Home » » Kematian: di Antara Ingat dan Lupa

Kematian: di Antara Ingat dan Lupa

Diposkan oleh damar pada Thursday, June 18, 2015 | 8:52 PM

Oleh : Sofyan RH. Zaid 

Kematian
Sumber Gambar: mcha.jp
“Tak satu pun yang mau mati.
Bahkan orang yang ingin pergi ke surga, tidak ingin mati untuk mencapainya.”
Steve Jobs - Apple

Jika ada sesuatu hal yang (ketika) kita mengingat dan melupakannya adalah anugerah, itulah kematian. Bayangkan jika kita terus ingat kematian, begitu tersiksanya hidup ini. Bayangkan juga jika kita terus lupa kematian, betapa angkuhnya diri ini. Itulah kenapa Muhammad SAW menganjurkan: bekerjalah (untuk duniamu) seakan-akan kamu hidup seribu tahun lagi, beribadalah (untuk akheratmu) seakan-akan kamu mati besok pagi. (Baca juga: Kebodohan yang Indah)

Banyak tokoh mencoba mendefinisikan kematian berdasarkan sudut pandangnya  masing-masing, misalnya Luper dalam The Philosophy of Death; kematian adalah berhentinya proses kehidupan (vital process) tanpa bisa dipulihkan lagi. Namun definisi yang paling sederhana adalah berpisahnya ruh (yang immortal) dari tubuh (yang mortal) untuk selamanya. Pada hakekatnya kematian bukanlah kematian, melainkan gerbang untuk memasuki kehidupan selanjutnya. Dalam istilah Heidegger, yang menyebut manusia sebagai yang “terlempar” ke dalam kehidupan, kematian tidak seperti membaca buku yang sampai pada bab penutup lalu tamat. Kematian bukanlah akhir, tetapi awal.

Ada banyak jenis kematian, misalnya dalam khazanah tasawuf ada istilah “hati yang mati”. Al-Junaid menyindir orang yang hatinya mati sebagai mayat yang berjalan. Hati yang mati bila berdasar pada Al-Ghazali adalah tidak hadirnya Allah di dalamnya. Lain lagi dalam kajian filsafat, kematian lebih dekat pada eksistensialisme, sehingga ada istilah "kematian eksistensial", yakni mirip dengan apa yang dituturkan Hume; ketika diri tidak berguna lagi atau mengalami hidup yang buruk, tidak adil dan menderita, saat itu dia sudah mati. Itulah sebabnya bagi Hume, bunuh diri tidak menyalahi anugerah Tuhan, karena “bisanya manusia untuk bunuh diri” adalah anugerah Tuhan juga.

Terlepas dari berbagai bentuk kematian metaforis di atas, kematian sebagai suatu peristiwa memiliki dua bagan, yakni kematian personal dan kematian sosial. Kematian personal adalah mati secara pribadi. Ruh keluar dari tubuh menuju asalnya. Kapan dan di mana tidak ada yang tahu. Tidak ada yang bisa lari jika waktunya tiba, tidak maju dan tidak pula terlambat. Allah secara terbuka memberi peringatan: “Di mana saja kamu berada, kematian akan menemukanmu, kendati pun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, ...” (QS An-Nisa 4:78). Sementara kematian sosial adalah kematian seorang manusia sebagai anggota keluarga atau masyarakat. Ada tangis, ada rasa kehilangan. Barangkali juga ada senyum, ada kebahagiaan ketika seseorang mati. Sebagaimana hadis: Apabila seorang mukmin (baik) meninggal dunia, maka dia telah senang (istirahat) dari kesusahan dunia. Dan jika seorang jahat yang meninggal, maka dia menyenangkan seluruh hamba Allah, seluruh negeri, seluruh pohon-pohon, dan binatang dari kejahatannya.

mati
Sumber Gambar: aparade.com
Antara kematian personal dan kematian sosial sebenarnya saling terkait. Kematian personal seseorang tidak lantas menyebabkan kematiannya secara sosial, itulah sebabnya menurut Damm, kematian seseorang itu butuh orang lain untuk mendeklarasikan kematiannya, barulah dia juga mati secara sosial. Orang yang bekerja di luar negeri lalu mati (secara personal), tidak ada yang saksi, tidak ada kabar, maka dia akan tetap dianggap hidup (secara sosial) di keluarga atau masyarakatnya untuk kemudian disebut menghilang dalam waktu lama, bukan mati. Begitu juga sebaliknya. Ternyata benar, kematian itu tidak sederhana. Tidak sesederhana perdebatan pemikiran antara Plato dan Aristoteles tentangnya. Seseorang bisa dengan damai mati secara personal, tetapi bisa jadi sangat ramai dan diributkan kematiannya secara sosial. Barangkali ini yang dimaksud Gerung bahwa kematian itu hanya momen -bukan monumen-, ketakutan kita (pada kematian) akan sedikit terhibur dengan adanya anggur dan bidadari.

Tidak ada yang mengerti benar kematian secara utuh, kecuali yang telah mengalaminya. Kematian tinggal di antara ingat dan lupa. Senantiasa mengintai menyeringai tiap waktu. Namun kita tidak perlu takut, karena manusia memang harus mati, sebab jika tidak, apa jadinya. Bayangkan jika kita menjadi Tithonus dalam mitologi Yunani itu, mendapat anugerah (dari dewa) tidak bisa mati, tetapi tubuhnya terus menua. Kita hanya menunggu waktu untuk mati. Hidup ini pun sangat singkat, itu sebabnya kita harus berbuat banyak, dan “kita juga harus prihatin dengan kehidupan dunia ini dan bergembira dengan kematian," kata Socrates.

Sebagaimana kelahiran, kematian adalah sesuatu yang biasa, hanya semoga saja,  kita mati dengan cara yang indah.

Bekasi, 17 Juni 2015



Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment