Instingtif, sebedebah-bedebahnya seseorang (laki atau wanita), pasti selalu mengidamkan kelak bisa mendapatkan pasangan (suami/istri) yang shalih/shalihah, alim/alimah, gemesin/gemesiyah. Iya, memang begitu itu sunnatullah, hukum alam. (Baca juga: Gagasan Tentang Komisi Dedek Gemes)
Biarkan saya rada ilmiah dikit di sini. Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, mengemukan sebuah teori yang amat fundamental tentang “kesenangan” dan “kenyataan” sebagai dua sisi psikologi manusia.
Begini jelasnya.
Semua kita selalu menghendaki hidupnya berjalan dalam langgam kesenangan. Dari urusan keuangan, pendidikan, hingga percintaan. Itulah sebabnya, misal, setiap kita suka tak suka mesti sekolah, belajar, biar pintar, agar kelak mudah mendapatkan pekerjaan, agar keuangannya terpenuhi, lantas ujungnya berhasil mbribiki lawan jenis untuk jatuh ke pelukannya. Semua proses ini merupakan tempuhan prasyarat untuk menuju raihan kesenangan itu. (Baca juga: Dedek-Dedek Gemes Turki)
Tetapi, di sisi lain, kenyataan hidup memang tak sering seindah lagu Dewa: Tak usah kau cari makna hadirnya diriku/aku di sini untukmu. Lha mau mencari makna pada sosok siapa coba wong bayangannya aja ndak kunjung log in. Kaum jomblo berada di level pedih begini kenyataan hidupnya; diametri nyelekit antara psikologi kesenangan dan kenyataan. Begitu pun kaum LDR. Lha mau “aku di sini untukmu” gimana wong yang setia menemani hanya gejet yang lama-lama monoton dan membosankan lantaran hanya berisi: berantem, cemburu, ribut akibat chat pending. Kalaupun damai toh takkan pernah jauh-jauh dari kisaran basa-basi njelehi: udah mamam belum?; inget aku nggak?; kangen aku nggak?; kentutku kerasa nggak?
Begitulah psikologi kenyataan kaum LDR. Pedih memang, sebab siapalah orangnya yang takkan bosan ngelusin gejet mulu. Kalaupun muncul adagium, “Mending gue punya pacar meski LDR daripada lo jomblo mulu….”, percayalah bahwa ini hanya stigmatisasi untuk menghibur diri sendiri belaka. Sejenis, ehm, impersonal-selfish-delusive-syndrome. Hakikatnya, jomblo dan LDR sama-sama sedang menempuh psikologi kenyataan yang nyaris setara memilukannya. Yang jomblo beneran sendirian, yang LDR seolah tak sendirian tapi ya sebenarnya sendirian pula. (Baca juga: Dedek Roro Fitria, Mbok Ayo Umrah Saja)
Jelas kan kini apa maksud Freud dengan psikologi kenyataan dan kesenangan itu.
Balik lagi ke tesis awal, bahwa setiap kita selalu menginginkan pasangan yang shalih/shalihah, alim/alimah, gemesin/gemesiyah. Demi masa depan yang indah pada waktunya.
Kini soalnya ialah bagaimana cara meraihnya?
Simple.
Carilah dedek gemes yang abis umrah. Plis, jangan berprasangka bahwa saya diskiriminatif ya, dengan semata menjunjung “kemampuan umrah” yang notabene adalah soal finansial sebagai ukuran kualitas keshalihan dan kegemesan seorang dedek. Tidak. Ini hanya tentang afdhal atau min babil aula.
Mari buktikan.
Apakah yang bisa dijadikan ukuran keshalihan seorang dedek? Susah tentu, sebab shalih/shalihah adalah soal denyut jiwa, ruhani-transendental, bukan baju bintang-bintang ala galaksi. Tetapi, patut sekali diakui adanya bukti empirik di antara kenisbian spekulatif itu, bahwa saat seorang dedek berbaju ihram, berthawaf, bersa’i, dan bertahallul, ia sudah pasti telah mengorbankan kegemesannya di antara jubelan manusia di seputar Ka’bah dan Mas’a. Rela berkeringat. Eye liner-nya memudar. Pupurnya membelang disaput keringat. Kegemesannya diikhlaskan meluntur! Dan jelas ini semua butuh perjuangan, dedikasi, yang tentu saja harus diapresiasi.
Sekali lagi, kendati di dalamnya juga terkandung potensi spekulatif, tetap saja dedikasi mengorbankan diri di antara desak-desakan ritual umrah menjadi penanda empirik atas bersemayamnya keimanan di dalam jiwanya. Dedek gemes umrah adalah anugerah hidup yang bojoable!
Soal ia sesekali selfie, berdoa dengan media kertas yang dicoret-coreti, lalu diposting ke akun-akunnya, hal-hal demikian jangan terlalu dimasukkan hatilah, apalagi dijadikan alat negasi. Itu hanya soal dinamika zaman. Sama sekali bukan barometer batiniah narsis, nggak khusyuk, atau lebay. Tidak. Pandangan negasi begituan saya yakin hanya terbit dari hati yang kebak prasangka buruk.
Sampai di sini, sungguh layak sekali untuk dipertimbangkan oleh siapa pun yang sedang mencari pasangan sejati (calon suami/istri yang shalih/shalihah, alim/alimah, gemesin/gemesiyah) bahwa dedek-dedek gemes yang abis umrah adalah pilihan terbaik untuk diajak ke pelaminan. Tinggal luncurkan pertanyaan tulus ala Haji Fadli ke dalam hati: “Niat baik atau niat buruk?”
Mari fair sajalah, lalu bayangkan, kurang apa lagi untuk disanding bila si dedek gemes yang abis umrah memposting selfie-nya yang berkacamata hitam kebesaran di tanah Haram dengan caption: “Jika ada kesempatan untuk datang lagi, aku ingin kembali bersamamu.”
Begitu kan, Ve?
Jogja, 17 Juni 2015
Edi AH Iyubenu, CEO Divapress dan Rektor #KampusFiksi Yogyakarta. Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 comments :
Post a Comment