Oleh : Mahwi Air Tawar
Seratus lima puluh empat kilo meter dari penyeberangan selat Kamal saya melihat rumah-rumah berdiri tegak menghadap jalan utama Sumenep-Bangkalan. Tapi, dari sela rumah-rumah yang berdiri kokoh itu jangan berharap suasana Kampung Meji dan tanéyan masih membentang. Begitu juga dengan lenguh sapi yang bagi masyarakat Madura menjadi tanda perihal keadaan; baik keadaan di luar rumah maupun di dalam rumah. Semua itu hanya menjadi bagian dari masa-lalu yang kelabu dan pilu, lebih-lebih setelah disah-operasikannya jembatan Suramadu beberapa tahun silam, yang otomatis mengikis pendapatan harian masyarakat setempat yang sepenuhnya menyandarkan kebutuhan sehari-harinya pada perahu kecil meski sudah lapuk dimakan usia.
Sepintas saya memang merasa kehilangan wajah “Madura”, namun begitu, pantang bagi pelaut seperti saya mengeluhkan raut wajah tanah kelahiran, orang-orang yang tak sedikit kehilangan ke-madura-annya. Bagaimana pun semua itu telah terjadi. Maka lupakanlah, Madura yang keras sekaligus santun. Tidak mudah memang melupakan apa yang kita cintai, kata Bindara Abdul Hamid Banuaju, apa pun boleh dilupakan tapi tidak dengan kenangan. Dan saya mengamininya.
Setelah menempuh perjalanan dengan jarak tempuh seratus lima puluh kilo meter dari penyeberangan Kamal ke Sumenep, akhirnya saya memutuskan pergi ke pulau Giliyang, Sumenep. Di atas permukaan ombak saya melihat perahu-perahu berayun, bagai seorang bayi dalam gendongan ibunya. Pelabuhan Dungkek tempat saya menyewa perahu semakin terlihat samar, orang-orang pelabuhan, anak-anak dibawah usia yang dengan suka riang menjinjing karung, dan para pemilik perahu yang menawarkan perahunya untuk saya tumpangi terus berkelindan dalam pikiran. Mereka, lebih-lebih anak-anak itu yang seharusnya berada di bangku pendidikan harus bekerja menjadi kuli demi keberlangsungan hidup yang terus berdegub.
Melihat anak-anak pulau, kejernihan, riak ombak di tengah lautan dan desauan angin yang seperti menjulurkan tangan gaib menuntun angan dan pikiran saya pada masyarakat-masayarakat kepulauan lainnya di Indonesia. Tak sedikit antara mereka terlebih anak-anak di bawah usia yang harus bergelut dengan kerasnya hidup dan terpaksa mengabaikan pentingnya pendidikan. Bukan salah mereka bila lebih memilih menjinjing karung ikan ketimbang tas untuk berangkat ke sekolah. Dan kita tak bisa berharap lebih banyak lagi kepada orang pemerintah yang hidup di senayan sana, sambil sesekali menyesap asin lautan, toh mereka lebih tahu bahwa Negara Maritim, Indonesia dengan keindahan pulau-pulaunya adalah kebanggaan yang tak terelakkan di tengah pergaulan masyarakat dunia.
Sebaliknya, kalau boleh saya berandai-andai alangkah indahnya riak ombak, senyum asin anak-anak kepulauan kalau saja di atas bentangan lautan ini didirikan fasilitas-fasilitas umum, ya, misalnya, rumah sakit apung, sekolah apung lengkap dengan perpustakaan apung, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Dengan begitu sudah pasti tak perlu ada jembatan Suramadu, dan jembatan atau tol laut lainnya yang digagas dan sebagian sudah diwujudkan oleh pemerintah kita tercinta. Bukankah dengan adanya tol laut, jembatan Suramadu akan semakin menenggelamkan identitas bangsa sebagai Negara maritim? (Baca juga: Negara Maritim, Ironi Negeri Penggalan Surga)
Mahwi Air Tawar, penyair, cerpenis. Penyuka dedek-dedek gemes ini tinggal di Yogyakarta.
Sumber Gambar: jawatimuran.wordpress.com |
Seratus lima puluh empat kilo meter dari penyeberangan selat Kamal saya melihat rumah-rumah berdiri tegak menghadap jalan utama Sumenep-Bangkalan. Tapi, dari sela rumah-rumah yang berdiri kokoh itu jangan berharap suasana Kampung Meji dan tanéyan masih membentang. Begitu juga dengan lenguh sapi yang bagi masyarakat Madura menjadi tanda perihal keadaan; baik keadaan di luar rumah maupun di dalam rumah. Semua itu hanya menjadi bagian dari masa-lalu yang kelabu dan pilu, lebih-lebih setelah disah-operasikannya jembatan Suramadu beberapa tahun silam, yang otomatis mengikis pendapatan harian masyarakat setempat yang sepenuhnya menyandarkan kebutuhan sehari-harinya pada perahu kecil meski sudah lapuk dimakan usia.
Sepintas saya memang merasa kehilangan wajah “Madura”, namun begitu, pantang bagi pelaut seperti saya mengeluhkan raut wajah tanah kelahiran, orang-orang yang tak sedikit kehilangan ke-madura-annya. Bagaimana pun semua itu telah terjadi. Maka lupakanlah, Madura yang keras sekaligus santun. Tidak mudah memang melupakan apa yang kita cintai, kata Bindara Abdul Hamid Banuaju, apa pun boleh dilupakan tapi tidak dengan kenangan. Dan saya mengamininya.
Setelah menempuh perjalanan dengan jarak tempuh seratus lima puluh kilo meter dari penyeberangan Kamal ke Sumenep, akhirnya saya memutuskan pergi ke pulau Giliyang, Sumenep. Di atas permukaan ombak saya melihat perahu-perahu berayun, bagai seorang bayi dalam gendongan ibunya. Pelabuhan Dungkek tempat saya menyewa perahu semakin terlihat samar, orang-orang pelabuhan, anak-anak dibawah usia yang dengan suka riang menjinjing karung, dan para pemilik perahu yang menawarkan perahunya untuk saya tumpangi terus berkelindan dalam pikiran. Mereka, lebih-lebih anak-anak itu yang seharusnya berada di bangku pendidikan harus bekerja menjadi kuli demi keberlangsungan hidup yang terus berdegub.
Sumber Gambar: lukisankakherry.blogspot.com |
Melihat anak-anak pulau, kejernihan, riak ombak di tengah lautan dan desauan angin yang seperti menjulurkan tangan gaib menuntun angan dan pikiran saya pada masyarakat-masayarakat kepulauan lainnya di Indonesia. Tak sedikit antara mereka terlebih anak-anak di bawah usia yang harus bergelut dengan kerasnya hidup dan terpaksa mengabaikan pentingnya pendidikan. Bukan salah mereka bila lebih memilih menjinjing karung ikan ketimbang tas untuk berangkat ke sekolah. Dan kita tak bisa berharap lebih banyak lagi kepada orang pemerintah yang hidup di senayan sana, sambil sesekali menyesap asin lautan, toh mereka lebih tahu bahwa Negara Maritim, Indonesia dengan keindahan pulau-pulaunya adalah kebanggaan yang tak terelakkan di tengah pergaulan masyarakat dunia.
Sebaliknya, kalau boleh saya berandai-andai alangkah indahnya riak ombak, senyum asin anak-anak kepulauan kalau saja di atas bentangan lautan ini didirikan fasilitas-fasilitas umum, ya, misalnya, rumah sakit apung, sekolah apung lengkap dengan perpustakaan apung, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Dengan begitu sudah pasti tak perlu ada jembatan Suramadu, dan jembatan atau tol laut lainnya yang digagas dan sebagian sudah diwujudkan oleh pemerintah kita tercinta. Bukankah dengan adanya tol laut, jembatan Suramadu akan semakin menenggelamkan identitas bangsa sebagai Negara maritim? (Baca juga: Negara Maritim, Ironi Negeri Penggalan Surga)
Mahwi Air Tawar, penyair, cerpenis. Penyuka dedek-dedek gemes ini tinggal di Yogyakarta.
0 comments :
Post a Comment