Oleh : Mahwi Air Tawar
Akulah Toa, anak kandung mimbran. Ibuku ampli, lahir dan besar dari tangan seorang jenius. Aku dilahirkan untuk tujuan yang sangat mulia, tentunya. Menghibur orang-orang yang sedang dirundung susah. Ya, bila ada yang susah, penciptaku akan memasukkan sebuah benda ajaib kecil ke salah satu usb, dan kemudian terdengar semandung suara; kuperdengarkan suara dari Bang Haji Rhoma Irama, Zainuddin MZ, Ustadz Maulana hingga penceramah terkini yang setiap ceramahnya selalu marah-marah, mencaci orang-orang yang tak sejalan dengannya. (Baca juga: Ujung Laut Bangsa Karapan)
Sebagai anak kandung manusia paling jenius dan penganut demokratis, aku pun tak pandang bulu dan terbuka bagi siapapun yang ingin menggunakanku; dari Habib Riziek hingga penyanyi koplo pantura. Dari penjual obat hingga penjual nasib rakyat. Tak mengapa, aku senang dan bahagia asal mereka terhibur dan bisa tertawa di tengah suara-suara sumbang kemiskinan, di sela-sela keperihan nasib pedagang kaki lima yang murka sekaligus tak berdaya setiap kali mendengar pekikan Satpol PP, yang ketika mengusir mereka kerap bersembunyi di belakang punggungku.
Menghibur orang-orang yang kesusahan dan sekaligus bahagia sudah menjalani jalan bidupku. Dari menjadi corong koruptor hingga menjadi suara "pemuka agama" yang setiap pendapat atau materi yang ia sampaikan bersumber dari dari anak-anak cucuku, internet. Kadang aku ingin tertawa atas keluguan dan sekaligus kesombongan mereka. Tapi apa boleh buat, aku tak boleh melanggar perintah sang penciptaku.
Kalau boleh jujur, sudah lama aku merindukan orang-orang seperti Syaikhona Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, Abuya Hamka. Mereka adalah tokoh-tokoh yang amat jarang bahkan tak pernah melibatkanku setiap menyiarkan ilmu-ilmu agama, ajaran hidup. Namun demikian, meski mereka tak menggunakanku, meski mereka hidup di daerah tapi suara dan ajaran mereka menggema ke se-antero Nusantara.
Dan, betapa kagum dan mangkelnya aku kepada almarhum Raja Ali Haji dari pulau penyengat, kepulauan Riau, yang hanya dengan gurindam dua belas-nya dan tanpa melibatkanku pula, hingga kini riak puisi dan ajaran hidupnya masih terdengar, dicari dan selalu membuat orang-orang rindu mendalami dan ingin berkunjung.
Bercermin kepada tokoh-tokoh besar di atas, yang setiap kali menyampaikan dakwahnya tak pernah melibatkanku. Izinkan aku, Toa, sejenak berhening cipta, berpuasa dan menarik diri dari keramaian. Tanpa mengurangi rasa hormat, aku mohon turunkan aku dari menara masjid, tempat-tempat ibadah lainnya. Aku tidak suka kehadiranku membuat mereka yang menjalankan ibadah puasa terperanjat dan terganggu gara-gara suara sumbangmu yang diteriakkan lewat punggungku.
Aku bosan dikambing-hitamkan oleh pemuka agama, oleh MUI, dan aku tidak mau digunakan menakuti-nakuti orang-orang yang bekerja keras demi keluarganya, dan tetap berjualan di bulan puasa. Lupakanlah sejarah kelamku bersama tentara Nazi. Matikan aku sejenak. Bukankah untuk mengingatkan tanda buka puasa dan sahur kamu tak perlu melibatkanku? Gunakanlah "gadged" dan nyalakan "alarmmu", atau sempurnakan ibadahmu di surau-surau yang sunyi.
Tangerang, 2015
Sumber Gambar: ansyari.blogspot.com |
Sebagai anak kandung manusia paling jenius dan penganut demokratis, aku pun tak pandang bulu dan terbuka bagi siapapun yang ingin menggunakanku; dari Habib Riziek hingga penyanyi koplo pantura. Dari penjual obat hingga penjual nasib rakyat. Tak mengapa, aku senang dan bahagia asal mereka terhibur dan bisa tertawa di tengah suara-suara sumbang kemiskinan, di sela-sela keperihan nasib pedagang kaki lima yang murka sekaligus tak berdaya setiap kali mendengar pekikan Satpol PP, yang ketika mengusir mereka kerap bersembunyi di belakang punggungku.
Menghibur orang-orang yang kesusahan dan sekaligus bahagia sudah menjalani jalan bidupku. Dari menjadi corong koruptor hingga menjadi suara "pemuka agama" yang setiap pendapat atau materi yang ia sampaikan bersumber dari dari anak-anak cucuku, internet. Kadang aku ingin tertawa atas keluguan dan sekaligus kesombongan mereka. Tapi apa boleh buat, aku tak boleh melanggar perintah sang penciptaku.
Kalau boleh jujur, sudah lama aku merindukan orang-orang seperti Syaikhona Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, Abuya Hamka. Mereka adalah tokoh-tokoh yang amat jarang bahkan tak pernah melibatkanku setiap menyiarkan ilmu-ilmu agama, ajaran hidup. Namun demikian, meski mereka tak menggunakanku, meski mereka hidup di daerah tapi suara dan ajaran mereka menggema ke se-antero Nusantara.
Dan, betapa kagum dan mangkelnya aku kepada almarhum Raja Ali Haji dari pulau penyengat, kepulauan Riau, yang hanya dengan gurindam dua belas-nya dan tanpa melibatkanku pula, hingga kini riak puisi dan ajaran hidupnya masih terdengar, dicari dan selalu membuat orang-orang rindu mendalami dan ingin berkunjung.
Bercermin kepada tokoh-tokoh besar di atas, yang setiap kali menyampaikan dakwahnya tak pernah melibatkanku. Izinkan aku, Toa, sejenak berhening cipta, berpuasa dan menarik diri dari keramaian. Tanpa mengurangi rasa hormat, aku mohon turunkan aku dari menara masjid, tempat-tempat ibadah lainnya. Aku tidak suka kehadiranku membuat mereka yang menjalankan ibadah puasa terperanjat dan terganggu gara-gara suara sumbangmu yang diteriakkan lewat punggungku.
Aku bosan dikambing-hitamkan oleh pemuka agama, oleh MUI, dan aku tidak mau digunakan menakuti-nakuti orang-orang yang bekerja keras demi keluarganya, dan tetap berjualan di bulan puasa. Lupakanlah sejarah kelamku bersama tentara Nazi. Matikan aku sejenak. Bukankah untuk mengingatkan tanda buka puasa dan sahur kamu tak perlu melibatkanku? Gunakanlah "gadged" dan nyalakan "alarmmu", atau sempurnakan ibadahmu di surau-surau yang sunyi.
Tangerang, 2015
0 comments :
Post a Comment