghidupan Bali berimplikasi sangat drastis pada penghapusan nilai-nilai asli kebudayaan Bali. Sebagai misal, jineng kini dapat dinikmati menjadi kamar tidur, bahkan tarian sakral dapat dipentaskan dimana saja dan durasinya dapat diatur sesuai keinginan wisatawan. Penggunaan nama Bali pun kini mulai dianggap ketinggalan zaman bagi sebagian kalangan.

Belakangan, nama depan identitas manusia Bali seperti Wayan, Gede, Putu, Ni Luh, dan lain sebagainya mulai tak dipakai oleh beberapa kalangan dengan beragam alasan. Bahasa Bali sebagai salah satu dari sekian elemen identitas manusia Bali kiranya perlu mendapat perhatian serius dalam konteks ini. Menurunnya loyalitas pengguna bahasa Bali misalnya dapat dilihat melalui fenomena masyarakat Bali yang hidup di perkotaan dan lebih bangga menggunakan bahasa nasional meskipun bertutur dengan sesama orang Bali bahkan ketika mereka pulang ke desa, tidak jarang ditemui anak-anak yang tidak bisa berbahasa Bali karena sejak kecil dibiasakan berbahasa Indonesia oleh orang tuanya, dalam hal ini, langkanya penutur bahasa Bali yang dapat dicontoh turut menjadi salah satu penyebabnya.

Berkembangnya pariwisata menjadikan masyarakat Bali tidak hanya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Masyarakat petani dengan ciri guyub kini jarang ditemui pada masyarakat Bali karena tuntutan pekerjaan dan cara pandang yang lebih efisien serta praktis. Di beberapa desa Bali, upacara Ngaben bahkan tidak lagi menggunakan tenaga manusia untuk membawa bade menuju kuburan karena sudah digantikan dengan sejenis kereta yang cukup perlu didorong. Sarana-prasarana berbagai upacara pun kini mudah didapat dengan cara membeli, fenomena ini tidak pernah dijumpai sebelumnya.

Kiranya, analogi Bali sebagai benteng terbuka sebagaimana dijabarkan Henk Schulte Nordholt sangat masuk akal untuk menggambarkan kondisi dilematis Bali saat ini. Di satu sisi, Bali harus tetap terbuka bagi pariwisata yang hadir dengan budaya asingnya, di sisi lain, Bali sarat tetap membentengi diri agar identitasnya tak terkikis. Kemunculan jargon “Ajeg Bali” merupakan salah satu bentuk representasi bagaimana identitas manusia Bali berupaya digali berikut dipertahankan; pun sebagai wujud konkret pergulatan identitas ke-Bali-an manusia Bali dewasa ini. 



Gede Kamajaya, lahir dan tumbuh besar di Tejakula, Singaraja-Bali. Merupakan staf pengajar pada Prodi Sosiologi, Fisip, Universitas Udayana. Memiliki minat studi pada isu-isu seputar pedesaan, masyarakat adat, local-genious, serta pariwisata. Kini tengah bergelut dengan isu tingginya angka bunuh diri pemuda di Kabupaten Bangli.


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment